MENJAWAB FITNAH WAHABI TERHADAP KH MAIMOEN ZUBAIR

 *الرد على الوهابية*

*Ar Rad 'alal Wahabiyyah*

*[BANTAHAN TERHADAP WAHABI] (10)*


۝ MENJAWAB FITNAH WAHABI TERHADAP KH MAIMOEN ZUBAIR GURUNYA GUS BAHA  ۝


Wahabi membuat fitnah terhadap KH Maimoen Zubair dengan bermodalkan potongan rekaman suara KH Maimoen Zubair yang berbicara tentang sifat istawa yang di unggah di Facebook, lihat potongan vidionya DISINI

___

Vidio lebih lengkapnya ini 👇



Guru dari Gus Baha tersebut dinisbatkan kepada aqidah mujassimah sebagaimana yang diyakini Wahabi pada umumnya. Saya jadi teringat perkataan Imam Ibnul Jauzi di dalam kitab Daf'u Syubah at Tasybih:

وَرَأَيْتُ الرَّدَّ عَلَيْهِمْ لَازِمًا لِئَلَّا يُنْسَبُ الْإِمَامُ إِلَى ذَلِكَ

"Aku melihat membantah mereka (mujassimah) menjadi suatu keharusan supaya Imam Ahmad tidak dinisbatkan kepada keyakinan sesat yang demikian itu".


Maka saya pun melihat menulis bantahan terhadap Wahabi menjadi suatu keharusan supaya KH Maimoen Zubair tidak dinisbatkan kepada aqidah mujassimah.


Ini bantahannya:

Pada potongan rekaman suara tersebut KH Maimoen Zubair membahas istawa dengan mengutip kalam Imam Malik. Sehingga tidak salah apa yang dijelaskan oleh beliau, karena Imam Malik adalah ulama salaf yang menempuh jalan "al Imrōr ma'a i'tiqōd at tanzīh" yang artinya membiarkan sifat tanpa ta'wil disertai keyakinan tanzih. 

Para pengikut Wahabi yang awam menyangka bahwa asyā'iroh hanya menempuh jalan ta'wil sehingga tatkala menemukan kyai yang berkata dengan sifat Allah tanpa ta'wil mereka langsung menyangka menyamai aqidah mereka. Padahal sudah terkenal dari semenjak zaman dulu sampai sekarang dikalangan ahli ilmu bahwa asyā'iroh memiliki dua pendapat sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Tajudin as Subkiy berikut ini :

أَقُولُ لِلأَشَاعِرَةِ قَوْلَانِ مَشْهُورَانِ فِي إِثْبَاتِ الصِّفَاتِ: هَلْ تُمَرُّ عَلَى ظَاهِرِهَا مَعَ اعْتِقَادِ التَّنْزِيْهِ أَوْ تُؤَوَّلُ؟

وَالْقَوْلُ بِالإِمْرَارِ مَعَ اعْتِقَادِ التَّنْزِيْهِ هُوَ الْمَعْزُوُّ إِلَى السَّلَفِ، وَهُوَ اخْتِيَارُ الإِمَامِ فِي الرِّسَالَةِ النِّظَامِيَّةِ وَفِي مَوَاضِعَ مِنْ كَلَامِهِ. فَرُجُوعُهُ مَعْنَاهُ الرُّجُوعُ عَنِ التَّأْوِيْلِ إِلَى التَّفْوِيْضِ، وَلَا إِنْكَارَ فِي هَذَا وَلَا فِي مُقَابِلَتِهِ، فَإِنَّهَا مَسْأَلَةٌ اجْتِهَادِيَّةٌ، أَعْنِي مَسْأَلَةَ التَّأْوِيلِ أَوِ التَّفْوِيضِ مَعَ اعْتِقَاد التَّنْزِيْهِ

Aku berkata : Asya'iroh memiliki dua pendapat yang sudah terkenal di dalam menetapkan sifat-sifat : Apakah dibiarkan sesuai redaksinya disertai i'tiqōd at tanzīh atau harus dita'wil ? Dan pendapat yang menyatakan biarkan disertai i'tiqōd at tanzīh adalah pendapat yang disandarkan kepada ulama salaf dan pendapat tersebut adalah pilihan Imam Haramain di dalam kitab Riasalah an Nidzomiyyah dan di dalam beberapa tempat perkataannya. Maka ruju'nya Imam Haramain maknanya adalah ruju' dari ta'wil menuju tafwidh. Tidak ada pengingkaran di dalam hal ini dan juga pada sebaliknya, karena masalah ini adalah masalah yang sifatnya ijtihadiyyah, maksud ku masalah ta'wil dan tafwidh disertai i'tiqōd at tanzīh.

