FORMAT PENETAPAN BAHTSUL MASAIL


1.  FORMAT PENETAPAN BAHTSUL MASAIL

Deskripsi Masalah

Itsbatul ahkam dalam NU selama ini tidak dimaksudkan sebagai aktifitas menetapkan hukum yang secara langsung bersumber dari al-Qur’ân dan al-Hadits, karena yang bisa melakukan hal ini adalah ulama yang masuk kategori mujtahid. Itsbatul ahkam dalam konteks ini dimaksudkan sebagai penetapan hukum dengan cara men-tathbiq-kan (mencocokkan / menerapkan) secara tepat dan dinamis dari qaul dan ’ibarah terutama dalam kutub mu’tamadah di lingkungan madzhab Imam Syafi’i.
Dalam Munas Alim Ulama di Lampung tahun 1992, Ulama NU merumuskan perkembangan penting dari sistem itsbatul ahkam. Ketika itu mulai diintrodusir ijtihad manhaji meskipun belum sepenuhnya mampu diaplikasikan dalam bahtsul masail. Dalam Munas tersebut dirumuskan prosedur dan langkah-langkah penetapan hukum.
Dalam Muktamar NU ke-31 di Donohudan Solo ada perkembangan baru, yaitu sejumlah ayat al-Quran dan al-Hadits dicantumkan dalam setiap jawaban persoalan hasil bahtsul masail.  Tradisi demikian, nyaris tidak pernah dilakukan dalam bahtsul masail NU sebelumnya.
Di samping itu, dalam Munas Alim Ulama di Surabaya tahun 2006, Ulama NU membuat pengelompokan kutub mu’tamadah di semua madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali).

Pertanyaan :

1.            Apakah perlu mencantumkan ayat al-Quran, al-Hadits, dan dalil-dalil syara’ lainnya dalam jawaban bahtsul masail NU?
2.            Jika memang diperlukan mencantumkan ayat al-Quran, al-Hadits dan dalil-dalil syara’ lainnya, bagaimana formatnya? Apakah menggunakan urutan sesuai dengan tingkat kekuataannya, yaitu al-Quran, al-Hadits, dan dalil-dalil syara’ lainnya kemudian aqwalul ulama, ataukah aqwalul ulama baru kemudian ayat al-Quran, al-Hadits, dan dalil-dalil syara’ lainnya?
3.            Sejauh mana muqaranatul madzahib diperlukan dalam bahtsul masail NU dengan menggunakan kutub mu’tamadah yang telah dirumuskan dalam Munas Alim Ulama NU di Surabaya?

Jawaban:

1.            Pencantuman ayat al-Quran, al-Hadits, dan dalil-dalil syara’ lainnya diperlukan dalam setiap jawaban, karena pada hakikatnya setiap hukum pasti berdasarkan al-Qur’an, al-Hadits dan dalil-dalil syara’ lainnya, dengan ketentuan bahwa ayat al-Qur’an, al-Hadits dan dalil-dalil syara’ lainnya tersebut merupakan bagian dari pendapat Ulama yang terdapat dalam kutub mu’tamadah. Hal ini karena Ulama NU menyadari, bahwa yang mampu berijtihad langsung dari al-Qur’an, al-Hadits dan dalil-dalil syara’ lainnya adalah para mujtahid, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab, di antaranya Tarsyihul Mustafidin
2.              Aqwalul ulama didahulukan, baru kemudian dilengkapi dengan ayat al-Qur’an beserta tafsirnya, al-Hadits beserta syarahnya, dan dalil-dalil syara’ lainnya karena al-Qur’an, al-Hadits dan dalil-dalil syara’ lainnya dalam pandangan Ulama NU tidak dijadikan sebagai dalil yang mandiri, tetapi merupakan bagian dari ijtihad ulama.
3.              Muqaranatul madzahib dalam madzhab empat diperlukan untuk memperoleh pendapat yang ansab (lebih sesuai) dengan tetap berpegang pada prinsip عدم تتبع الرخص (tidak ada maksud mencari kemudahan) sejalan dengan AD NU tentang prinsip bermadzhab.



Posting Komentar

Harap berkomentar yang bisa mendidik dan menambah ilmu kepada kami

Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler