TAQLID DAN IJTIHAD


TAQLID DAN IJTIHAD

(وَالتَّقْلِيْدُ قَبُوْلُ قَوْلِ الْقَائِلِ بِلَا حُجَّةٍ)   يَذْكُرُهَا  (فَعَلَى  هَذَا  قَبُوْلُ

Taqlid adalah menerima pendapat orang lain dengan tanpa disertai hujjah yang disebutkan orang tersebut. Berpijak pada versi ini, menerima pendapat Nabi

قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) فِيْمَا ذَكَرَهُ مِنَ الْأَحْكَامِ (يُسَمَّى تَقْلِيْدًا
وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ التَّقْلِيْدُ قَبُوْلُ قَوْلِ الْقَائِلِ وَأَنْتَ لَاتَدْرِيْ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ) أَيْ لَا تَعْلَمُ مَأْخَذَهُ فِيْ ذَلِكَ
(فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْلُ بِالْقِيَاسِ) بِأَنْ يَجْتَهِدَ (فَيَجُوْزُ أَنْ يُسَمَّى قَبُوْلُ قَوْلِهِ تَقْلِيْدًا) لِاحْتِمَالِ أَنْ يَكُوْنَ عَنِ اجْتِهَادٍ
وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ لَا يَجْتَهِدُ وَإِنَّمَا يَقُوْلُ عَنْ وَحْيٍ وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوْحَى فَلَا يُسَمَّى قَبُوْلُ قَوْلِهِ تَقْلِيْدًا لِاسْتِنَادِهِ إِلَى الْوَحْيِ

Muhammad SAW dalam hukum-hukum yang Beliau ungkapkan, dinamakan dengan taqlid.
Sebagian ulama mengatakan, “Taqlid adalah menerima pendapat orang lain, dalam keadaan engkau tidak mengetahui dari mana pendapatnya”, maksudnya engkau tidak mengetahui dasar pengambilannya dalam masalah tersebut.
Jika kita menyatakan bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW berpendapat berdasarkan qiyas, yakni berijtihad (bukan wahyu)”, maka mengikuti pendapat Beliau boleh dinamakan dengan taqlid. Dikarenakan ada kemungkinan pendapat tersebut hasil ijtihad.
Dan bila kita menyatakan bahwa Nabi SAW tidak berijtihad, namun menyampaikan berdasarkan wahyu, tidak ada yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)[1][71], maka menerima pendapat Beliau tidak dinamakan dengan taqlid, sebab disandarkan pada wahyu.

Penjelasan :
Taqlid secara bahasa adalah,
وَضْعُ الشَّيْئِ فِي العُنُقِ مُحِيْطَا بِهِ
“Meletakkan sesuatu secara melingkar di leher”
Sedangkan definisi taqlid secara istilah terjadi perbedaan di kalangan ulama.
Versi pertama, taqlid adalah menerima pendapat orang lain dengan tanpa disertai penyebutan hujjah dari orang tersebut. Sehingga apabila berpijak pada pendapat ini, mengikuti sabda Nabi Muhammad SAW termasuk taqlid. Sebab kita mengikuti sabda Beliau tentang sebuah hukum dengan tanpa disertai penyebutan hujjah.
Versi kedua, taqlid adalah menerima pendapat orang lain dengan tanpa mengetahui dari mana orang tersebut mendasarkan pendapatnya (tidak mengetahui sumber pengambilannya). Dari pendapat kedua ini Sabda Nabi Muhammad SAW dapat diperinci menjadi dua, yakni ;
§  Jika Nabi Muhammad SAW melakukan qiyas (ijtihad), maka mengikuti sabda Beliau termasuk taqlid.
§  Jika Nabi Muhammad sama sekali tidak melakukan ijtihad, dalam artian semua pernyataan hukum dari Beliau adalah wahyu dari Allah SWT, maka mengikuti sabda Beliau tidak bisa disebut taqlid.