إِنَّمَا الْمُصِيبَةُ الْكُبْرَى وَالدَّاهِيَةُ الدَّهْيَاءُ الْإِمْرَارُ عَلَى الظَّاهِرِ وَالِاعْتِقَادُ أَنَّهُ الْمُرَادُ وَأَنَّهُ لَا يَسْتَحِيلُ عَلَى الْبَارِي، فَذَلِكَ قَوْلُ الْمُجَسِّمَةِ عِبَادِ الْوَثَنِ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ يَحْمِلُهُمُ الزَّيْغُ عَلَى اتِّبَاعِ الْمُتَشَابِهِ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ، عَلَيْهِمْ لَعَائِنُ اللَّهِ تَتْرَى وَاحِدَةً بَعْدَ أُخْرَى. مَا أَجْرَأَهُمْ عَلَى الْكَذِبِ وَأَقَلَّ فَهْمَهُمْ لِلْحَقَائِقِ.

Sesungguhnya musibah terbesar dan bencana yang dahsyat adalah menetapkan makna zahir (dari teks-teks sifat Allah) dan meyakini bahwa itulah yang dimaksud, serta beranggapan bahwa hal tersebut tidak mustahil bagi Allah. Pendapat seperti itu adalah pendapat kaum mujassimah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk), para penyembah berhala, yang di dalam hati mereka terdapat penyimpangan. Penyimpangan itu mendorong mereka untuk mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih (samar maknanya), demi mencari fitnah. Atas mereka laknat Allah bertubi-tubi, satu demi satu. Betapa beraninya mereka terhadap kebohongan, dan betapa sedikitnya pemahaman mereka terhadap kebenaran!

_[Kitab Thabaqōt asy Syafī'iyyah al Kubro. Hal. 191, juz 5]_


Di dalam masalah ini nampaknya KH Maimoen Zubair menyamai Imam Haramain, karena sama sekali tidak membahas ta'wil dari sifat istawa dan pada zaman dulu pun Imam Haramain mengalami fitnah yang sama dengan yang dialami oleh KH Maimoen Zubair sekarang, sehingga murid-muridnya sibuk menulis bantahan, termasuk di sana Imam Tajudin as Subkiy sebagai sesama asyā'iroh menulis penjelasan untuk membantah mujassimah.

Jika dikatakan : Di sana KH Maimoen Zubair mengatakan istawa diketahui maknanya. Maka dikatakan padanya : Na'am, tidak diingkari bahwa ada sebagian asyā'iroh yang mengatakan istawa diketahui maknanya karena mereka membawa istawa kepada makna al 'Uluw (tinggi) dengan sebab Allah memiliki asma al 'Aliy (yang maha tinggi), namun dipastikan maksudnya bukan tinggi menetap pada satu arah yaitu arah atas karena ulama yang memaknai istawa dengan makna tinggi menjadikan istawa sebagai sifat dzat sebagaimana yang dikatakan Imam Ibnu Hajar al Asqalani berikut ini :

وَاخْتَلَفَ أَهْلُ السُّنَّةِ هَلِ الِاسْتِوَاءُ صِفَةُ ذَاتٍ أَوْ صِفَةُ فِعْلٍ فَمَنْ قَالَ مَعْنَاهُ عَلَا قَالَ هِيَ صِفَةُ ذَاتٍ وَمَنْ قَالَ غَيْرَ ذَلِكَ قَالَ هِيَ صِفَةُ فِعْلٍ

Para ulama Ahlussunnah berbeda pendapat apakah istiwa sifat dzat atau sifat perbuatan. Ulama yang berkata maknanya tinggi mengatakan istiwa adalah sifat dzat, sedangkan ulama yang mengatakan selain demikian berkata istiwa adalah sifat perbuatan.

_[Kitab Fāthul Bāri. Hal. 406, juz 13]_


Sudah ma'lum bahwa sifat dzat adalah sifat azaliyah, yaitu sifat yang ada sebelum mahluk diciptakan, maka ulama yang menetapkan istawa dengan makna tinggi meyakini Allah adalah yang tinggi sebelum mahluk diciptakan sehingga mustahil meyakini sifat tinggi tersebut dengan makna menetap pada satu arah yaitu arah atas, karena tidak ada arah sebelum mahluk diciptakan. Lalu jika ditanya jika bukan tinggi menetap pada satu arah lantas apa yang dimaksud dari sifat tinggi tersebut? Maka dikatakan padanya ilmunya diserahkan kepada Allah. Jadi ulama yang membawa istawa kepada sifat tinggi tetap harus mentafwidh makna tinggi yang disifatkan kepada Allah dan ada sebagian dari mereka yang meyakininya dengan makna kemuliaan.


*Abdurrachman asy Syafi'iy*

Posting Komentar

Harap berkomentar yang bisa mendidik dan menambah ilmu kepada kami

Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler