Sholat Fardlu yang dirubah menjadi sholat sunnah dengan sebab agar dapat berjama'ah pada sholat fardlunya
وَلَوْ قَلَبَ الْمُصَلِّي صَلَاتَهُ الَّتِي هُوَ فِيهَا صَلَاةً أُخْرَى عَالِمًا عَامِدًا بَطَلَتْ صَلَاتُهُ، أَوْ أَتَى بِمَا يُنَافِي الْفَرْضَ دُونَ النَّفْلِ، كَأَنْ أَحْرَمَ الْقَادِرُ بِالْفَرْضِ قَاعِدًا أَوْ أَحْرَمَ بِهِ الشَّخْصُ قَبْلَ الْوَقْتِ عَامِدًا عَالِمًا بِذَلِكَ لَمْ تَنْعَقِدْ صَلَاتُهُ لِتَلَاعُبِهِ، فَإِنْ كَانَ مَعْذُورًا كَمَنْ ظَنَّ دُخُولَ الْوَقْتِ فَأَحْرَمَ بِالْفَرْضِ أَوْ قَلَبَهُ نَفْلًا مُطْلَقًا لِيُدْرِكَ جَمَاعَةً مَشْرُوعَةً وَهُوَ مُنْفَرِدٌ، فَسَلَّمَ مِنْ رَكْعَتَيْنِ لِيُدْرِكَهَا، أَوْ رَكَعَ الْمَسْبُوقُ قَبْلَ تَمَامِ التَّكْبِيرِ جَاهِلًا انْقَلَبَتْ نَفْلًا لِلْعُذْرِ، إذْ لَا يَلْزَمُ مِنْ بُطْلَانِ الْخُصُوصِ بُطْلَانُ الْعُمُومِ، وَخَرَجَ بِذَلِكَ مَا لَوْ قَلْبَهَا نَفْلًا مُعَيَّنًا كَرَكْعَتَيْ الضُّحَى فَلَا تَصِحُّ لِافْتِقَارِهِ إلَى التَّعْيِينِ، وَمَا إذَا لَمْ تُشْرَعْ الْجَمَاعَةُ كَمَا لَوْ كَانَ يُصَلِّي الظُّهْرَ فَوَجَدَ مَنْ يُصَلِّي الْعَصْرَ، فَلَا يَجُوزُ الْقَطْعُ كَمَا ذَكَرَهُ فِي الْمَجْمُوعِ فِي بَابِهَا، وَمَا لَوْ عَلِمَ أَنَّهُ أَحْرَمَ قَبْلَ الْوَقْتِ فِي أَثْنَاءِ صَلَاتِهِ فَإِنَّهُ لَا يُتِمُّهَا لِتَبَيُّنِ بُطْلَانِهَا.
[الخطيب الشربيني، مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج، ٣٤٣/١]
Hal ini berbeda dengan jika ia mengubah niatnya menjadi shalat sunnah tertentu (mu'ayyan), seperti shalat dhuha dua rakaat, maka tidak sah karena memerlukan penentuan (ta'yin). Begitu pula jika jamaah yang akan diikuti tidak disyariatkan, seperti ia sedang melaksanakan shalat dzuhur lalu menemukan jamaah yang melaksanakan shalat asar, maka tidak boleh baginya memutus shalatnya sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Majmu' pada bab yang bersangkutan. Atau jika ia mengetahui di tengah shalat bahwa ia memulai shalat sebelum waktunya, maka ia tidak boleh melanjutkan shalat tersebut karena telah terbukti shalatnya batal."
Catatan:
perlu diketahui bahwasanya sholat yang mana didalamnya tidak diperlukan ta'yin/penentuan adalah sholat sunnah mutlaq dan ilhaqnya (yang disamakan terhadap sholat sunnah mutlaq), sebagai berikut :
[غاية المنى شرح سفينة النجاة، صفحة ٣٠٩]
dan disamakan dengan shalat Sunnah mutlak setiap shalat yang di taqyid (namanya di sandarkan pada suatu perkara) -yaitu shalat yang tujuannya adalah dilaksanakannya shalat secara mutlak (shalat apa saja) bukan shalat yang tertentu- contohnya seperti : shalat tahiyatul masjid , shalat sunat wudhu, shalat istikharah, shalat sunnah ihram, shalat Sunnah thawaf, shalat sunnah ketika datang dari perjalanan, dan shalat sunah sebelum keluar untuk perjalanan, dan shalat sunnah ketika memasuki rumah, shalat sunnah setelah keluar dari rumah, atau dari kamar mandi, Dan shalat sunat hajat, dan salat sunat di suatu bumi yang tidak dilaksanakan ibadah kepada Allah di bumi tersebut, dan salat sunat peperangan, dan salat sunnah ketika menghendaki jimak, dan sholatul goflah (di waktu lalai) dan semisalnya... maka apa yg di sebut kan oleh kiai musonnif (niat melakukan sholat saja) telah mencukupi (sah) pada sholat tersebut.
Peringatan :
Oleh karenanya... Andaikata kita melaksanakan sholat fardlu dalam keadaan munfarid (sendiri) kemudian kita merubah sholatnya menjadi sholat-sholat yang disebutkan di atas ini -yakni pada saat raka'at kedua dia melakukan salam-, dengan sebab agar mendapati sholat berjama'ah pada sholat fardlunya -sebagaimana dijelaskan sebelum ini- maka sah sholatnya. Karena semua sholat sholat diatas ini itu tidak memerlukan penentuan/Ta'yin pada niatnya. Karena tidak sahnya sholat fardlu yang dirubah ke sholat sunnah dengan bertujuan untuk mendapati berjama'ah, itu ketika merubah sholat fardlunya ke sholat sunnah yang mu'ayyan (memerlukan ta'yin/penentuan) -sebagaimana dijelaskan dalam Mughnil Muhtajnya Imam Khotib as-Syarbiniy- sepertimana dirubah ke sholat sunnah dluha misalnya, yang mana sholat sunnah dluha termasuk kedalam sholat mu'ayyan (yang perlu penentuan) maka batal sholatnya.
(Muhdor Ibn Ahmad Al-Habsyie)
> Majelis Ilmu