_@ Langit Dua Dunia @_
___________________
ADAKAH IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG FASAH KARENA SUAMINYA IMPOTEN
___________________
Assalamualaikum.
Deskripsi masalah
Diantara tejadinya suatu perceraian baik dengan fasah atau talak tidak lepas dari adanya berbagai faktor-faktor penyebab yang dapat mempengaruhi keutuhan sebuah ikatan perkawinan. Di antara faktor yang dapat dijadikan sebagai alasan terjadinya perceraian adalah faktor nafkah batin, dimana suami tidak dapat bertanggung jawab terhadap nafkah istri. Nafkah merupakan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan berumah tangga. Suami mempunyai kewajiban memberikan nafkah lahir maupun batin terhadap seorang istri, karena dengan adanya pemberian nafkah dari seorang suami terhadap seorang istri kehidupan berumah tangga akan merasakan yang namanya keharmonisan dan kebahagian. Namun demikian jika seorang suami tidak dapat menjalankan kewajibannya maka tentu saja seorang istri akan merasakan pahitnya kehidupan , penyiksaan dalam batinnya , sedangkan problematika perceraian sepertinya banyak terjadi pada seseorang dikarenakan Impoten katakanlah suami istri namanya Hamdan dan Hamdalah keduanya telah lama menjalani kehidupan dalam berumah tangga yang diperkirakan 2 tahun hingga 5 tahun. Namun keduanya tidak kunjung punya anak ternyata diketahui secara medis suaminya Hamdalah Impoten, karena sudah diketahui maka Hamdalah memfasahnya atau Hamdan menceraikan ( mentalak ) istrinya baik dengan cara kinayah ataupun ucapan talak secara shoreh.
___________________
Pertanyaannya.
Adakah iddah bagi perempuan yang Fasah karena suaminya impoten?..Mohon Jawaban nya Ustadz dan berikan referensi kitab nya .Terimakasih Ustadz 🙏
___________________
Waalaikum salam
Jawaban.
Impoten adalah ketidak mampuan melakukan ejakulasi hubungan sexsual atau lemah syahwat. Impoten terkadang tidak timbul diawal pernikahan melainkan bisa jadi terjadi dipertengan pernikahan atau setelah lama menjalin hubungan rumah tangga bahkan bisa jadi karena disebabkan usia lanjud dll. Maka jika seorang suami impoten semisal dari awal atau di pertengahan pernikahan walaupun suaminya tidak mentalaknya, Maka seorang Istri boleh menggugat cerai sebab adanya cacat bagi suaminya atau karena memudhoratkan pada dirinya menurut mayoritas ulama ‘ Madzhab yang empat.
___________________
الموسوعة الفقهية الكويتية المكتبة الشاملة .ص ٢.٥٣٦
وَأَجَازَ الْجُمْهُورُ التَّفْرِيقَ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ لِلإِْعْسَارِ أَوِ الْعَجْزِ عَنِ النَّفَقَةِ، وَالْفُرْقَةُ طَلاَقٌ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ، فَسْخٌ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَلاَ تَجُوزُ إِلاَّ بِحُكْمِ الْقَاضِي، وَجَوَازُهَا لِدَفْعِ الضَّرَرِ عَنِ الزَّوْجَةِ. وَلَمْ يُجِزِ الْحَنَفِيَّةُ التَّفْرِيقَ بِسَبَبِ الإِْعْسَارِ (٢) ، لأَِنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَ إِنْظَارَ الْمُعْسِرِ بِالدَّيْنِ فِي قَوْله تَعَالَى {وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ} (٣) .
Namun Ibnu Hazm berpendapat bahwa kelemahan atau cacat tidak bisa menjadi alasan untuk menuntut cerai fasakh baik bagi suami maupun bagi istri. Sebagaimana pernyataannya:
لايفسخ النكاح بعد صحته بجذام حادث، ولابرص كذلك ، ولابجنون كذلك ، ولا بان تجده بحا ثئا من هذه العيوب، ولابان تجده هى كذلك . ولابعنانه ، ولا بداء فرج، ولابسئ من العيوب.
Nikah tidak di fasakh sesudah sahnya dengan sebab penyakit sopak, kusta, dan gila yang baru terjadi, dan nikah itu tidak di fasakh karena suami menemukan salah satu dari cacat-cacat yang baru datang pada istri, demikian juga kalau istri mendapatkan penyakit yang baru datang pada suaminya dan nikah tidak di fasakh sebab impoten, sakit kemaluan dan jenis apapun cacatnya.
Dari pendapat Ibnu Hazm kaitan dengan fasakh nikah sebab cacat tersebut, perkawinan yang sudah sah itu selamanya tidak bisa difasakhkan, sehingga adanya cacat apapun itu tetap wajib menjalankan hubungan perkawinan dan kewajiban di dalam perkawinan itu.
Mengenai fasakh nikah, Ibnu Hazm memandang masalah tujuan perkawinan, suatu cacat (penyakit) yang diderita baik suami maupun istri tersebut bukanlah fasakh sebagai jalan untuk memisahkan hubungan perkawinan, namun perpisahan dengan sebab lain, seperti thalaq. Pada hakikatnya perkawinan tidak menginginkan fasakh nikah karena adanya cacat yang diderita oleh keduanya, sehingga perpisahan harus mempunyai dasar yang jelas. Ibnu Hazm berpendapat bahwa thalaq itu mutlaq hak dari suami, dan bisa terjadi (jatuh) apabila suami menceraikan (melafazkannya) kepada istrinya. Sedangkan fasakh bisa terjadi tanpa lafaz atau keinginan suami, sekalipun suami masih mencintai istrinya atau tidak.
Dalam masalah fasakh karena impotensi, Ibnu Hazm berpendapat impotensi tidak bisa menjadi alasan untuk menuntut cerai fasakh. Sebagaimana pernyataannya:
ومن تزوج امرأة فلم يقدر على وطئها سواء كان وطئها مرة او مرارا او لم يطأها قط فلا يجوز للحاكم ولا لغيره ان يفرق بينهما اصلا ولا ان يؤجل له اجلا وهى امرأته ان شاء طلق وان شاء امسك .
Orang yang menikahi seorang wanita, namun tidak mampu berhubungan intim dengannya, baik berhubungan badan dengannya satu kali, berkali-kali maupun tidak berhubungan badan sama sekali, maka hakim atau selainnya sama sekali tidak boleh memisahkan mereka juga tidak boleh memberikan batasan waktu padanya. Wanita tersebut adalah istrinya, jika mau dia bisa menthalaqnya, dan jika mau dia bisa mempertahankannya.
Dari pendapat beliau diatas, jelas ketegasan beliau dalam mempertahankan pendapatnya tentang masalah impotensi ini.
Dari penjelasan diatas tidak boleh seorang hakim atau orang lain memisahkan keduanya kecuali suaminya sendiri mentalaknya, karena talak adalah hak suami.
Nah jika seorang laki-laki menjatuhkan talak baik dengan secara kinayah ataupun shoreh kerana alasan impoten semisal ketika dimasukkan penisnya kendur maka dalam hal ini ditafsil
🅰️Tidak ada iddah selama perempuan ( istrinya ) tidak pernah dijima’ atau pernah dijima’ namun tidak mencukupi syarat jima’ maka baginya tidak ada iddah .Contoh ketika suaminya ingin menjima’nya maka hasyafahnya kendur aleas tidak masuk atau masuk cuman separuh tidak samapai menyelam kedalam vaginanya,maka dalam kondisi seperti ini tidak termasuk jima’.
🅱️ Ada iddah bagi perempuan jika telah pernah dijima’ ( didukhol ) dengan syarat hasyafahnya telah sempurna menyilami vaginanya seorang perempuan ( istrinya). Alasannya Karena masuk dalam kategori dukhol/jimak, atau serupa dengan wathe’ yaitu melakukan istimnaa’; Conang; Red ( bersenang-senang bersama tangan istrinya) agar bisa keluar mani lalu maninya dimasukkan kedalam vaginanya baik dengan cara disuntik kan atau dimasukkan melalui tangannya sendiri oleh istrinya dengan secara halal karena keluarnya mani muhtaram , maka dalam kondisi seperti ini terdapat iddah, begitu juga hal Muhtaram keluarnya namun Ghairuh muhtaram ketika memasukkannya seperti hal seorang suami yang impoten Ihtilam ( bermimpi keluar mani ) kemudian mani tersebut diambil oleh istrinya ketika suaminya tidur karena ia menyangka maninya orang lain, karena menurutnya tidak mungkin suami yang impoten keluar mani lalu dimasukkan kedalam vaginanya maka ini ghairu muhtaram ketika memasukkan-Nya, namun demikian jika perempuan ditalak wajib beriddah yaitu tiga kali sucian.
