Maksumnya Nabi

 🅿️ PERTANYAAN 


Nabi Adam عليه السلام ma'sum, tetapi mengapa sampai diturunkan dari surga ❓


💟 JAWABAN 


Salah satu dari empat sifat yang wajib bagi para Rasul عليهم السلام yang wajib atas tiap-tiap mukallaf meng-i'tiqad-kannya adalah sifat amanah artinya mereka terpelihara dari melakukan dosa, baik dosa besar ataupun dosa kecil. Baik haram ataupun makruh. Baik sengaja ataupun tidak.


Sebelum kami menjawab pada pertanyaannya mengenai persoalan Nabi Adam عليه السلام ini terlebih dahulu ingin kami berikan suatu perbandingan. 


Misalnya, jika seorang pemain sandiwara yang sudah terlatih memegang peranan dalam sandiwara itu sebagai "pembunuh." Dan di panggung, dia perlihatkan kecekatannya sebagai seorang pembunuh, dalam suatu scene menurut apa yang tertera dalam skenario. Sekian banyaknya penonton mengatakan dialah penjahatnya. 


Terkadang timbul kebencian orang yang terbawa oleh jalan cerita yang begitu hebat karena ia dibawakan oleh seorang pemain watak, sebagai penjahat dalam cerita itu. Dia mendapat julukan "penjahat" dan penjahat.


Akan tetapi pada hakikatnya orang yang disebut oleh penonton itu sebagai penjahat, setelah selesai pemainannya ia mendapat suatu jabatan tangan yang hangat dari sutradara yang sejak tadi turut memperhatikan jalannya cerita itu. Ia adalah seorang pemain yang baik. Untuk ini dapatlah saya katakan, dia itu secara surî (acting yang nampak-ed) sedemikian rupa adalah penjahat, tetapi secara hakiki dia adalah seorang yang amat patuh kepada perintah atasan dan cekatan.


Untuk persoalan Nabi Adam عليه السلام ini dapat dibaca dalam kitab Tafsir aş-Şawi juz ke-I hal 22 sebagai berikut,


وَالْحَقُّ أَنْ يُقَالَ أَنَّ ذَلِكَ مِنْ سِرِّ الْقَدَرِ فَهِيَ مَنْهِي عَنْهُ ظَاهِرًا لَا بَاطِناً فَإِنَّ


هُ بِالْبَاطِنِ مَأْمُورٌ بِالْأَوْلَى مِنْ قِصَّةِ الْخَضِرِ مَعَ مُوسَى وَإِخْوَةِ يُوْسُفَ مَعَهُ عَلَى أَنَّهُمْ أَنْبِيَاءِ فَإِنَّ اللَّهَ حِيْنَ قَالَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً كَانَ قَبْلَ خَلْقِهِ وَهَذَا الْأَمْرُ مُبْرَمٌ يَسْتَحِيْلُ تَخَلَّفُهُ فَلَمَّا خَلَقَهُ وَأَسْكَنَّهُ الْجَنَّةَ أَعْلَمَهُ بِالنَّهْي عَنِ الشَّجَرَةِ صُوْرَةً فَهَذَا النَّهْيُ صُوْرِيَّ وَأَكْلُهُ مِنَ الشَّجَرَةِ جَبَرِيَّ لِعِلْمِهِ أَنَّ الْمَصْلَحَةَ مُتَرَبِّبَةٌ عَلَى أَكْلِهِ. وَإِنَّمَا سُمِّيَ مَعْصِيَةٌ نَظَرْ لِلنَّهْيِ الظَّاهِرِي فَمَنْ حَيْثُ الْحَقِيقَةُ لَمْ يَقَعُ مِنْهُ عِصْيَانٌ وَمِنْ حَيْثُ الشَّرِيعَةُ وَقَعَتْ مِنْهُ الْمُخَالَفَةُ وَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ إِبْنُ الْعَرَبِيِّ لَوْ كُنْتُ مَكَنَ آدَمَ لَأَكَلْتُ الشَّجَرَةَ بِتَمَامِهَا لِمَا تَرَتَّبَ عَلَى أَكْلِهِ مِنَ الْخَيْرِ الْعَظِيمِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ ذَلِكَ إِلَّا وُجُوْدُ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ لَكَفَى.


Dan yang benar, bahwa dikatakan sesungguhnya yang demikian itu adalah Sirru al-Qadar, maka dia itu dilarang daripadanya pada lahirnya, tidak pada batinnya. Karena pada batin Nabi Adam adalah perintah. lebih utama daripada kisahnya. Nabi Khidir serta Nabi Mûsa dan saudara Nabi Yûsuf besertanya terlebih bahwa mereka itu adalah nabi-nabi. Maka sesungguhnya Allah ketika berfirman kepada para Malaikat, "Sesungguhnya Aku akan jadikan di bumi itu seorang Khalifah," adalah sebelum menjadikan Adam. Dan perkara ini sudah dipastikan, yang mustahil bila ada kesalahannya. Maka tatkala dijadikan-Nya dan diberinya kediaman di dalam Surga, maka diberitahu adanya dengan larangan makan buah pada rupanya (lahirnya). 


Larangan ini adalah LARANGAB SURI dan makannya akan buah adalah JABARI , dengan sengaja mengetahui dan sadar karena diketahuinya bahwa maslah itu terletak dalam memakannya. Dan hal itu disebut "maksiat" adalah memandang kepada larangan yang dhahir. Maka dipandang dari sudut syari'at, terjadi dari padanya suatu pelanggaran. 