Pertanyaan :
Manakah pendapat yang lebih shahih tentang boleh tidaknya Nabi Muhammad SAW melakukan ijtihad?
Jawab :
Pendapat yang shahih diperbolehkan.
Referensi :
(لِاسْتِنَادِهِ اِلَى الْوَحْيِ)....وَالصَّحِيْحُ الَّذِىْ عَلَيْهِ الْجُمْهُوْرُ مِنْهُمْ الشَّافِعِيُّ وَصَحَّحَهُ فِيْ جَمْعِ الْجَوَامِعِ وَغَيْرِهِ جَوَازُ الْإِجْتِهَادِ لَهُ وَوُقُوْعُهُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنُ فِيْ الْأَرْضِ عَوْتَبٌ عَلَى اسْتِبْقَاءِ أَسْرَى بَدْرٍ بِفِدَاءٍ وَلَا يَكُوْنَ الْعِتَابُ فِيْمَا صَدَرَ وَحْيٌ فَيَكُوْنُ عَنْ اجْتِهَادٍ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 162)
“Pendapat yang benar (mengenai bolehnya rasul melakukan ijtihad) yang diikuti oleh mayoritas ulama, di antaranya adalah imam Syafi’i dan diakui kebenaranya dalam kitab Jam’ul Jawami dan juga kitab-kitab lain ialah boleh bagi Nabi SAW untuk melakukan ijtihad. Dan hal ini bukan hanya secara hukum jawaz tapi memang terjadi, karena berpijak pada firman Allah swt: ‘‘tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi’’. Teguran dari Allah swt atas keputusan Nabi untuk mengambil tebusan dari tawanan perang Badar. Sebuah teguran tidak ditujukan pada hukum yang datang dari wahyu. Maka tentunya hukum tersebut murni hasil ijtihad”.

(وَأَما الاِجتِهَاد فَهُوَ بَذْلُ الوُسْعِ فِي بُلُوْغِ الغَرَضِ) المَقْصُوْدِ مِنَ العِلْمِ لِيَحْصُلَ لَهُ
(فَالْمُجْتَهِدُ إِنْ كَانَ كَامِلَ الْآلَةِ فِي الْاِجْتِهَادِ) كَمَا تَقَدَّمَ (فَإِنِ اجْتَهَدَ فِي الْفُرُوْعِ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ) عَلىَ اجْتِهَادِهِ وَإِصَابَتِهِ (وَإِنْ اجْتَهَدَ فِيْهَا وَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ) وَاحِدٌ عَلَى اجْتِهَادِهِ وَسَيَأْتِيْ دَلِيْلُ ذَلِكَ
(وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ كُلُّ مُجْتَهِدٍ فِي الْفُرُوْعِ مُصِيْبٌ) بِنَاءً عَلَى أَنَّ حُكْمَ اللهِ فِي حَقِّهِ وَحَقِّ مُقَلِّدِهِ مَا أَدَّى إِلَيْهِ اِجْتِهَادُهُ
(وَلَا يَجُوْزُ  أَنْ يُقَالَ كُلُّ مُجْتَهِدٍ فِي الْأُصُوْلِ الكَلَامِيَةِ) أي العَقاَئِدِ (مُصِيْبٌ) لِأَنَّ ذَلِكَ (يُؤَدِّي إِلَى تَصْوِيْبِ أَهْلِ الضَّلاَلَةِ مِنَ النَّصَارَى) فِي قَوْلِهِمْ بِالتَّثْلِيْثِ (وَالْمَجُوْسِ) فِي قَوْلِهِمْ بِالْأَصْلَيْنِ لِلْعَالَمِ النُّوْرِ وَالظُّلْمَةِ (وَالْكُفَّارِ) فِي نَفْيِهِمْ التَّوْحِيْدَ وَبِعْثَةَ الرُّسُلِ وَالْمَعَادَ فِي اْلآخِرَةِ (وَالْمُلْحِدِيْنَ) فِي نَفْيِهِمْ صِفَاتِهِ تَعَالَى كَالْكَلاَمِ وَخَلْقِهِ أَفْعَالَ الْعِبَادِ وَكَوْنِهِ مَرْئِيًّا فِي الْآخِرَةِ وَغَيْرِ ذَلِكَ
(وَدَلِيْلُ مَنْ قَالَ لَيْسَ كُلُّ مُجْتَهِدٍ فِي الْفُرُوْعِ مُصِيْباً قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم "مَنِ اجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَمَنْ اجْتَهَدَ وَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ" وَجْهُ الدَلِيْلِ أَنَّ النّبِيَّ صَلىَ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَّأَ المُجْتَهِدَ تَارَةً وَصَوَّبَهُ أُخْرَى) وَالْحَدِيْثُ رَوَاهُ الشَيْخَانِ وَلَفْظُ الْبُخَارِي إِذَا اِجْتَهَدَ الحَاكِمُ فَحَكَمَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.
وَاللهُ أَعْلَمُ