___________________
Referensi:
(كفاية الاءخيار)
(والمطلقة قبل الدُّخُول لَا عدَّة عَلَيْهَا) الْمُطلقَة قبل الدُّخُول بهَا إِن لم تحصل خلْوَة فَلَا عدَّة عَلَيْهَا بِلَا خلاف بل بالِاتِّفَاقِ وَإِن طَلقهَا بعد الْخلْوَة بهَا سَوَاء بَاشَرَهَا فِيمَا دون الْفرج أم لَا فَفِيهِ قَولَانِ الْأَظْهر أَنه لَا عدَّة عَلَيْهَا لقَوْله تَعَالَى {ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا} وَلِأَن الْبَرَاءَة متحققة وَقيل تجب الْعدة لقَوْل عمر وَعلي رَضِي الله عَنْهُمَا إِذا أغلق بَابا وأرخى سترا فلهَا الصَدَاق كَامِلا وَعَلَيْهَا الْعدة وَاعْلَم أَن
زَوْجَة الْمَجْبُوب الذّكر الْبَاقِي الانثيين لَا عدَّة عَلَيْهَا إِن كَانَت حَائِلا لِاسْتِحَالَة الْإِيلَاج وَإِن كَانَت حَامِلا لحقه الْوَلَد عَلَيْهَا الْعدة وَزوج الْمَمْسُوح لَا عدَّة عَلَيْهَا بِنَاء على الْأَصَح أَن الْوَلَد لَا يلْحقهُ وَالله أعلم قَالَ
(وعدة الْأمة كعدة الْحرَّة فِي الْحمل وبالاقراء تَعْتَد بقرءين وبالشهور عَن الْوَفَاة بشهرين وَخمْس لَيَال وَعَن الطَّلَاق بِشَهْر وَنصف) الْأمة الْمُطلقَة إِن كَانَت حَامِلا فعدتها بِوَضْع الْحمل لعُمُوم قَوْله تَعَالَى {وَأُولاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} وَلِأَن الْحمل لَا يَتَبَعَّض فَأشبه قطع السّرقَة وَإِن كَانَت من ذَوَات الْأَقْرَاء اعْتدت بقرءين لقَوْله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم يُطلق العَبْد طَلْقَتَيْنِ وَتعْتَد الْأمة حيضتين وَهُوَ مُخَصص لعُمُوم الْآيَة وَلِأَنَّهَا على النّصْف فِي الْقسم وَالْحَد إِلَّا أَنه لَا يُمكن تنصيف الْقُرْء فكمل الثَّانِي كَمَا كمل طَلَاق العَبْد بثنتين وَلِأَن اسْتِبْرَاء الزَّوْجَة الْحرَّة بِثَلَاثَة أَقراء لكمالها بِالْحُرِّيَّةِ وَالْعقد واستبراء الْأمة الْمَوْطُوءَة بِالْملكِ بِحَيْضَة لنقصانها برقها فَكَانَ اسْتِبْرَاء الْأمة الْمَنْكُوحَة بَينهمَا لوُجُود العقد دون الْحُرِّيَّة وَإِن كَانَت من ذَوَات الْأَشْهر فَفِيهَا ثَلَاثَة أَقْوَال أَحدهَا ثَلَاثَة أشهر لعُمُوم الْآيَة وَلِأَنَّهُ أقل زمن تظهر فِيهِ أَمَارَات الْحمل من التحرك وَكبر الْبَطن فَإِذا لم يظْهر ذَلِك علمت الْبَرَاءَة وَالثَّانِي شَهْرَان بَدَلا عَن الْقُرْأَيْنِ كَمَا كَانَت الْأَشْهر الثَّلَاثَة للْحرَّة بَدَلا عَن الْأَقْرَاء وَالثَّالِث شهر وَنصف لتجري على الصِّحَّة فِي التنصيف كعدة الْوَفَاة وَهَذَا هُوَ الْأَصَح وَبِه جزم الشَّيْخ وَاعْلَم أَن أم الْوَلَد وَالْمُكَاتبَة والمبعضة كالقنة فِيمَا ذكرنَا وَالله أعلم
(فرع)
إِذا طلقت الزَّوْجَة الْأمة وعتقت فِي أثْنَاء الْعدة فَهَل تَعْتَد عدَّة الْإِمَاء أم الْحَرَائِر فِيهِ أَقْوَال أَحدهَا تتمم عدَّة الْإِمَاء إعتباراً بِحَال وجوب الْعدة وَالثَّانِي تتمم عدَّة الْحَرَائِر احْتِيَاطًا للعدة وَالثَّالِث إِن كَانَت رَجْعِيَّة تممت عدَّة الْحَرَائِر لِأَنَّهَا كَالزَّوْجَةِ وَلِهَذَا لَو مَاتَ عَنْهَا انْتَقَلت إِلَى عدَّة الْوَفَاة وَإِن كَانَت بَائِنا أتمت عدَّة أمة لِأَنَّهَا كالأجنبية وَالله أعلم...
_____________________
Referensi dari kitab Kifayah al-Akhyar
Jika wanita diceraikan sebelum terjadi hubungan intim dan tidak ada khalwat (berduaan yang memungkinkan terjadinya hubungan intim), maka tidak ada iddah (masa tunggu) baginya tanpa ada perselisihan, bahkan dengan kesepakatan. Namun, jika wanita tersebut diceraikan setelah terjadi khalwat, baik ia melakukan aktivitas seksual yang tidak sampai pada hubungan intim atau tidak, terdapat dua pendapat.
Pendapat yang lebih kuat adalah tidak ada iddah baginya karena firman Allah SWT: "Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, maka tidak ada iddah bagi mereka yang harus kamu hitung." Dan karena kejelasan kesucian dirinya. Namun, ada juga pendapat yang mewajibkan iddah karena ucapan Umar dan Ali Radhiyallahu ‘anhuma: "Jika seorang pria menutup pintu dan menurunkan tirai, maka istrinya berhak atas mahar penuh dan wajib menjalani iddah."
Istri dari suami yang terpotong alat kelaminnya dan hanya tersisa testis, tidak ada iddah jika ia tidak hamil karena tidak mungkin terjadi hubungan intim. Jika ia hamil dan anak tersebut merupakan anak suaminya, maka ia wajib menjalani iddah. Adapun istri dari suami yang mandul, tidak ada iddah baginya berdasarkan pendapat yang lebih shahih bahwa anak tidak akan terhubung dengannya. Wallahu A'lam (Hanya Allah yang Maha Mengetahui).
Iddah bagi budak perempuan sama dengan iddah bagi wanita merdeka dalam hal kehamilan. Jika budak perempuan tersebut hamil, iddahnya adalah hingga melahirkan sesuai firman Allah SWT: "Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah hingga mereka melahirkan kandungan mereka." Karena kehamilan tidak bisa dibagi, mirip dengan pemotongan pencurian. Jika ia termasuk wanita yang memiliki masa haid, ia menjalani iddah selama dua haid sesuai sabda Rasulullah SAW: "Seorang budak diceraikan dengan dua kali talak dan menjalani iddah dengan dua kali haid." Ini merupakan pengecualian dari keumuman ayat, dan karena ia setengah dalam pembagian dan hukuman, kecuali tidak mungkin membagi masa haid menjadi setengah, sehingga masa kedua lengkap seperti dua kali talak bagi budak. Jika ia termasuk wanita yang memiliki masa haid, iddahnya adalah dua haid.
Adapun jika ia termasuk wanita yang menjalani iddah dengan bulan, terdapat tiga pendapat:
Pertama, tiga bulan sesuai keumuman ayat, dan karena itu adalah waktu minimal yang menunjukkan tanda-tanda kehamilan seperti gerakan dan pembesaran perut. Jika tanda-tanda tersebut tidak muncul, maka diketahui kejelasan kesucian dirinya.
Kedua, dua bulan sebagai pengganti dua haid sebagaimana tiga bulan bagi wanita merdeka sebagai pengganti masa haid. Ketiga, satu bulan setengah untuk menjalani iddah dengan adil seperti masa iddah kematian, dan ini adalah pendapat yang lebih shahih dan ditegaskan oleh Syaikh.
Jika budak perempuan diceraikan dan kemudian dimerdekakan selama masa iddah, apakah ia menjalani iddah bagi budak perempuan atau wanita merdeka?
Terdapat tiga pendapat:
Pertama, ia menyelesaikan iddah budak perempuan karena dianggap sesuai dengan kondisi saat iddah wajib.
Kedua, ia menyelesaikan iddah wanita merdeka untuk kehati-hatian dalam iddah.
Ketiga, jika ia termasuk iddah raj’i, ia menyelesaikan iddah wanita merdeka karena ia seperti istri, dan jika ia meninggal dunia, masa iddah beralih ke masa iddah kematian.
Jika termasuk iddah ba’in, ia menyelesaikan iddah budak perempuan karena ia seperti wanita asing. Wallahu A'lam (Hanya Allah yang Maha Mengetahui).
_____________________
Referensi;
الفقه الإسلامي وأدلته ص ٦٣٨٩
٦ – وجوب العدة إذا دخل الرجل بالمرأة أو اختلى بها خلوة يتمكن فيها من الاتصال الجنسي، ثم فسخ العقد، سواء أكان العقد متفقاً على فساده أم مختلفاً فيه، وتبدأ العدة من وقت الفرقة بينهما بعد الفسخ.
Referensi:
الموسوعة الفقهية الكويتية ص ١٠٥٥٤-
التَّعْرِيفُ:
١ – الْحَشَفَةُ فِي اللُّغَةِ: مَا فَوْقَ الْخِتَانِ مِنَ الذَّكَرِ، وَيُقَال لَهَا الْكَمَرَةُ أَيْضًا. وَالْحَشَفَةُ أَيْضًا وَاحِدَةُ الْحَشَفِ، وَهُوَ أَرْدَأُ التَّمْرِ الَّذِي يَجِفُّ مِنْ غَيْرِ نُضْجٍ وَلاَ إِدْرَاكٍ، فَلاَ يَكُونُ لَهُ لَحْمٌ (١) .
وَفِي عُرْفِ الْفُقَهَاءِ: هِيَ مَا تَحْتَ الْجِلْدَةِ الْمَقْطُوعَةِ مِنَ الذَّكَرِ فِي الْخِتَانِ (٢) .
الأَْلْفَاظُ ذَاتُ الصِّلَةِ:
أ – الْخِتَانُ:
٢ – الْخِتَانُ مَوْضِعُ قَطْعِ جِلْدِ الْقُلْفَةِ، وَمِنْهُ قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ، أَوْ مَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْل (٣) فَمَوْضِعُ الْقَطْعِ غَيْرُ دَاخِلٍ فِي الْحَشَفَةِ.
أَحْكَامٌ تَتَعَلَّقُ بِالْحَشَفَةِ:
أ – أَحْكَامٌ تَتَعَلَّقُ بِإِِيلاَجِ الْحَشَفَةِ:
٣ – تَتَرَتَّبُ أَحْكَامٌ كَثِيرَةٌ عَلَى إِيلاَجِ الْحَشَفَةِ فِي الْقُبُل أَوْ فِي الدُّبُرِ (مَعَ حُرْمَةِ الْوَطْءِ فِي الدُّبُرِ) .
وَذَكَرَ مِنْهَا ابْنُ جُزَيٍّ: خَمْسِينَ حُكْمًا، وَالسُّيُوطِيُّ: مِائَةً وَخَمْسِينَ حُكْمًا (١) ، وَقَال صَاحِبُ كِفَايَةِ الطَّالِبِ: إِنَّهُ يُوجِبُ نَحْوَ سِتِّينَ حُكْمًا، ذَكَرَ مِنْهَا سَبْعَةً وَهِيَ (٢) :
١ – وُجُوبُ الْغُسْل:
٤ – أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ الْغُسْل بِغَيْبُوبَةِ الْحَشَفَةِ كُلِّهَا فِي فَرْجِ آدَمِيٍّ حَيٍّ – عَلَى التَّفْصِيل الَّذِي ذُكِرَ فِي بَابِ الْغُسْل – لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ، وَتَوَارَتِ الْحَشَفَةُ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْل (٣)
_____________________
Fiqih Islam wa Adillatuhu halaman 6389
6 – Wajibnya iddah jika seorang laki-laki berhubungan dengan wanita atau berduaan dalam situasi yang memungkinkan untuk hubungan seksual, kemudian membatalkan akad, baik akad tersebut disepakati kebatilannya atau diperselisihkan, dan iddah dimulai dari waktu perpisahan antara mereka setelah pembatalan.
Referensi:
Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah halaman 10554
1 – Definisi:
Hasyafah dalam bahasa adalah bagian dari penis yang berada di atas khitan, dan juga disebut sebagai "kamrah". Hasyafah juga merupakan bentuk tunggal dari "hasyaf", yang merupakan jenis kurma yang mengering tanpa matang dan tidak memiliki daging.
Dalam istilah ahli fiqih: Hasyafah adalah bagian dari penis yang berada di bawah kulit yang dipotong saat khitan.
2 – Khitan:
Khitan adalah tempat pemotongan kulit kulup. Dari sabda Rasulullah SAW: "Jika dua khitan bertemu atau ketika khitan menyentuh khitan, maka mandi wajib."
Tempat pemotongan tidak termasuk dalam hasyafah.
3 – Hukum yang berkaitan dengan hasyafah:
Hukum yang berkaitan dengan masuknya hasyafah:
Banyak hukum yang terkait dengan masuknya hasyafah ke dalam vagina atau dubur (meskipun hubungan seksual di dubur haram).
Ibn Juzay menyebutkan lima puluh hukum, As-Suyuti menyebutkan seratus lima puluh hukum, dan pemilik Kitab Kifayah at-Thalib menyebutkan bahwa masuknya hasyafah mewajibkan sekitar enam puluh hukum, tujuh di antaranya adalah:
1 – Wajibnya mandi:
Para ahli fiqih sepakat bahwa wajib mandi dengan masuknya seluruh hasyafah ke dalam vagina manusia yang hidup, sebagaimana dijelaskan dalam Bab Mandi. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW: "Jika dua khitan bertemu dan hasyafah tertutupi, maka wajib mandi."
___________________
Referensi
المجموع شرح المهذب ص٦٦١
: (الثَّالِثَةُ)
وُجُوبُ الْغُسْلِ وَجَمِيعُ الْأَحْكَامِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِالْجِمَاعِ يُشْتَرَطُ فِيهَا تَغْيِيبُ الحشفة بكمالها في الفرج ولا يشرط زيادة على الحشفة ولا يتعلق ببعض الحشفة وحده شئ مِنْ الْأَحْكَامِ وَهَذَا كُلُّهُ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ فِي جَمِيعِ الطُّرُقِ إلَّا وَجْهًا حَكَاهُ الدَّارِمِيُّ وَحَكَاهُ الرَّافِعِيُّ عَنْ حِكَايَةِ ابْنِ كَجٍّ أَنَّ بَعْضَ الْحَشَفَةِ كَجَمِيعِهَا وَهَذَا فِي نِهَايَةٍ مِنْ الشُّذُوذِ وَالضَّعْفِ وَيَكْفِي فِي بُطْلَانِهِ قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (إذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ وَجَبَ الْغُسْلُ) : أَمَّا إذَا قُطِعَ بَعْضُ الذَّكَرِ فَإِنْ كَانَ الْبَاقِي دُونَ قَدْرِ الْحَشَفَةِ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِهِ شئ مِنْ الْأَحْكَامِ بِاتِّفَاقِ الْأَصْحَابِ وَإِنْ كَانَ قَدْرُهَا فقط تعلقت الاحكام بتغيبه كُلِّهِ دُونَ بَعْضِهِ وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْ قَدْرِ الْحَشَفَةِ فَوَجْهَانِ مَشْهُورَانِ ذَكَرَهُمَا الْمُصَنِّفُ فِي مَوَاضِعَ مِنْ الْمُهَذَّبِ مِنْهَا بَابُ الْخِيَارِ فِي النكاح في مسألة العنين ورجح المصنف منهما أنه لَا يَتَعَلَّقَ الْحُكْمُ بِبَعْضِهِ وَلَا يَتَعَلَّقَ إلَّا بِتَغْيِيبِ جَمِيعِ الْبَاقِي وَكَذَا رَجَّحَهُ الشَّاشِيُّ وَنَقَلَهُ الْمَاوَرْدِيُّ عَنْ نَصِّ الشَّافِعِيِّ وَرَجَّحَ الْأَكْثَرُونَ تَعَلُّقَ الْحُكْمِ بِقَدْرِ الْحَشَفَةِ مِنْهُ وَقَطَعَ بِهِ الْفُورَانِيُّ وَإِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْغَزَالِيُّ وَالْبَغَوِيُّ وَصَاحِبُ الْعُدَّةِ وَآخَرُونَ وَصَحَّحَهُ الرَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُ...
_____________________
Dari "Al-Majmu' Syarh al-Muhadzab" halaman 661:
(Ketiga)
Kewajiban mandi dan semua hukum yang berkaitan dengan hubungan suami istri mensyaratkan masuknya seluruh kepala penis (hasyafah) ke dalam vagina. Tidak ada syarat tambahan selain hasyafah, dan sebagian dari hasyafah saja tidak berlaku dalam hal ini. Semua ini disepakati oleh semua ulama kecuali satu pendapat yang disebutkan oleh Ad-Darimi dan Ar-Rafi’i dari kisah Ibn Kaj bahwa sebagian dari hasyafah dianggap seperti seluruhnya, tetapi pendapat ini sangat lemah dan jarang diikuti.
Rasulullah SAW bersabda: "Jika dua khitan bertemu, maka wajib mandi."
Jika sebagian penis terpotong dan yang tersisa kurang dari ukuran hasyafah, maka tidak ada hukum yang berlaku padanya dengan kesepakatan ulama. Jika yang tersisa sebesar ukuran hasyafah, maka hukumnya berlaku dengan masuknya seluruh bagian tersebut, bukan sebagian darinya. Jika yang tersisa lebih besar dari ukuran hasyafah, terdapat dua pendapat yang disebutkan oleh pengarang dalam beberapa bagian dari Al-Muhadzab, termasuk dalam bab pilihan dalam pernikahan, dalam masalah impotensi. Pengarang lebih mendukung bahwa hukum tidak berlaku pada sebagian dari bagian yang tersisa, melainkan hanya berlaku dengan masuknya seluruh bagian yang tersisa.
Pendapat ini juga didukung oleh Asy-Syasyi dan disebutkan oleh Al-Mawardi berdasarkan teks dari Asy-Syafi’i. Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum berlaku pada ukuran hasyafah darinya, dan ini ditegaskan oleh Al-Furani, Imam Haramain, Al-Ghazali, Al-Baghawi, penulis Al-‘Uddah, dan yang lainnya, serta dikonfirmasi oleh Ar-Rafi’i dan lainnya.
_____________________
[البجيرمي، حاشية البجيرمي على الخطيب = تحفة الحبيب على شرح الخطيب، ٥١٨/٣]
وَ) الثَّانِي (أَنْ يَكُونَ) الطَّلَاقُ (بَعْدَ الدُّخُولِ بِهَا) فَإِنْ كَانَ قَبْلَهُ فَلَا رَجْعَةَ لَهُ لِبَيْنُونَتِهَا وَكَالْوَطْءِ اسْتِدْخَالُ الْمَنِيِّ الْمُحْتَرَمِ
[البجيرمي، حاشية البجيرمي على شرح المنهج = التجريد لنفع العبيد، ٧٧/٤]
قَوْلُهُ: الْمُحْتَرَمُ) أَيْ: حَالَ خُرُوجِهِ فَقَطْ عَلَى مَا اعْتَمَدَهُ م ر وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُحْتَرَمٍ حَالَ الدُّخُولِ كَمَا إذَا احْتَلَمَ الزَّوْجُ وَأَخَذَتْ الزَّوْجَةُ مَنِيَّهُ وَأَدْخَلَتْهُ فِي فَرْجِهَا ظَانَّةً أَنَّهُ مَنِيُّ أَجْنَبِيٍّ فَإِنَّ هَذَا مُحْتَرَمٌ حَالَ الْخُرُوجِ وَغَيْرُ مُحْتَرَمٍ حَالَ الدُّخُولِ وَتَجِبُ بِهِ الْعِدَّةُ إذَا طَلُقَتْ الزَّوْجَةُ قَبْلَ الْوَطْءِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ خِلَافًا لحج
[الجمل، حاشية الجمل على شرح المنهج = فتوحات الوهاب بتوضيح شرح منهج الطلاب، ٤٤١/٤]