Dan sebagian dari makna itulah apa yang dikatakan oleh Ibnu al-Arabi, "Jika sekiranya aku berada di tempat Adam, niscaya aku makan pohon itu dengan sempurna, karena terletak di dalam memakannya daripada kebaikan yang banyak dan sekalipun misalnya tidak ada dan kebaikan itu melainkan hanya wujudnya Sayyidina Muhammad niscaya cukuplah."


Selanjutnya dalam Tafsîr as-Sawî juz ke-1 halaman 22,


إِنَّهُ إِجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَسَمَ اللَّهُ خَطَأَهُ مَعْصِيَةً فَلَمْ يَقَعُ مِنْهُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِنَّمَا هِيَ مِنْ بَابِ حَسَنَاتِ الْأَبْرَارِ سَيِّئَتِ الْمُقَرَّبِينَ فَلَمْ يَتَعَمَّدَ الْمُخَالَفَةِ. وَمَنْ نَسَبَ التَّعَمَّدَ وَالْعِصْيَانَ لَهُ بِمَعْنَى فِعْلِ الْكَبِيرَةِ أَوِ الصَّغِيرَةِ فَقَدْ كَفَرَ كَمَا أَنَّ مَنْ نَفَى اِسْمَ الْعِصْيَانِ عَنْهُ فَقَدْ كَفَرَ أَيْضًا لِنَصِّ الْآيَةِ.


Bahwa sesungguhnya Ādam berijtihad, maka salah ijtihadnya, lalu Allah memberi nama kesalahannya itu dengan maksiat, padahal tidak pernah terjadi daripada dosa kecil ataupun dosa besar. Dan hal itu termasuk dalam bab:


حَسَنَاتُ الْأَبْرَارِ سَيِّأَتُ الْمُقَرَّبِينَ


Maka tidaklah Adam sengaja menyalahi. 


Dan barang siapa yang menganggap (Nabi Adam) sengaja dan berdosa bagi Adam dengan makna ia melakukan dosa besar atau dosa kecil, sesungguhnya ia telah kufur sebagaimana juga barangsiapa yang menolak nama maksiat daripadanya adalah kufur karena ada nash ayat al-Quran.


Di dalam kitab Tafsir as-Sawî dan ada pula hadis yang diriwayatkan dari "Abdul 'Aziz bin Rafi' ia berkata, telah memberitakan kepadaku oleh Mujahid dari 'Ubaid bin 'Umair t bahwa ia berkata,


قَالَ آدَمُ يَارَبِّ خَطِيئَتِي الَّتِي أَخْطَأْتُ شَيْءٌ كَتَبْتَهُ عَلَى قَبْلَ أَنْ نَحْلُقَنِي أَوْ شَيْءٌ ابْتَدَعْتَهُ مِنْ قَبْلِ نَفْسِي. قَالَ بَلْ شَيْءٌ كَتَبْتَهُ عَلَيْكَ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَكَ.


Telah berkata Adam, "Ya Tuhanku, kesalahanku yang aku lakukan selaku kesalahan itu sesuatu yang Engkau telah tuliskan atasku sebelum Engkau jadikan aku, ataukah sesuatu yang Engkau keluarkan dariku." Jawabnya, "Bahkan sesuatu yang telah Aku tuliskan di atasmu sebelum Aku jadikan engkau."


🅿️💟 Tahqiq


Menurut Sayyid Quthub dalam Tafsîr Fi Zilali Al-Qur'an, Firman Allah "Innî Jailun fi Al-ardi khalifah", mengenai Nabi Adam عليه السلام diciptakan untuk bumi ini sebagai khalifah atau pengganti fungsi-fungsi tuhan di muka bumi ini. Adanya "pohon terlarang", ujian dan peristiwa penurunannya ke bumi ini merupakan sebuah pengalaman, sebagai pendidikan dan persipan bagi khalifah ini. Dan hal itu menunjukkan potensi yang tersimpan di dalam dirinya, sebagai latihan dalam menghadapi godaan, merasakan akibatnya, menelan penyesalannya, mengetahui siapa musuhnya dan setelah itu berlindung ke tempat yang aman.


Selanjutnya mengenai Adam عليه السلام berbuat maksiat, kemudian ia bertobat padahal para nabi mashum dari perbuatan dosa, dalam menanggapi masalah ini menurut Al-Maraghi dalam tafsirnya, Tafsir Al-Maraghi menjawab dengan tiga faktor:


Kesalahan yang dilakukan Adam ketika ia belum diangkat menjadi Nabi. Dan keadaan masum ini hanya berlaku ketika ia menjadi nabi.


Kesalahan ini dilakukan dalam keadaan khilaf atau lupa. Kemudian kelupaan ini dijadikan sebagai maksiat karena mengingat kedudukannya yang tinggi, maka khilaf atau lupa ini tidak bertentangan dengan keadaan masum.


Ayat yang menjelaskan masalah ini termasuk ayat mutasyabihat. 


Sebagaimana ayat-ayat lain yang menceritakan berbagai macam kisah. Ayat-ayat tersebut tidak bisa dipahami secara lahiriah atau nas saja. 


Dalam memahaminya kita harus menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sebab hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui makna se benarnya.


🌼  4  Des 2024 / Kaf 🦋

hamba Tuhan

Penting ngaji

Posting Komentar

Harap berkomentar yang bisa mendidik dan menambah ilmu kepada kami

Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler