MENYOAL MAHAR MAJHUL DALAM AKAD NIKAH
Oleh: M. Anwar Rifa'i
_________
Pernikahan adalah ikatan yang bisa menghalalkan sesuatu yang sebelumnya sangat diharamkan syariat. Sebelum menikah kontak biologis disebut zina dan termasuk dosa besar, tapi setelah pernikahan, kontak biologis itu menjadi legal, halal, bahkan berpahala.
Untuk itu kita perlu berhati-hati dalam membangun dasarnya, karena jembatan pemisah ini terlampau ekstrem yakni antara dosa besar dan berpahala. Konsekuensi akad nikah tidak hanya menyatukan sepasang kekasih dalam ikatan yang halal, tetapi juga membawa tanggung jawab syariat, salah satunya adalah kwajiban membayar mahar bagi pria.
Masalah: Dalam praktiknya, kita sering mendengar istilah mahar, tetapi tidak jarang pula muncul kebingungan, terutama ketika penyebutan mahar dalam akad nikah ternyata tidak jelas atau ambigu, ini dikenal sebagai 𝘮𝘢𝘩𝘢𝘳 𝘮𝘢𝘫𝘩𝘶𝘭.
Sebagai contoh:
- “…dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai” atau
- “…dengan perhiasan emas dibayar tunai”
Kedua contoh ini adalah praktik penyebutan 𝘮𝘢𝘩𝘢𝘳 𝘮𝘢𝘫𝘩𝘶𝘭 (tidak spesifik) yang berkonsekuensi suami harus membayar 𝑚𝘢ℎ𝘢𝑟 𝑀𝘪𝑠𝘵𝑙.
Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan 𝘮𝘢𝘩𝘢𝘳 𝘮𝘢𝘫𝘩𝘶𝘭? Berapa nilai 𝑚𝘢ℎ𝘢𝑟 𝑀𝘪𝑠𝘵𝑙? Mari kita bahas secara sistematis agar lebih mudah dipahami, dengan merujuk pada kitab turats yang otoritatif.
1. 𝐌𝐞𝐦𝐚𝐡𝐚𝐦𝐢 𝐉𝐞𝐧𝐢𝐬 𝐌𝐚𝐡𝐚𝐫: 𝐌𝐮𝐬𝐚𝐦𝐦𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐌𝐢𝐭𝐬𝐢𝐥
Sebelum masuk ke pembahasan 𝘮𝘢𝘩𝘢𝘳 𝘮𝘢𝘫𝘩𝘶𝘭, kita perlu memahami dua jenis mahar: 1) 𝑚𝘢ℎ𝘢𝑟 𝑚𝘶𝑠𝘢𝑚𝘮𝑎 dan 2) 𝘔𝑎𝘩𝑎𝘳 𝘮𝑖𝘵𝑠𝘪𝑙.
𝘔𝘢ℎ𝘢𝑟 𝑚𝘶𝑠𝘢𝑚𝘮𝑎 adalah mahar yang disebutkan secara spesifik dalam akad nikah berdasarkan kesepakatan antara calon mempelai pria dan wali, dengan mempertimbangkan hak yang sepadan bagi mempelai wanita atau minimal ridhonya jika nilai maharnya sedikit.
Contoh penyebutan mahar secara spesifik (𝑚𝘢ℎ𝘢𝑟 𝑚𝘶𝑠𝘢𝑚𝘮𝑎), “Saya nikahkan putriku kepadamu dengan mahar cincin emas rose gold seberat 5 gram.”.
Sementara itu, 𝘔𝑎𝘩𝑎𝘳 𝘮𝑖𝘵𝑠𝘪𝑙 adalah nilai mahar yang setara dengan apa yang biasa dibayarkan untuk wanita yang sepadan dengan sang istri dalam hal nasab (keturunan), kecantikan, status sosial, dan sifat lainnya. Mahar ini menjadi acuan ketika mahar dalam akad tidak disebutkan atau disebutkan tetapi tidak memenuhi syarat keabsahan.
Dalam kitab Umdah al-Salik (hal. 208), dijelaskan:
ثم مهر المثل هو ما يرغب به في مثلها، فيعتبر بمن يساويها من نساء عصباتها في السن والعقل والجمال واليسار والثيوبة والبكارة والبلد
“𝘔𝑎𝘩𝑎𝘳 𝘮𝑖𝘵𝑠𝘪𝑙 adalah nilai yang dikehendaki pria untuk diberikan kepada wanita yang setara dengannya (Istilah kasarnya; sejumlah mahar yang pantas dan layak diberikan padanya), dipertimbangkan berdasarkan wanita dari kalangan ashabahnya yang setara dalam usia, akal, kecantikan, kekayaan, status janda atau perawan, dan tempat tinggal.”
2. 𝐇𝐮𝐤𝐮𝐦 𝐏𝐞𝐧𝐲𝐞𝐛𝐮𝐭𝐚𝐧 𝐌𝐚𝐡𝐚𝐫 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐤𝐚𝐝 𝐍𝐢𝐤𝐚𝐡
Apakah menyebutkan mahar dalam akad nikah wajib? Menurut mazhab Syafi’i, penyebutan mahar hukumnya sunnah, bukan syarat sahnya akad. Artinya, akad nikah tetap sah meskipun mahar tidak disebutkan, bahkan jika disertai pernyataan menafikan mahar, seperti, “Saya nikahkan putriku kepadamu tanpa mahar.” Namun, penting dicatat: meskipun akad sah, suami tetap wajib membayar mahar, dan nilai yang wajib dibayarkan adalah 𝘔𝑎𝘩𝑎𝘳 𝘮𝑖𝘵𝑠𝘪𝑙.
«حاشية البجيرمي على الخطيب = تحفة الحبيب على شرح الخطيب» (٣/ 436):
«(وَيُسْتَحَبُّ) لِلزَّوْجِ (تَسْمِيَةُ الْمَهْرِ) لِلزَّوْجَةِ (فِي) صُلْبِ (النِّكَاحِ) أَيْ الْعَقْدِ؛ «؛ لِأَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لَمْ يُخْلِ نِكَاحًا عَنْهُ» ، وَلِأَنَّهُ أَدْفَعُ لِلْخُصُومَةِ؛ وَلِئَلَّا يُشْبِهَ نِكَاحَ الْوَاهِبَةِ نَفْسَهَا لَهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. ….. (فَإِنْ لَمْ يُسَمِّ) صَدَاقًا بِأَنْ أُخْلِيَ الْعَقْدُ مِنْهُ (صَحَّ الْعَقْدُ) بِالْإِجْمَاعِ، لَكِنْ مَعَ الْكَرَاهَةِ كَمَا صَرَّحَ بِهِ الْمَاوَرْدِيُّ وَالْمُتَوَلِّي وَغَيْرُهُمَا. ….وَإِذَا خَلَا الْعَقْدُ مِنْ التَّسْمِيَةِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ مُفَوِّضَةً اسْتَحَقَّتْ مَهْرَ الْمِثْلِ بِالْعَقْدِ.
“Disunnahkan bagi suami untuk menyebutkan mahar bagi istri dalam akad pernikahan, yaitu pada saat akad nikah. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan pernikahan tanpa menyebutkan mahar, juga karena penyebutan mahar dapat mencegah perselisihan, dan agar pernikahan tersebut tidak menyerupai pernikahan seorang wanita yang menghibahkan dirinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ……Jika mahar tidak disebutkan, yaitu ketika akad nikah tidak memuat penyebutan mahar, maka akad nikah tetap sah berdasarkan ijma’ (konsensus ulama). Namun, hal ini dianggap makruh sebagaimana ditegaskan oleh al-Mawardi, al-Mutawalli, dan ulama lainnya…….Apabila akad nikah tidak memuat penyebutan mahar dan wanita tersebut bukan mufawwidhah (yang menyerahkan penentuan mahar kepada suami), maka ia berhak mendapatkan mahar mitsil berdasarkan akad tersebut.
3. 𝐌𝐚𝐡𝐚𝐫 𝐌𝐚𝐣𝐡𝐮𝐥: 𝐊𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐏𝐞𝐧𝐲𝐞𝐛𝐮𝐭𝐚𝐧 𝐌𝐚𝐡𝐚𝐫 𝐓𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐉𝐞𝐥𝐚𝐬
Masalah muncul ketika mahar disebutkan dalam akad, tetapi penyebutannya ambigu atau tidak jelas (majhul). Misalnya,
• "Aku nikahkan putriku fulanah kepadamu dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai."
• "Aku nikahkan putriku kepadamu dengan mahar perhiasan emas dibayar tunai."
Penyebutan ini dianggap majhul karena tidak jelas dan tidak terukur, yakni:
• Seperangkat alat sholat: Apakah mencakup mukena, sajadah, atau tasbih? Jika ya, mukena dari bahan apa? Sajadah ukuran berapa? Tasbih terbuat dari apa?
• Perhiasan emas: Apakah kalung, cincin, atau gelang? Berapa gram? Berapa kadarnya?
Dalam kasus penyebutan mahar bersifat majhul ini, hukum akad nikah tetap sah tetapi mahar yang disebutkan tidak sah, dan suami wajib membayar 𝘔𝑎𝘩𝑎𝘳 𝘮𝑖𝘵𝑠𝘪𝑙.
Syarat keabsahan 𝑚𝘢ℎ𝘢𝑟 𝑚𝘶𝑠𝘢𝑚𝘮𝑎 adalah penyebutannya harus jelas (ma’lum), baik dari segi jenis, jumlah, maupun sifatnya, untuk menghindari gharar (ketidakpastian) yang dilarang syariat.
Dalam Asna al-Mathalib (15/318), dijelaskan:
( الْبَابُ الثَّانِي فِي ) حُكْمِ ( الصَّدَاقِ الْفَاسِدِ وَلِفَسَادِهِ أَسْبَابٌ ) سِتَّةٌ ( الْأَوَّلُ ) ضَرْبَانِ أَحَدُهُمَا ( عَدَمُ الْمَالِيَّةِ ) فِيهِ مُطْلَقًا أَوْ لِلزَّوْجِ كَخَمْرٍ وَمَغْصُوبٍ ( وَقَدْ سَبَقَ ) ....... ( و ) ثَانِيهِمَا ( الْجَهَالَةُ ) كَأَنْ أَصْدَقَهَا عَبْدًا أَوْ ثَوْبًا غَيْرَ مَوْصُوفٍ فَيَجِبُ مَهْرُ الْمِثْلِ لِفَسَادِ التَّسْمِيَةِ
“Bab kedua tentang hukum mahar yang fasid, dan sebab kefasidannya ada enam. Yang pertama terbagi dua: (1) tidak memiliki nilai harta secara mutlak atau yang suami miliki adalah seperti khamr atau barang curian... (2) ketidakjelasan (jahalah), seperti memberikan mahar berupa seorang hamba atau kain tanpa keterangan sifatnya, maka wajib 𝘔𝑎𝘩𝑎𝘳 𝘮𝑖𝘵𝑠𝘪𝑙 karena penyebutan yang fasid.”
Juga dalam Fath al-Wahhab (1/274):
(و) خامسها (علم) للعاقدين به عينا وقدرا وصفة على ما يأتي بيانه حذرا من الغرر، لما روى مسلم أنه (صلى الله عليه وسلم) نهى عن بيع الغرر
“Dan yang kelima adalah kedua pihak yang berakad mengetahui bentuk, jumlah, dan sifatnya (mahar), sebagaimana akan dijelaskan, untuk menghindari gharar, atas dasar riwayat Imam Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli yang mengandung gharar.”
4. 𝐒𝐨𝐥𝐮𝐬𝐢 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐡𝐢𝐧𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐌𝐚𝐡𝐚𝐫 𝐌𝐚𝐣𝐡𝐮𝐥
Agar terhindar dari masalah 𝘮𝘢𝘩𝘢𝘳 𝘮𝘢𝘫𝘩𝘶𝘭, ada dua solusi praktis yang bisa diterapkan:
1) Menyebutkan Mahar secara Spesifik
Penyebutan mahar harus jelas, terukur, dan tidak meninggalkan ruang untuk tafsir ganda. Contohnya:
➡️“Uang tunai Rp1.000.000.”
➡️ “Seperangkat alat sholat berupa mukena woll warna putih model terusan ukuran XL, sajadah berbahan beludru ukuran 70x110 cm, dan tasbih kayu oka-oka 100 butir berdiameter 2 mm, dibayar tunai.”
➡️ “Kalung emas jenis collar seberat 4 gram, dibayar tunai.”
2) Menunjuk Benda Mahar dengan Isyarat Jelas
Jika mahar berupa benda, kedua belah pihak harus melihat benda tersebut secara langsung (tidak terbungkus) dan menunjuknya dengan isyarat yang jelas. Contoh
➡️“Seperangkat alat sholat INI, dibayar tunai.”
➡️“Perhiasan emas INI, dibayar tunai.”
Dengan dua cara ini, potensi gharar dapat dihindari, mahar yang disebut dan diberikan sesuai hukum.
5. 𝐋𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐃𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐭𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐚𝐡𝐚𝐫 𝐌𝐢𝐭𝐬𝐥𝐢𝐥
Sekarang, mari kita dalami apa itu 𝘔𝑎𝘩𝑎𝘳 𝘮𝑖𝘵𝑠𝘪𝑙. 𝘔𝑎𝘩𝑎𝘳 𝘮𝑖𝘵𝑠𝘪𝑙 ditentukan berdasarkan mahar yang biasa diberikan kepada wanita dari kalangan ashabah (kerabat dekat dari garis ayah) istri, seperti kakak perempuan, bibi, atau sepupu. Faktor yang dipertimbangkan meliputi nasab, kecantikan, status perawan atau janda, akhlak, pendidikan, dan lingkungan tempat tinggal. Jika tidak ada ashabah, maka merujuk pada kerabat lain (seperti ibu atau bibi dari ibu) atau wanita sepadan di daerahnya.
Referensi: Dalam Mughni al-Muhtaj (13/18), disebutkan:
فصل أي في ضابط ذلك ( مهر المثل ما يرغب به في مثلها ) عادة ( وركنه ) أي مهر المثل ( الأعظم نسب ) في النسيبة لوقوع التفاخر به كالكفاءة في النكاح
“Bab tentang ketentuan 𝘔𝑎𝘩𝑎𝘳 𝘮𝑖𝘵𝑠𝘪𝑙, yaitu sejumlah nilai yang umumnya dikehendaki pria untuk wanita yang sepadan dengannya. Unsur pertimbangan utamanya adalah nasab, karena nasab sering menjadi kebanggaan, sebagaimana ketentuan kafaah (sekufu/selevel) dalam pernikahan.”
Berapa nilai 𝘔𝑎𝘩𝑎𝘳 𝘮𝑖𝘵𝑠𝘪𝑙? Ini sangat kondisional. Untuk wanita dengan nasab dan sifat biasa, mungkin setara 5 gram emas atau Rp1.000.000. Namun, jika wanita tersebut berpendidikan tinggi, shalihah, berakidah ahlussunnah, dan berasal dari keluarga ulama, tentunya 𝘔𝑎𝘩𝑎𝘳 𝘮𝑖𝘵𝑠𝘪𝑙-nya bisa jauh lebih tinggi. Sebaliknya, jika nasab atau akhlaknya kurang baik, nilainya bisa sangat rendah.
6. Penutup
Mohon lebih berhati-hati lagi bagi para wali hakim atau Kyai sekalipun, karena masalah mahar majhul ini sudah lumrah terjadi di mana-mana.