Hukum Membicarakan Keburukan Orang Lain

 


Hukum Membicarakan Keburukan Orang Lain 


Pertanyaan :


Apakah termasuk ghibah apabila seseorang membicarakan keburukan orang lain tanpa menyebut nama orang yang sedang dibicarakan?_

____________

Jawaban :


Membicarakan kejelekan orang dengan tidak bermaksud untuk mencari-cari keburukan orang lain dan tidak menyebutkan nama / identitas atau indikasi yang mengarah kepada seseorang, dan pembicaraan itu ditujukan untuk hal yang bermanfaat, maka ia termasuk pembicaraan yang diperbolehkan dan tidak termasuk ghibah yang diharamkan, karena hal semacam itu pada dasarnya tidak membicarakan orang lain.

Lain halnya apabila pembicaraan tersebut tertuju kepada seseorang, dengan menyebutkan nama / identitas atau indikasi yang mengarah kepada seseorang, maka pembicaraan tersebut masuk dalam kategori ghibah, dan haram hukumnya.

Ghibah kata Imam Nawawi adalah menyebutkan kejelekan orang lain di saat ia tidak ada saat pembicaraan. (Syarh Shahih Muslim, 16: 129).

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ »

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah engkau apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim no. 2589).

Asal hukum ghibah adalah haram berdasarkan dalil-dalil yang tegas melarangnya, namun demikian Imam Nawaawi dan Ulama-ulama lain menuturkan kondisi-kondisi yang memperbolehkan seseorang menggunjing karena bertujuan yang dilegalkan syara’ yang tidak mungkin dapat dilakukan perbaikan kecuali tanpa melakukakan ghibah, kondisi tersebut adalah :

1. TERANIAYA


Diperbolehkan bagi orang yang teraniaya mengadukan penganiayanya pada penguasa, hakim, dan orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk menghentikan penganiayaannya dengan menyebut langsung nama pelakunya, misalnya “Si Anu telah melakukan tindakan ini padaku” atau “Si Anu mengambil seseuatu dariku” dan sebagainya

2. MEROBAH KEMUNGKARAN DAN KEMAKSIATAN PADA KEBENARAN

Dengan menyebut nama pembuat kemaunkaran serta kemaksiatan pada seseorang yang di harapkan mampu merobahnya dengan berkata “Si Anu telah melakukan tindakan ini, maka cegahlah..!!” dengan tujuan menghilangkan kemungkaran bila tidak maka menggunjingnya hukumnya haram.

3. DALAM RANGKA MEMINTA SARAN/NASEHAT

Misalkan seseorang yang mengatakan : “Ayahku atau Saudaraku atau Si Anu menganiaya diriku, apa tindakan tersebut berhak ia lakukan ? Bagaimana caraku keluar dari masalah ini ? Bagaimana aku dapat memperoleh hak-hakku ?” Dan sebagainya.

Yang demikian diperbolehkan karena ada kepentian menggunjingya, namun sebaiknya untuk berhati-hati sebaiknya dalam rangka meminta saran ini tidak dikatakan pelakunya secara lansung semisal dengan pernyataan :

” Bagaimana pendapat anda tentang seorang suami atau istri yang melakukan semacam ini ?” dan semacamnya karena tujuan meminta saran dengan perkataan semacam inipun bisa ia dapatkan, meskipun penyebutan pelaku secara langsung juga diperbolehkan berdasarkan hadits dari Hindun ra saat ia meminta saran dari Nabi shallallaahu alaihi wasallam dengan berkata “Wahai rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan lelaki pelit.. dst” dan Nabi pun tidak melarangnya.

4. MEMBERI PERINGATAN PADA KAUM MUSLIMIN

Menurut Imam Nawawy dalam permasalahan ini terdapat 5 gambaran :

Menerangkan/menyebutkan cacatnya nama seseorang dalam sebuah riwayat hadits/saksi, kebolehan ghibah dalam hal ini disepakati ulama dalam rangka kemurnian syariat.

Membicarakan seseorang dalam rangka musyawarah semacam hendak mengikat tali perkawinan

Saat melihat seseorang yang hendak membeli suatu barang cirri yang tidak ia ketahui, untuk memberi petunjuk padanya bukan dalam rangka menghina atau merusak citra.

Saat melihat seseorang yang hendak belajar agama dan ragu atas dua pilihan, agar tidak tersesat pada orang fasik dan ahli bid’ah maka boleh bagimu memberi nasehat padanya.

Mengadukan seorang pimpinan pada atasannya atas ketidakprofesionalannya atau kefasikannya agar diketahui dan segera diganti supaya tidak tertipu dan dilanggengkan kepimpinannya.

5. KEKURANGAN YANG TERANG-TERANGAN IA LAKUKAN

Bila seseorang terang-terangan menjalani kefasikan atau kebid’ahannya, maka boleh menyebutkan cela yang secara jelas ia lakukan dan haram menyebutkan lainnya kecuali bila ada hal yang memperbolehkan penyebutan laiinya.

6. PENAMAAN

Boleh menyebutkan kekurangan orang lain bila justru ia lebih dikenal dan diberi julukan dengan kekurangannya seperti “Si Rabun, Si Pincang, Si Jereng, Si Cebol, Si Buta, Si Buntung” dan sebagainya asalkan tidak bertujuan merendahkan kekurangannya dan bila masih memungkinkan penamaan dengan selain kekurangannya tentu lebih utama dan bijaksana.

باب بيان ما يباح من الغيبة


اعلم أن الغيبة تباح لغرضٍ صحيحٍ شرعي لا يمكن الوصول إليه إلا بها، وهو ستة أسبابٍ:

الأول: التظلم، فيجوز للمظلوم أن يتظلم إلى السلطان والقاضي وغيرهما ممن له ولايةٌ، أو قدرةٌ على إنصافه من ظالمه، فيقول: ظلمني فلانٌ بكذا.

الثاني: الاستعانة على تغيير المنكر، ورد العاصي إلى الصواب، فيقول لمن يرجو قدرته على إزالة المنكر: فلانٌ يعمل كذا، فازجره عنه ونحو ذلك، ويكون مقصوده التوصل إلى إزالة المنكر، فإن لم يقصد ذلك كان حراماً.

الثالث: الاستفتاء، فيقول للمفتي: ظلمني أبي، أو أخي، أو زوجي، أو فلانٌ بكذا، فهل له ذلك ؟ وما طريقي في الخلاص منه، وتحصيل حقي، ودفع الظلم ؟ ونحو ذلك، فهذا جائزٌ للحاجة، ولكن الأحوط والأفضل أن يقول: ما تقول في رجلٍ أو شخصٍ، أو زوجٍ، كان من أمره كذا ؟ فإنه يحصل به الغرض من غير تعيينٍ ومع ذلك، فالتعيين جائزٌ كما سنذكره في حديث هندٍ إن شاء الله تعالى.

الرابع: تحذير المسلمين من الشر ونصيحتهم، وذلك من وجوهٍ: 

منها جرح المجروحين من الرواة والشهود، وذلك جائزٌ بإجماع المسلمين، بل واجبٌ للحاجة.

ومنها المشاورة في مصاهرة إنسانٍ، أو مشاركته، أو إيداعه، أو معاملته، أو غير ذلك، أو مجاورته، ويجب على المشاور أن لا يخفي حاله، بل يذكر المساويء التي فيه بنية النصيحة.

ومنها إذا رأى متفقهاً يتردد إلى مبتدع، أو فاسقٍ يأخذ عنه العلم، وخاف أن يتضرر المتفقه بذلك، فعليه نصيحته ببيان حاله، بشرط أن يقصد النصيحة، وهذا مما يغلط فيه. وقد يحمل المتكلم بذلك الحسد، ويلبس الشيطان عليه ذلك، ويخيل إليه أنه نصيحةٌ فليتفطن لذلك.

ومنها أن يكون له ولايةٌ لا يقوم بها على وجهها: إما بأن لا يكون صالحاً لها، وإما بأن يكون فاسقاً، أو مغفلاً، ونحو ذلك فيجب ذكر ذلك لمن له عليه ولايةٌ عامةٌ ليزيله، ويولي من يصلح، أو يعلم ذلك منه ليعامله بمقتضى حاله، ولا يغتر به، وأن يسعى في أن يحثه على الاستقامة أو يستبدل به.

الخامس: أن يكون مجاهراً بفسقه أو بدعته كالمجاهر بشرب الخمر، ومصادرة الناس، وأخذ المكس؛ وجباية الأموال ظلماً، وتولي الأمور الباطلة، فيجوز ذكره بما يجاهر به؛ ويحرم ذكره بغيره من العيوب، إلا أن يكون لجوازه سببٌ آخر مما ذكرناه.

السادس: التعريف، فإذا كان الإنسان معروفاً بلقبٍ؛ كالأعمش والأعرج والأصم، والأعمى؛ والأحول، وغيرهم جاز تعريفهم بذلك؛ ويحرم إطلاقه على جهة التنقص؛ ولو أمكن تعريفه بغير ذلك كان أولى.

فهذه ستة أسبابٍ ذكرها العلماء وأكثرها مجمعٌ عليه؛ دلائلها من الأحاديث الصحيحة مشهورةٌ


Al-Adzkaar Li al-Nawaawii I/340


Wallahu a’lamu bishshawab


___________________




13 Febuari 2025

Posting Komentar

Harap berkomentar yang bisa mendidik dan menambah ilmu kepada kami

Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler