PATOKAN WAKTU BERBUKA PUASA
Assalamualaikum ust.
Dizaman milineal sekarang ini sebenarnya tidaklah sulit untuk membuktikan bagaimana cara kita berbuka puasa dan mengetahui masuknya waktunya shalat, tentunya dengan melihat jadwal masuknya shalat pun juga tanda berbuka puasa melalui HP, namun demikian terkadang jam yang berada di HP dan jarumnya jam lambat sehingga diantara HP atau jam yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda bahkan cara Adzanpun tidak sama ada yang adzan pas dengan terbenamnya matahari dan ada yang lambat .
__________________
Pertanyaannya.
Jika Adzan magrib tidak bersamaan dibulan puasa apakah yang menjadi patokan berbuka puasa adanya adzan atau terbenamnya matahari.
__________________
Waalaikum salam.
Jawabannya
Pedoman buka puasa maupun masuknya waktu shalat disiang hari adalah matahari .Jika matahri terbenam maka Masuklah waktu ifthor,dan juga waktu shalat maghrib karena waktu ifthor adalah awal masuknya waktu maghrib akan tetapi adzanpun bisa menjadi tanda masuknya waktu ifthor dengan catatan adzan yang dikumandankan sesuai dengan terbenamnya matahari . Akan tetapi jika adanya adzan tidak sesuai dengan terbenamnya matahari maka tidaklah bisa dijadikan patokan berbuka karena disyariatkannya adzan ulama berbeda pandang khususnya dikalangan Syafiiyah ada yang mengatakan disyariatkannya adzan sebagai pemberitahuan tanda masuknya waktu, sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa disyariatkannya adzan sebagai pemberitahuan pelaksanaan shalat fardhu
Kenapa sebagian ulama berpendapat adzan sebagai tanda masuknya waktu shalat fardu ..? karena latar belakang dianjurkannya hukum dikumandangkan adzan adalah sebagai panggilan tanda masuknya waktu , namun tidak semua adzan yang dikumandangkan sebagai tanda masuknya waktu shalat karena adzan sebagai hak untuk shalat bukan untuk waktu sehingga adzan bisa digunakan atau dikumandankan ketika orang akan bepergian seperti pergi haji sunnah adzan, juga ketika anak lahir, dan juga ketika kebakaran dan banyak jin dan ketika mayit dikuburkan. Oleh karena itu penting terlebih dahulu seorang muadzzin harus melihat mata hari jika sudah terbenam berarti sudah masuk waktu shalat baru adzan, karena kata adzan (أذن), kata نادى di dalam berbagai macam bentuknya terulang sebanyak 53 kali di dalam Al-Quran. Dari pengulangan 53 kali tersebut, adzan selain memiliki arti panggilan ataupun seruan, kata tersebut juga berarti permohonan ataupun doa
Dalil bahwa terbenamnya matahari sebagai tanda masuk waktunya Ifthor sebagaimana sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا وَغَرَبَتْ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ (رواه البخاري (1954) ومسلم (1100)
“Apabila waktu malam tiba dari arah sini, dan waktu siang berlalu dari sini dan matahari telah terbenam, seorang yang berpuasa boleh berbuka”. (HR. Bukhori: 1954, dan Muslim: 1100).
Maksud dari terbenam itu adalah tidak terlihatnya bola matahari, adapun warna kemerahan yang tersisa tidak jadi masalah, yang penting tidak terlihatnya bola matahari itu sudah masuk waktu iftho (berbuka).
Banyak juga para muadzin belakangan ini berpedoman pada kalender atau jadwal shalat. Hal ini juga diperbolehkan. Namun diantara mereka ada juga yang tidak tepat waktu sebagaimana seharusnya.
Apabila para muadzin berbeda, maka pilihlah adzan yang paling tepat waktu dan jadikanlah dia sebagai patokan puasa atau boleh juga berpedoman pada kalender atau jadwal imsakiyah yang betul-betul bisa dipertanggungjawabkan jawabkan atas kebenarannya.