وَالْمُرَادُ الْمَنِيُّ الْمُحْتَرَمُ بِأَنْ لَا يَكُونَ حَالَ خُرُوجِهِ مُحَرَّمًا لِذَاتِهِ فِي ظَنِّهِ أَوْ فِي الْوَاقِعِ فَشَمِلَ الْخَارِجَ بِوَطْءِ زَوْجَتِهِ فِي الْحَيْضِ مَثَلًا أَوْ بِاسْتِمْنَائِهِ بِيَدِهَا أَوْ بِوَطْءِ أَجْنَبِيَّةٍ يَظُنُّهَا حَلِيلَتَهُ أَوْ عَكْسَهُ أَوْ بِوَطْءِ شُبْهَةٍ كَنِكَاحٍ فَاسِدٍ أَوْ بِوَطْءِ الْأَبِ أَمَةَ وَلَدِهِ وَلَوْ مَعَ عِلْمِهِ بِهَا فَإِذَا اسْتَدْخَلَتْهُ امْرَأَةٌ وَلَوْ أَجْنَبِيَّةً عَالِمَةً بِحَالِهِ وَجَبَ بِهِ الْعِدَّةُ وَلَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ الْحَاصِلُ مِنْهُ كَالْحَاصِلِ مِنْ ذَلِكَ الْوَطْءِ وَخَرَجَ بِذَلِكَ الْحَرَامُ فِي ظَنِّهِ، وَالْوَاقِعُ مَعًا كَالزِّنَا وَالِاسْتِمْنَاءِ بِيَدِ غَيْرِ حَلِيلَتِهِ، وَأَلْحَقَ شَيْخُنَا الْخَارِجَ بِالنَّظَرِ أَوْ الْفِكْرِ الْمُحَرَّمِ فَلَا عِبْرَةَ بِاسْتِدْخَالِهِ وَلَوْ مِنْ زَوْجَتِهِ، وَإِنْ ظَنَّتْهُ غَيْرَ مُحَرَّمٍ
______________________
Dari kitab "Hashiyah al-Bajirmi 'ala al-Khatib" (Tuhfat al-Habib 'ala Syarh al-Khatib, 3/518):
Syarat kedua (agar talak sah) adalah talak terjadi setelah berhubungan dengan istri. Jika talak terjadi sebelum berhubungan, maka tidak ada hak untuk rujuk kembali karena adanya pemisahan. Sebagaimana memasukkan sperma yang dihormati.
Dari kitab "Hashiyah al-Bajirmi 'ala Syarh al-Minhaj" (Tajrid li Naf'i al-'Abid, 4/77):
Kata "yang dihormati" berarti pada saat keluarnya saja, berdasarkan pendapat yang dipegang oleh M R ( م ر ). Jika pada saat masuknya sperma tidak dihormati, seperti ketika suami bermimpi basah dan istrinya mengambil spermanya dan memasukkannya ke dalam vaginanya dengan mengira itu sperma orang lain, maka sperma ini dihormati pada saat keluarnya dan tidak dihormati pada saat masuknya. Dalam kasus ini, iddah (masa tunggu) tetap diwajibkan jika istri diceraikan sebelum berhubungan, menurut pendapat yang diandalkan, berbeda dengan pendapat Haj.
Dari kitab "Hashiyah al-Jamal 'ala Syarh al-Minhaj" (Futuhat al-Wahhab bi Tawdhih Syarh Minhaj al-Tullab, 4/441):
Yang dimaksud sperma yang dihormati adalah yang tidak haram pada saat keluarnya, baik dalam sangkaannya maupun kenyataannya. Ini mencakup sperma yang keluar akibat berhubungan dengan istrinya saat haid, atau beronani dengan tangannya, atau berhubungan dengan wanita asing yang ia kira adalah istrinya, atau sebaliknya, atau berhubungan dengan keraguan seperti dalam pernikahan yang tidak sah, atau berhubungan dengan budak anaknya meskipun ia mengetahuinya. Jika sperma dimasukkan oleh seorang wanita, bahkan wanita asing yang mengetahui keadaannya, maka iddah tetap diwajibkan dan anak yang lahir dari sperma tersebut diakui sebagaimana anak yang lahir dari hubungan tersebut. Hal ini mengeluarkan sperma yang haram dalam sangkaannya atau kenyataannya, seperti zina dan beronani dengan tangan orang lain yang bukan istrinya. Pendapat kami juga memasukkan sperma yang keluar akibat melihat atau berpikir yang haram, yang mana sperma tersebut tidak dianggap meskipun berasal dari istrinya, jika ia mengira itu bukan haram.
Wallahu A'lam bisshowab (Hanya Allah yang Maha Mengetahui kebenarannya).
__________________
20 Febuari 2025