Ijtihad adalah usaha mengerahkan segenap kemampuan demi mencapai sebuah tujuan yang dikehendaki berupa mengetahui hukum, agar dikuasai seseorang (yang berusaha).
Seorang mujtahid, jika sudah sempurna perangkat ijtihadnya sebagaimana keterangan yang telah lewat, maka jika ia melakukan ijtihad di dalam masalah-masalah furu’ (cabangan) dan ternyata tepat, maka ia akan mendapatkan dua pahala, yakni pahala atas ijtihad dan ketepatannya. Dan jika ia berijtihad dalam masalah furu’ ternyata keliru, maka ia mendapat satu pahala, yaitu satu pahala atas ijtihadnya. Dan akan datang kemudian dalilnya.
Di antara para ulama berpendapat bahwa setiap mujtahid yang berijtihad dalam masalah furu’ dipastikan kebenarannya. Hal ini didasarkan bahwasanya hukum Allah SWT itu baginya dan bagi orang yang mengikutinya adalah apa yang dihasilkan dari ijtihadnya.
Dan tidak boleh dikatakan, setiap mujtahid dalam masalah dasar-dasar tauhid, yakni aqidah, adalah benar, sebab hal tersebut berimplikasi pada pembenaran pelaku kesesatan, yaitu kaum Nasrani atas perkataan mereka tentang trinitas (tatslits), kaum Majusi atas perkataan mereka tentang dua asal alam ; cahaya dan kegelapan, orang kafir atas keyakinan mentiadakan tauhid, pengiriman para rasul dan tempat kembali di akhirat, serta aliran mulhidin (sesat) atas penafian sifat-sifat Allah SWT sebagaimana al-Kalam, penciptaan Allah terhadap semua perbuatan makhluk, dan bahwasanya Allah SWT dapat disaksikan di akhirat, dan lain sebagainya.
Dalil yang dijadikan dasar oleh mereka yang menyatakan bahwa  setiap Mujtahid dalam masalah furu’ belum tentu benar adalah sabda Rasulullah SAW “Barang siapa yang berijtihad kemudian benar, maka baginya mendapat dua pahala, dan barang siapa berijtihad kemudian salah, maka baginya mendapat satu pahala”. Sisi argumentasi (dari dalil ini) adalah bahwasanya Nabi SAW satu tempo menyandarkan kata ‘salah’ pada mujtahid dan pada tempo lainnya membenarkannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim. Dan redaksi dari Imam Bukhari adalah “ketika seorang hakim berijtihad, kemudian menghukumi dan ternyata benar, maka baginya mendapat dua pahala. Dan apabila menghukumi ternyata salah, maka baginya mendapatkan satu pahala.
Wallahu a’lam

Penjelasan :
Ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan agar sampai pada sebuah tujuan, yaitu memahami hukum-hukum syariat.
Seseorang jika sudah memenuhi persyaratan dan kriteria mujtahid sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu, maka jika ia melakukan ijtihad dalam masalah-masalah furu’ (cabangan) dan hasil ijtihadnya tepat sesuai dengan kenyataan, maka ia akan mendapatkan dua pahala, satu pahala atas jerih payahnya berijtihad dan satu pahala atas ketepatannya dalam berijtihad. Namun jika hasil ijtihadnya tidak tepat, ia tetap mendapat satu pahala, yaitu pahala atas jerih payahnya berijtihad. Hal ini berdasarkan atas sabda Nabi Muhammad SAW. Yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim
مَنْ إِجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَمَنْ اجْتَهَدَ وَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
“Barang siapa yang berijtihad ternyata benar, maka baginya mendapat dua pahala, dan barang siapa berijtihad ternyata salah, maka baginya mendapat satu pahala”

Sedangkan redaksi riwayat dari Imam Bukhari
إِذَا إِجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَحَكَمَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَاحَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْر
“Apabila seorang hakim berijtihad, kemudian memberikan hukum dan benar, maka baginya mendapat dua pahala. Dan ketika memberikan hukum kemudian salah, maka baginya mendapatkan satu pahala”.

Sebagian ulama menyatakan bahwa setiap mujtahid dalam masalah furu’ pasti benar, pendapat ini didasarkan bahwasanya hukum-hukum Allah SWT baginya dan bagi orang yang mengikutinya adalah apa yang dihasilkan dari ijtihadnya. Dan hukum Allah SWT mengikuti apa yang ada dalam persangkaan setiap mujtahid.
Hal ini tidak berlaku dalam persoalan akidah. Tidak diperbolehkan menyatakan bahwa setiap mujtahid dalam persoalan ini pasti benar, sebab hal ini dapat berimplikasi pada pembenaran terhadap akidah-akidah yang menyeleweng. Dan yang seharusnya kita katakan bahwa mujtahid dalam masalah akidah hanya satu yang benar, dan yang lain adalah salah.

Pertanyaan :
Apakah yang dikehendaki dengan furu’ ?
Jawab :
Yang dikehendaki adalah masalah-masalah fiqh yang diijtihadi dan belum ada dalil yang memastikannya.
Referensi :
(فِي الْفُرُوْعِ) أَيْ الاِجْتِهَادِيَةِ اَلتِّى لَا قَاطِعَ فِيْهَا (اَلنَّفَحَاتُ صـ164)
“(Ungkapan pengarang: di dalam masalah-masalah furu’), yakni masalah yang diijtihadi yang tidak terdapat dalil qath’i di dalamnya”.

Pertanyaan :
Adakah dalil lain yang digunakan oleh ulama yang berpendapat bahwa tidak semua mujtahid benar?
Jawab :
Ada, yakni sabda Rasulullah SAW
عَنْ بُرَيْدَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "اَلْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ اِثْنَانِ فِي اَلنَّارِ وَوَاحِدٌ فِي اَلْجَنَّةِ رَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِي اَلْجَنَّةِ وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَلَمْ يَقْضِ بِهِ وَجَارَ فِي اَلْحُكْمِ فَهُوَ فِي اَلنَّار وَرَجُلٌ لَمْ يَعْرِفِ الْحَقَّ فَقَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي اَلنَّارِ"_رَوَاهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ
“Diceritakan dari Buraidah RA beliau berkat, bersabda Rasulullah SAW “tiga orang Qadhi (hakim), dua orang diantaranya berada di Neraka, dan seorang di Surga. Seseorang yang mengetahui kebenaran dan menghukumi dengannya, maka ia berada di surga. Dan seseorang yang mengetahui kebenaran dan tidak menghukumi dengannya, bahkan melakukan penyimpangan hukum, maka ia berada di neraka. Dan seseorang yang tidak mengetahui kebenaran dan menghukumi diantara manusia dengan tanpa pengetahuan, maka ia berada di neraka” (HR. imam empat dan dishahihkan oleh Imam Hakim).













1 An-Nafahat hal 12
2 An-Nafahat hal 10
3 Lathaif al-Isyarah hal 04 dan An-Nafahat hal 9
[2][4] Dinamakan murakkab, karena susunan tersebut memiliki bagian (juz) yang apabila dipisahkan dari susunannya, maka tiap-tiap bagian tetap memiliki makna, زَيْدٌ artinya orang yang bernama zaid, dan قَائِمٌ artinya orang yang berdiri.
[3][5]  An Nafahat 16
[4][6] Rasm secara lughat adalah akibat.
[5][7] An-Nafahat hal 07
[6][8] Lathaif al-Isyarah hal 12 dan an-Nafahat hal 19
[7][9]   Lataif al-Isyarah hal 24
[8][10]  Lataif al-Isyarah hal 24 dan Bahr al-Muhith vol I hal 39
[9][11] An-Nafahat hal 27
[10][12] An-Nafahat hal 35


[1][71] Sastra semacam ini dinamakan iqtibas, yakni menyelipkan ayat Al-Qur’an atau Hadits dalam sebuah perkataan dengan cara yang tidak menyiratkan kata-kata tersebut diambil dari keduanya (An-Nafahat hal 162). Dalam contoh ini, ayat yang diselipkan diambil dari QS. an-Najm 3-4.












Posting Komentar

Harap berkomentar yang bisa mendidik dan menambah ilmu kepada kami

Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler