HUKUM WANITA HAID MENGIKUTI LOMBA TILAWATIL QUR’AN
___________________
Assalamualaikum
Deskripsi Masalah
Setiap tahun, negara kita, Indonesia, mengadakan lomba Tilawatil Qur’an sebagai upaya untuk menumbuhkembangkan bakat dan minat masyarakat dalam membaca Al-Qur’an.
Peserta yang berbakat diseleksi hingga mencapai tingkat internasional. Namun, ketika pelaksanaan lomba telah berlangsung dan mencapai babak final, salah satu peserta mengalami haid. Dalam kondisi tersebut, peserta merasa bingung karena sudah memasuki tahap terakhir untuk merebut juara 1, 2, dan 3.
Pertanyaan
Bagaimana hukum seorang peserta perempuan yang sedang dalam keadaan haid mengikuti lomba membaca Al-Qur’an? Mohon jawabannya beserta ibaratnya.
Waalaikum salam
Jawaban:
Dalam fiqih Islam, terdapat perbedaan pandangan mengenai hukum perempuan haid membaca Al-Qur’an, termasuk dalam konteks lomba tilawah.
Pandangan Madzhab Syafi’i
Dalam mazhab Syafi’iyah, terdapat tujuh pembahasan terkait hukum wanita haid membaca Al-Qur’an:
1. Haram jika membaca Al-Qur’an diniatkan untuk membaca Al-Qur’an.
2. Haram jika membaca Al-Qur’an diniatkan untuk membaca Al-Qur’an beserta niat lainnya.
3. Diperbolehkan jika membaca Al-Qur’an diniatkan selain untuk membaca Al-Qur’an, seperti untuk menjaga hafalan, membaca zikir, kisah-kisah, mauizah, atau hukum-hukum.
4. Diperbolehkan jika membaca Al-Qur’an karena kelepasan bicara.
5. Diperbolehkan jika membaca Al-Qur’an diniatkan secara mutlak, yakni sekadar ingin membaca tanpa niat tertentu.
6. Khilaf (perbedaan pendapat) jika membaca Al-Qur’an diniatkan secara mutlak atau niat selain Al-Qur’an, namun yang dibaca adalah susunan kalimat khas Al-Qur’an atau satu surat panjang atau keseluruhan Al-Qur’an. Menurut an-Nawawi, ar-Ramli Kabir, dan Ibnu Hajar diperbolehkan, sedangkan bagi az-Zarkasyi dan as-Suyuthi diharamkan.
7. Khilaf jika membaca Al-Qur’an diniatkan pada salah satunya tanpa dijelaskan yang mana. Menurut qaul mu’tamad (pendapat yang kuat) diharamkan karena adanya kemungkinan niat pada bacaan Al-Qur’an.
Pandangan Mazhab Maliki
Dalam mazhab Malikiyah, perempuan haid diperbolehkan membaca Al-Qur’an. Terdapat dua pembahasan:
1. Boleh secara mutlak, yakni ketika membacanya dalam kondisi darah haidh sedang keluar.
2. Tidak diperbolehkan sebelum mandi hadats, yakni ketika membacanya dalam kondisi darah haidh sedang berhenti. Kecuali bila khawatir lupa, atau kecuali dengan menengok pada qaul dha’if (pendapat yang lemah) yang memperbolehkannya asalkan haidhnya tidak disertai junub.
Pandangan Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa perempuan haid boleh membaca Al-Qur’an, namun dengan beberapa syarat:
1. Tidak menyentuh mushaf langsung (bisa menggunakan sarung tangan atau alat bantu lainnya).
2. Tidak membaca dengan niat tilawah murni, melainkan untuk tujuan lain seperti menghafal atau mengajar. Bacaan yang dilakukan tidak melebihi satu ayat.
Kesimpulan dan Solusi
Berdasarkan berbagai pendapat ulama, peserta yang mengalami haid dalam lomba Tilawatil Qur’an menghadapi situasi yang menuntut kebijaksanaan dalam memilih pendapat yang diikuti:
Jika mengikuti Mazhab Syafi’i (yang dominan di Indonesia), maka tidak diperbolehkan membaca Al-Qur’an secara lisan dalam kondisi haid. Oleh karena itu, peserta yang mengalami haid sebaiknya tidak melanjutkan perlombaan atau mengganti dengan kategori lain (misalnya tafsir atau syarahan jika memungkinkan).
Jika mengikuti pendapat Mazhab Maliki atau Hanafi, masih ada kelonggaran dengan syarat:
Tidak menyentuh mushaf langsung. Tidak berniat tilawah murni, tetapi untuk kepentingan hafalan atau pendidikan. Tidak membaca ayat yang panjang atau keseluruhan surah.
Alternatif solusi praktis:
Jika memungkinkan, pihak penyelenggara dapat menunda penampilan peserta hingga haid selesai. Jika perlombaan berlangsung dalam waktu yang tidak memungkinkan penundaan, peserta dapat mengajukan opsi membaca dengan metode hafalan (bukan dari mushaf) dan menyesuaikan niat sesuai dengan pendapat yang membolehkan.
Saran
Jika mengikuti mazhab Syafi’i yang dianut di Indonesia, sebaiknya tidak ikut lomba saat haid. Namun, jika ada kebutuhan mendesak dan mengikuti pendapat yang membolehkan, maka harus dilakukan dengan hati-hati dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Catatan
Perbedaan pendapat ini menunjukkan adanya fleksibilitas dalam penafsiran hukum. Penting bagi setiap individu untuk mengikuti pandangan yang sesuai dengan pemahaman dan praktik keagamaan mereka.
Rerensi
Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Iqna’ karya Sulaiman bin Umar bin Muhammad al-Bujairimi :
( وَ ) الثَّالِثُ ( قِرَاءَةُ ) شَيْءٍ مِنْ ( الْقُرْآنِ ) بِاللَّفْظِ أَوْ بِالْإِشَارَةِ مِنْ الْأَخْرَسِ كَمَا قَالَ الْقَاضِي فِي فَتَاوِيهِ ، فَإِنَّهَا مُنَزَّلَةٌ مَنْزِلَةَ النُّطْقِ هُنَا وَلَوْ بَعْضَ آيَةٍ لِلْإِخْلَالِ بِالتَّعْظِيمِ ، سَوَاءٌ أَقَصَدَ مَعَ ذَلِكَ غَيْرَهَا أَمْ لَا لِحَدِيثِ التِّرْمِذِيِّ وَغَيْرِهِ : { لَا يَقْرَأْ الْجُنُبُ وَلَا الْحَائِضُ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ }
الشَّرْحُ قَوْلُهُ : ( وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ ) وَعَنْ مَالِكٍ : يَجُوزُ لَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ ، وَعَنْ الطَّحَاوِيِّ يُبَاحُ لَهَا مَا دُونَ الْآيَةِ كَمَا نَقَلَهُ فِي شَرْحِ الْكَنْزِ مِنْ كُتُبِ الْحَنَفِيَّةِ
“Keharaman sebab haid yang ketiga adalah membaca sesuatu dari al-Qur’an, dengan diucapkan atau dengan isyarah dari orang bisu, seperti yang dikatakan Qadhi Husein dalam Fatawinya. Mengingat konteks isyarah diletakkan pada konteksnya hukum berucap pada permasalahan ini, meskipun yang dibaca hanyalah sebagian ayat saja dikarenakan hal itu menunjukkan pada unsur penghinaan. Baik bacaan itu diniati bersama dengan niat yang lain ataupun tidak, berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi dan lainnya, “Orang yang sedang junub dan orang yang haid tidak diperbolehkan membaca sesuatu dari al-Qur’an.
Komentar pensyarah: [Membaca al-Qur’an] dari Imam Malik dijelaskan bahwa diperbolehkan bagi perempuan haid membaca al-Qur’an.
Dan dari Ath-Thahawi diterangkan bahwa diperbolehkan bagi dia untuk membaca al-Qur’an namun kurang dari satu ayat, seperti yang dia kutipkan dalam Syarah Al-Kanzu dari kitabnya mazhab Hanafi.” (Hasyiyah Bujairimi, 3/259-261)
تَنْبِيهٌ : يَحِلُّ لِمَنْ بِهِ حَدَثٌ أَكْبَرُ أَذْكَارُ الْقُرْآنِ وَغَيْرُهَا كَمَوَاعِظِهِ وَأَخْبَارِهِ وَأَحْكَامِهِ لَا بِقَصْدِ الْقُرْآنِ كَقَوْلِهِ عِنْدَ الرُّكُوبِ : { سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ } أَيْ مُطِيقِينَ ، وَعِنْدَ الْمُصِيبَةِ : { إنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ } وَمَا جَرَى بِهِ لِسَانُهُ بِلَا قَصْدٍ فَإِنْ قَصَدَ الْقُرْآنَ وَحْدَهُ أَوْ مَعَ الذِّكْرِ حُرِّمَ ، وَإِنْ أَطْلَقَ فَلَا .
كَمَا نَبَّهَ عَلَيْهِ النَّوَوِيُّ فِي دَقَائِقِهِ لِعَدَمِ الْإِخْلَالِ بِحُرْمَتِهِ ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ قُرْآنًا إلَّا بِالْقَصْدِ قَالَهُ النَّوَوِيُّ وَغَيْرُهُ ، وَظَاهِرُهُ أَنَّ ذَلِكَ جَارٍ فِيمَا يُوجَدُ نَظْمُهُ فِي غَيْرِ الْقُرْآنِ كَالْآيَتَيْنِ الْمُتَقَدِّمَتَيْنِ وَالْبَسْمَلَةِ وَالْحَمْدَلَةِ ، وَفِيمَا لَا يُوجَدُ نَظْمُهُ إلَّا فِيهِ كَسُورَةِ الْإِخْلَاصِ وَآيَةِ الْكُرْسِيِّ ، وَهُوَ كَذَلِكَ ، وَإِنْ قَالَ الزَّرْكَشِيّ : لَا شَكَّ فِي تَحْرِيمِ مَا لَا يُوجَدُ نَظْمُهُ فِي غَيْرِ الْقُرْآنِ ، وَتَبِعَهُ عَلَى ذَلِكَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ كَمَا شَمِلَ ذَلِكَ قَوْلَ الرَّوْضَةِ ، أَمَّا إذَا قَرَأَ شَيْئًا مِنْهُ لَا عَلَى قَصْدِ الْقُرْآنِ فَيَجُوزُ .
الشَّرْحُ
قَوْلُهُ : ( تَنْبِيهٌ إلَخْ ) هَذَا التَّنْبِيهُ بِمَنْزِلَةِ قَوْلِهِ مَحَلُّ حُرْمَةِ الْقِرَاءَةِ إذَا كَانَتْ بِقَصْدِ الْقُرْآنِ أَوْ بِقَصْدِ الْقُرْآنِ وَالذِّكْرِ ، و َإِلَّا فَلَا حُرْمَة .
قَوْلُهُ : ( يَحِلُّ إلَخْ ) كَلَامُهُ فِي الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ فَدُخُولُ غَيْرِهِمَا مَعَهُمَا اسْتِطْرَادِيٌّ تَأَمَّلْ ق ل .
قَوْلُهُ : ( كَمَوَاعِظِهِ ) أَيْ مَا فِيهِ تَرْغِيبٌ أَوْ تَرْهِيبٌ .
قَوْلُهُ : ( وَأَخْبَارِهِ ) أَيْ عَنْ الْأُمَمِ السَّابِقَةِ .
قَوْلُهُ : ( وَأَحْكَامِهِ ) أَيْ مَا تَعَلَّقَ بِفِعْلِ الْمُكَلَّف .
قَوْلُهُ : ( وَمَا جَرَى بِهِ لِسَانُهُ بِلَا قَصْدٍ ) بِأَنْ سَبَقَ لِسَانُهُ إلَيْهِ.
قَوْلُهُ : ( وَإِنْ أَطْلَقَ فَلَا ) كَمَا لَا يَحْرُمُ إذَا قَصَدَ الذِّكْرَ فَقَطْ ، فَالصُّوَرُ أَرْبَعَةٌ يَحِلُّ فِي ثِنْتَيْنِ ، وَيَحْرُمُ فِي ثِنْتَيْنِ وَأَمَّا لَوْ قَصَدَ وَاحِدًا لَا بِعَيْنِهِ فَفِيهِ خِلَافٌ ، وَالْمُعْتَمَدُ الْحُرْمَةُ ؛ لِأَنَّ الْوَاحِدَ الدَّائِرَ صَادِقٌ بِالْقُرْآنِ فَيَحْرُمُ لِصِدْقِهِ بِهِ . قَوْلُهُ : ( لَا يَكُونُ قُرْآنًا إلَخْ ) أَيْ لَا يَكُونُ قُرْآنًا تَحْرُمُ قِرَاءَتُهُ عِنْدَ وُجُودِ الصَّارِفِ إلَّا بِالْقَصْدِ ، وَإِلَّا فَهُوَ قُرْآنٌ مُطْلَقًا ، أَوْ الْمَعْنَى لَا يُعْطَى حُكْمَ الْقُرْآنِ إلَّا بِالْقَصْدِ ، وَمَحَلُّهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِي صَلَاةٍ كَأَنْ أَجْنَبَ وَفَقَدَ الطَّهُورَيْنِ وَصَلَّى لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ بِلَا طُهْرٍ ، وَقَرَأَ الْفَاتِحَةَ ، فَلَا يُشْتَرَطُ قَصْدُ الْقُرْآنِ ، بَلْ يَكُونُ قُرْآنًا عِنْدَ الْإِطْلَاقِ لِوُجُوبِ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ فَلَا صَارِفَ فَاحْفَظْهُ وَاحْذَرْ خِلَافَهُ كَمَا ذَكَرَهُ ابْنُ شَرَفٍ عَلَى التَّحْرِيرِ .
“(Tanbih): Diperbolehkan bagi orang yang mempunyai hadats besar untuk membaca dzikir al-Qur’an dan yang lainnya, seperti mauizhahnya, cerita, dan hukum yang ada di dalam al-Qur’an, dengan tidak diniatkan pada al-Qur’annya. Seperti perkataanya ketika naik kendaraan :
(سبحان الذي سخر لنا هذا و ما كنا له مقرنين)
dan ketika mendapat musibah dia mengucapkan :
(إنا لله و إنا اليه راجعون).
Serta pada apa yang tanpa dikehendaki terucap oleh lisannya. Namun jika dia memaksudkan al-Qur’an saja atau memaksudkan al-Qur’an beserta dzikirnya, maka diharamkan. Kemudian jika dia memutlakkannya maka tidak diharamkan, sesuai dengan peringatan an-Nawawi dalam kitab Daqaiq, sebab tidak ada unsur penghinaan pada kemuliaan al-Qur’an di sini. Memandang bahwasanya al-Qur’an tidak akan diberlakukan hukum al-Qur’an kecuali ketika dengan wujudnya niat.
Secara zahir pendapat tersebut berlaku baik pada ayat yang bisa ditemukan susunan kalimatnya di luar al-Qur’an semisal dua ayat di atas, juga basmalah dan al-fatihah. Serta pada ayat yang tidak akan ditemukan susunan kalimatnya selain di al-Qur’an semisal surat al-Ikhlas dan ayat kursi. Benarlah demikian, meski az-Zarkasyi berpendapat tidak diragukannya keharaman pada ayat yang tidak akan ditemukan susunan kalimatnya selain di al-Qur’an. Pendapat az-Zarkasyi ini dianut oleh sebagian ulama mutaakhirin.
Keterangan an-Nawawi tentang kemutlakan tersebut juga terkandung dalam kitab ar-Raudhah. Sedangkan ketika membaca al-Qur’an itu tidak diniatkan pada membaca al-Qur’annya maka diperbolehkan.
Komentar pensyarah :
[Tanbih dst.] Tanbih ini menempati perkataan mushannif, “Tempat keharaman membaca al-Qur’an adalah ketika dalam pembacaan itu dengan maksud al-Qur’an atau dengan maksud al-Qur’an dan dzikir. Jika tidak memaksudkan dengan itu semua maka tidak diharamkan.”
[Diperbolehkan dst.] Pembahasan penulis tentang wanita haidh dan nifas, namun bisa dikonfirmasikan juga pembahasan selain keduanya. Cermatilah. (al-Qulyubi)
[Seperti mauizhah] Yakni perkara tentang anjuran dan ancaman.
[Cerita] Yakni dari kisah umat terdahulu.
[Dan hukum yang ada di dalam al-Qur’an] Yakni perkara yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.
[Serta pada apa yang tanpa dikehendaki terucap oleh lisannya] Dengan kelepasan bicara.
[Kemudian jika dia memutlakkannya maka tidak diharamkan] Sebagaimana tidak pula diharamkan ketika diniatkan pada dzikirnya saja. Sehingga bisa disimpulkan ada empat situasi pembacaan al-Qur’an di sini. Dua diperbolehkan, dan dua lainnya diharamkan.
Sedangkan ketika dia meniatkan pada salah satunya namun tanpa dijelaskan yang mana maka hukumnya khilaf.
Menurut qaul Mu’tamad dihukumi haram. Sebab unsur salah satunya bisa dimungkinkan niat pada al-Qur’annya sehingga diharamkan memandang adanya kemungkinan tersebut. [Al-Qur’an tidak akan diberlakukan hukum al-Qur’an dst.] Yakni ketika muncul qarinah pembeda maka tidak dianggap sebagai al-Qur’an yang haram dibaca kecuali dengan wujudnya niat. Atau bisa juga diartikan tidak diberlakukan hukum al-Qur’an kecuali dengan wujudnya niat. Konteks ini mengesampingkan pada kasus shalat, semisal pada orang junub yang tidak bisa bersuci dengan wudhu dan tayammum, lantas dia shalat li hurmatil waqti, membaca al-Fatihah, maka tidak berlaku persyaratan niat membaca al-Qur’an.
Bahkan tetap dianggap sebagai hukum bacaan al-Qur’an ketika dimutlakkan sebab tidak ada qarinah pembeda di sini. Camkanlah dan hati-hati terhadap kesalahpahaman tentang hal itu, sebagaimana dituturkan oleh an-Nawawi dalam kitab at-Tahrir.” (Hasyiyah al-Bujairimi, 1/259-264).
Elaborasi tentang khilafiyah Imam Malik dituturkan dalam kitab al-Mausu’ah:
وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْحَائِضَ يَجُوزُ لَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فِي حَال اسْتِرْسَال الدَّمِ مُطْلَقًا ، كَانَتْ جُنُبًا أَمْ لاَ ، خَافَتِ النِّسْيَانَ أَمْ لاَ . وَأَمَّا إِذَا انْقَطَعَ حَيْضُهَا ، فَلاَ تَجُوزُ لَهَا الْقِرَاءَةُ حَتَّى تَغْتَسِل جُنُبًا كَانَتْ أَمْ لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَخَافَ النِّسْيَانَ .
هَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ عِنْدَهُمْ ، لأَنَّهَا قَادِرَةٌ عَلَى التَّطَهُّرِ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ ، وَهُنَاكَ قَوْلٌ ضَعِيفٌ هُوَ أَنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا انْقَطَعَ حَيْضُهَا جَازَ لَهَا الْقِرَاءَةُ إِنْ لَمْ تَكُنْ جُنُبًا قَبْل الْحَيْضِ . فَإِنْ كَانَتْ جَنْبًا قَبْلَهُ فَلاَ تَجُوزُ لَهَا الْقِرَاءَةُ .
“Kalangan malikiyah berpendapat bahwa wanita haidh diperbolehkan membaca al-Qur’an di masa sedang keluarnya darah haidh secara mutlak, baik disertai junub maupun tidak, entah karena khawatir lupa ataupun tidak. Sedangkan di masa darah haidh sedang berhenti maka tidak diperbolehkan membaca al-Qur’an sampai dia mandi bersuci, baik kondisinya disertai junub maupun tidak, kecuali bila khawatir lupa (maka boleh membaca, pen).
Pendapat di atas adalah qaul mu’tamad, sebab seorang wanita dipandang mampu bersuci dalam kondisi darah sedang berhenti tersebut. Namun dalam hal ini ada qaul dha’if yang berpendapat seorang wanita ketika darahnya sedang berhenti tetap diperbolehkan membaca al-Qur’an asalkan kondisinya tidak disertai junub sebelum haidh.
Ketika sebelum haidh telah disertai junub maka tidak diperbolehkan membaca al-Qur’an (sampai dia mandi bersuci, pen)” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah, 18/322).
Resensi
فتح القدير ج١ص ١٦٨
(وَلَيْسَ لَهُمْ مَسُّ الْمُصْحَفِ إلَّا بِغِلَافِهِ، وَلَا أَخْذُ دِرْهَمٍ فِيهِ سُورَةٌ مِنْ الْقُرْآنِ إلَّا بِصُرَّتِهِ وَكَذَا الْمُحْدِثُ لَا يَمَسُّ الْمُصْحَفَ إلَّا بِغِلَافِهِ) لِقَوْلِهِ ﷺ «لَا يَمَسُّ الْقُرْآنَ إلَّا طَاهِرٌ» ثُمَّ الْحَدَثُ وَالْجَنَابَةُ حَلَّا الْيَدَ فَيَسْتَوِيَانِ فِي حُكْمِ الْمَسِّ وَالْجَنَابَةُ حَلَّتْ الْفَمُ دُونَ الْحَدَثِ فَيَفْتَرِقَانِ فِي حُكْمِ الْقِرَاءَةِ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ، وَفِي إسْنَادِهِ إسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ، وَتَقَدَّمَ الْكَلَامُ فِيهِ. وَفِي سُنَنِ الْأَرْبَعَةِ عَنْ عَلِيٍّ «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لَا يَحْجُبُهُ، أَوْ قَالَ لَا يَحْجِزُهُ عَنْ الْقِرَاءَةِ شَيْءٌ لَيْسَ الْجَنَابَةَ» وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: أَهْلُ الْحَدِيثِ لَا يُثْبِتُونَهُ، قَالَ الْبَيْهَقِيُّ: لِأَنَّ مَدَارَهُ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلِمَةَ بِكَسْرِ اللَّامِ، وَكَانَ قَدْ كَبِرَ وَأُنْكِرَ عَقْلُهُ وَحَدِيثُهُ، وَإِنَّمَا رَوَى هَذَا بَعْدَ كِبَرِهِ قَالَهُ شُعْبَةُ، لَكِنْ قَدْ قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ، وَقَالَ: وَلَمْ يَحْتَجَّا بِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلِمَةَ وَمَدَارُ الْحَدِيثِ عَلَيْهِ، وَرَوَى الْبَيْهَقِيُّ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ كَرِهَ الْقِرَاءَةَ لِلْجُنُبِ، وَقَالَ صَحِيحٌ (قَوْلُهُ فَيَكُونُ حُجَّةً عَلَى الطَّحَاوِيِّ فِي إبَاحَتِهِ مَا دُونَ آيَةٍ) ذَكَرَ نَجْمُ الدِّينِ الزَّاهِدُ أَنَّهُ رِوَايَةُ ابْنِ سِمَاعَةَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَنَّ عَلَيْهِ الْأَكْثَرُ. وَوَجْهُهُ أَنَّ مَا دُونَ الْآيَةِ لَا يُعَدُّ بِهَا قَارِئًا، قَالَ تَعَالَى ﴿فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ﴾ كَمَا قَالَ ﷺ «لَا يَقْرَأُ الْجُنُبُ الْقُرْآنَ» فَكَمَا لَا يُعَدُّ قَارِئًا بِمَا دُونَ الْآيَةِ حَتَّى لَا تَصِحَّ بِهَا الصَّلَاةُ كَذَا لَا يُعَدُّ بِهَا قَارِئًا فَلَا يَحْرُمُ عَلَى الْجُنُبِ وَالْحَائِضِ، وَقَالُوا: إذَا حَاضَتْ الْمُعَلِّمَةُ تُعَلِّمُ كَلِمَةً كَلِمَةً وَتَقْطَعُ بَيْنَ الْكَلِمَتَيْنِ وَعَلَى قَوْلِ الطَّحَاوِيِّ نِصْفُ آيَةٍ. وَفِي الْخُلَاصَةِ فِي عَدِّ حُرُمَاتِ الْحَيْضِ وَحُرْمَةِ الْقُرْآنِ إلَّا إذَا كَانَتْ آيَةً قَصِيرَةً تَجْرِي عَلَى اللِّسَانِ عِنْدَ الْكَلَامِ كَقَوْلِهِ ثُمَّ نَظَرَ وَلَمْ يُولَدْ أَمَّا قِرَاءَةُ مَا دُونَ الْآيَةِ نَحْوَ (بِسْمِ اللَّهِ) وَ (الْحَمْدُ لِلَّهِ) إنْ كَانَتْ قَاصِدَةً قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ يُكْرَهُ، وَإِنْ كَانَتْ قَاصِدَةً شُكْرَ النِّعْمَةِ وَالثَّنَاءِ لَا يُكْرَهُ، وَلَا يُكْرَهُ التَّهَجِّي وَقِرَاءَةُ الْقُنُوتِ انْتَهَى وَغَيْرُهُ لَمْ يُقَيَّدْ عِنْدَ قَصْدِ الثَّنَاءِ وَالدُّعَاءِ بِمَا دُونَ الْآيَةِ، فَصَرَّحَ بِجَوَازِ قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ عَلَى وَجْهِ الثَّنَاءِ وَالدُّعَاءِ. وَفِي الْفَتَاوَى الظَّهِيرِيَّةِ: لَا يَنْبَغِي لِلْحَائِضِ وَالْجُنُبِ قِرَاءَةُ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالزَّبُورِ لِأَنَّ الْكُلَّ كَلَامُ اللَّهِ، وَيُكْرَهُ لَهُمَا قِرَاءَةُ دُعَاءِ الْوَتْرِ لِأَنَّ أُبَيًّا ﵁ يَجْعَلُهُ مِنْ الْقُرْآنِ سُورَتَيْنِ: مِنْ أَوَّلِهِ إلَى اللَّهُمَّ إيَّاكَ نَعْبُدُ سُورَةً، وَمِنْ هُنَا إلَى آخِرِهِ أُخْرَى، وَظَاهِرُ الْمَذْهَبِ لَا يُكْرَهُ وَعَلَيْهِ الْفَتْوَى. وَأَمَّا قِرَاءَةُ الذِّكْرِ فَأَفَادَ الْمُصَنِّفُ فِي بَابِ الْأَذَانِ فِي مَسْأَلَةِ الْأَذَانِ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ أَنَّ الْوُضُوءَ فِيهِ مُسْتَحَبٌّ (قَوْلُهُ لَا يَمَسُّ الْقُرْآنَ إلَّا طَاهِرٌ) هُوَ فِي كِتَابِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ حِينَ بَعَثَهُ النَّبِيُّ ﷺ إلَى الْيَمَنِ، وَسَيَأْتِي بِكَمَالِهِ فِي كِتَابِ الزَّكَاةِ إنْ شَاءَ اللَّهُ (قَوْلُهُ ثُمَّ الْجَنَابَةُ حَلَّتْ الْيَدَ إلَخْ) يُفِيدُ جَوَازُ نَظَرِ الْجُنُبِ لِلْقُرْآنِ لِأَنَّهَا لَمْ تَحِلَّ الْعَيْنُ وَلِذَا لَا يَجِبُ غَسْلُهَا، وَأَمَّا مَسُّ مَا فِيهِ ذِكْرٌ فَأَطْلَقَهُ عَامَّةُ الْمَشَايِخِ وَغِلَافُهُ مَا يَكُونُ مُتَجَافِيًا عَنْهُ دُونَ مَا هُوَ مُتَّصِلٌ بِهِ كَالْجِلْدِ الْمُشْرَزِ هُوَ الصَّحِيحُ، وَيُكْرَهُ مَسُّهُ بِالْكُمِّ هُوَ الصَّحِيحُ لِأَنَّهُ تَابِعٌ لَهُ بِخِلَافِ كُتُبِ الشَّرِيعَةِ لِأَهْلِهَا حَيْثُ يُرَخَّصُ فِي مَسِّهَا بِالْكُمِّ لِأَنَّ فِيهِ ضَرُورَةٌ، وَلَا بَأْسَ بِدَفْعِ الْمُصْحَفِ إلَى الصِّبْيَانِ لِأَنَّ فِي الْمَنْعِ تَضْيِيعَ حِفْظِ الْقُرْآنِ وَفِي الْأَمْرِ بِالتَّطْهِيرِ حَرَجًا بِهِمْ
Kitab Fathul Qadir Juz 1 halaman 168:
“Dan mereka tidak diperbolehkan menyentuh mushaf kecuali dengan sampulnya, dan tidak boleh mengambil dirham yang terdapat satu surah dari Al-Qur’an di dalamnya kecuali dengan bungkusan.
Demikian pula orang yang berhadats tidak boleh menyentuh mushaf kecuali dengan sampulnya,” karena sabda Nabi ﷺ: “Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.” Kemudian, hadats dan junub itu sama-sama menyebabkan anggota tangan menjadi tidak suci, sehingga keduanya disamakan dalam hukum menyentuh (Al-Qur’an). Akan tetapi, janabah (keadaan junub) menyebabkan mulut menjadi tidak suci, sedangkan hadats tidak, sehingga keduanya berbeda dalam hukum membaca (Al-Qur’an).
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dalam sanadnya terdapat Isma’il bin ‘Ayyasy, dan telah disebutkan sebelumnya pembahasan mengenai dirinya.
Dalam Sunan yang empat (Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah) dari Ali رضي الله عنه: “Rasulullah ﷺ tidak terhalangi atau beliau berkata: tidak terhalang dari membaca (Al-Qur’an) oleh sesuatu kecuali junub.”
Imam Asy-Syafi’i berkata: “Ahlul Hadits tidak menetapkannya (sebagai hadits sahih).” Al-Baihaqi berkata: “Karena sanadnya berpusat pada Abdullah bin Salamah dengan kasrah pada huruf lam, yang telah tua dan ingatannya sudah berubah serta haditsnya diingkari. Ia hanya meriwayatkan hadits ini setelah usianya lanjut,” sebagaimana dikatakan oleh Syu’bah.
Namun, At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan sahih.” Ibnu Hibban dan Al-Hakim juga mensahihkannya. Al-Hakim mengatakan: “Keduanya (Ibnu Hibban dan Al-Hakim) tidak menjadikan Abdullah bin Salamah sebagai hujjah, padahal sanad hadits ini berpusat padanya.”
Al-Baihaqi meriwayatkan dari Umar رضي الله عنه bahwa beliau tidak menyukai membaca (Al-Qur’an) bagi orang yang junub, dan berkata: “Hadits ini sahih.”
(Ucapan: ‘Maka ini menjadi hujjah terhadap Ath-Thahawi dalam membolehkan membaca kurang dari satu ayat’)
Najmuddin Az-Zahid menyebutkan bahwa ini adalah riwayat Ibnu Sama’ah dari Abu Hanifah, dan mayoritas ulama berpegang pada pendapat ini.
Dasarnya adalah bahwa bacaan yang kurang dari satu ayat tidak dianggap sebagai bacaan Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah ﴿فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ﴾ (Bacalah apa yang mudah dari Al-Qur’an).
Juga sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Orang yang junub tidak boleh membaca Al-Qur’an.” Maka sebagaimana seseorang tidak dianggap sebagai pembaca (Al-Qur’an) dengan bacaan kurang dari satu ayat sehingga tidak sah shalatnya, demikian pula ia tidak dianggap membaca Al-Qur’an, sehingga tidak haram bagi orang yang junub atau haid.
Para ulama berkata: “Jika seorang pengajar perempuan sedang haid, ia boleh mengajarkan satu kata demi satu kata dengan jeda antara keduanya.”
Menurut pendapat Ath-Thahawi, setengah ayat diperbolehkan.
Dalam Al-Khulashah, dalam pembahasan larangan bagi wanita haid, disebutkan bahwa membaca Al-Qur’an dilarang kecuali jika itu adalah ayat pendek yang biasa diucapkan dalam percakapan, seperti firman Allah ‘ثُمَّ نَظَرَ’ atau ‘وَلَمْ يُولَدْ’.
Adapun membaca kurang dari satu ayat, seperti “Bismillah” atau “Alhamdulillah”, jika diniatkan sebagai bacaan Al-Qur’an, maka hukumnya makruh. Namun, jika dimaksudkan sebagai ungkapan syukur atau pujian, maka tidak dimakruhkan.
Membaca dengan mengeja huruf atau membaca doa qunut tidak dimakruhkan.
Dalam Al-Fatawa Az-Zahiriyyah disebutkan: “Tidak sebaiknya bagi wanita haid dan orang junub membaca Taurat, Injil, dan Zabur, karena semuanya adalah kalamullah.”
Juga dimakruhkan bagi keduanya membaca doa witir, karena Ubay bin Ka’b رضي الله عنه menganggapnya sebagai dua surah dari Al-Qur’an: dari awalnya hingga ‘اللَّهُمَّ إيَّاكَ نَعْبُدُ’ sebagai satu surah, dan dari situ hingga akhirnya sebagai surah lainnya.
Namun, menurut pendapat yang lebih sahih, tidak dimakruhkan, dan fatwa mengikuti pendapat ini.
Adapun membaca dzikir, maka dalam Bab Adzan disebutkan bahwa berwudhu untuk adzan dianjurkan tetapi tidak wajib.
(Ucapan: ‘Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci’)
Hadits ini terdapat dalam kitab Amr bin Hazm ketika Nabi ﷺ mengutusnya ke Yaman, dan akan disebutkan secara lengkap dalam Kitab Zakat, insyaAllah.
(Ucapan: ‘Kemudian janabah menyebabkan tangan menjadi tidak suci dan seterusnya’)
Ini menunjukkan kebolehan melihat Al-Qur’an bagi orang yang junub, karena matanya tidak menjadi tidak suci, dan karena itu tidak wajib membasuhnya.
Adapun menyentuh sesuatu yang terdapat dzikir di dalamnya, mayoritas ulama membolehkannya.
Sampul mushaf yang diperbolehkan untuk disentuh oleh orang yang berhadats adalah yang terpisah dari mushaf, bukan yang menyatu seperti jilidan yang dijahit.
Yang benar, menyentuh mushaf dengan lengan baju (lengan jubah) hukumnya makruh, karena lengan baju mengikuti tubuh.
Berbeda dengan kitab-kitab syariat, karena bagi ahlinya diperbolehkan menyentuhnya dengan lengan baju karena ada kebutuhan mendesak.
Tidak mengapa memberikan mushaf kepada anak-anak karena jika dilarang, maka akan menyebabkan mereka tidak bisa menghafalkan Al-Qur’an, sementara mewajibkan mereka bersuci untuk menyentuhnya dapat menyulitkan mereka. Madzhah Imam Malik memperbolehkan orang haid dan junub membaca Al-Qur’an , pendapat ini lebih fleksibel dalam memperbolehkan perempuan haid tetap mengikuti lomba baca Al-Qur’an walaupun membawa bahakan menyentuh mushaf secara langsung.
Menurut Malikiyah memperbolehkan orang yang haid dan nifas membaca Al-Qur’an dalam kondisi darurat
فقه الإسلامي وأدلته للزحيلي ج١ص ٤٥٤
وأجاز المالكية للحائض والنفساء قراءة القرآن وحمله ومسّه أثناء التعليم والتعلم للضرورة، كما أجازوا لهما القراءة في غير حال التعلم إذا كان يسيراً كآية الكرسي والإخلاص والمعوذتين وآيات الرُّقية للتداوي بقصد الاستشفاء بالقرآن
Dan mazhab Malikiyah membolehkan bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al-Qur’an, membawanya, serta menyentuhnya saat dalam keadaan mengajar dan belajar karena adanya kebutuhan.
Mereka juga membolehkan keduanya membaca Al-Qur’an di luar keadaan belajar jika bacaan tersebut sedikit, seperti Ayat Kursi, Surah Al-Ikhlas, Al-Mu’awwidzatain, serta ayat-ayat ruqyah untuk pengobatan, dengan tujuan berobat menggunakan Al-Qur’an.Wallahu a’lam bish-shawab
___________________
14 Febuari 2025