Jika orang yang berpuasa memiliki kuat dugaan bahwa matahari sudah terbenam, maka diperbolehkan berbuka, tidak disyaratkan harus mendapatkan keyakinan, tapi cukup dengan perkiraan kuat. Ketika orang berpuasa dalam persangkaan kuat matahari telah terbenam, maka berbuka tidak apa-apa. Namun, tidak boleh dia berbuka selagi dia masih ragu dengan terbenamnya matahari.
Jadi yang menjadi patokan adalah terbenam matahari bukan azan terutama waktu sekarang, karena orang-orang berpedoman pada kalender dan menjadikannya sebagai acuan dengan jamnya, sementara jamnya terkadang berubah lebih cepat atau lebih lambat. Jika matahari telah terbenam dan disaksikannya, sementara orang-orang belum azan, maka dibolehkan berbuka. Kalau mereka telah azan, sementara terlihat matahari belum terbenam, maka tidak diperbolehkan berbuka.
Adanya sisa cahaya terang tidak berpengaruh. Sebagian orang mengatakan, “Kita tetap (menunggu) sampai bulatan (Matahari) tidak nampak dan hari mulai gelap. Hal ini tidak dijadikan patokan. Tapi lihatlah bulatan matahari itu, kapan dia terbenam bagian paling atas, maka matahari telah terbenam dan disunahkan berbuka.
Dalil disunahkan bersegera adalah sabda Beliau sallallahu alaihi wa sallam:
لا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
“Orang-orang senantiasa dalam kebaikan selagi mensegerakan berbuka.”
Dengan demikian dapat kita ketahui, bahwa orang yang mengakhirkan berbuka sampai terlihat bintang seperti Rofidhoh mereka tidak dalam kebaikan.
Kalau ada orang mengatakan, “Apakah saya diperbolehkan berbuka dengan persangkaan kuat, dalam artian kalau dalam persangkaan kuatku bahwa matahari telah terbenam, apakah saya diperbolehkan berbuka?
Maka jawabnya adalah ya, dalil akan hal itu adalah apa yang ada ketetapan dalam Shahih Bukhori dari Asma’ binti Abu Bakar radhiallahu anha berkata:
أفطرنا في يوم غيم على عهد النبي صلّى الله عليه وسلّم ، ثم طلعت الشمس
“Kami berbuka di hari mendung pada zaman Nabi sallallahu alaihi wa sallam, kemudian terbit (kelihatan) matahari.”
Telah diketahui mereka tidak berbuka dengan keyakinan (ilmu), karena kalau mereka berbuka dengan keyakinan (ilmu), maka matahari tidak akan terlihat lagi. Akan tetapi mereka berbuka berdasarkan persangkaan kuat telah terbenam. Kemudian mendungnya tersingkap dan matahari terlihat.” (Asy-Syarhul Mumti’, 6/267).
كاشفة السجا على شرح سفينة النجا
والرابع على من أفطر ظاناً الغروب فبان خلافه أيضاً ) كما يقع الآن كثيرًاً بسبب) جهل الميقاتية قاله الشرقاوي
atas orang yang berbuka seraya menyangka telah tenggelamnya matahari, tetapi ternyata diketahui bahwa matahari belum terbenam, artinya, ia tetap wajib imsak atau menahan diri di waktu yang tersisa hingga matahari diketahui benar-benar telah tenggelam dan kelak ia wajib mengqodho. Demikian ini adalah seperti yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang saat ini sebab kebodohan mereka tentang batas-batas waktu, seperti yang dikatakan oleh Syarqowi.
إعانة الطالبين .ج ١ص ٢٢٨
(فصل فى الآذان والإقامة ) أى فى بيان حكمهما وشروطها وسننهما ( قوله هما لغة الإعلام ) فيه أن الآذان فقط لغة الإعلام قال تعالى وأذن فى الناس بالحج أى أعلمهم به واماالإقامة فهى لغة مصدر أقام أى حصل القيام فهما مختلفان لغة كما فى التحفة والنهاية والمغنى فكان الأولى أن يزيد وتحصيل القيام ويكون على التوزيع الأول والثانى للثانى ثم رأيت فى فتح الجواد مثل ماذكره الشارح فلعله تبعه فى ذلك ولكن الايراد باق ويكون عليهما…
( قوله وشرعا) معطوف على لغة وقوله ماعرف به من الألفاظ المشهورة وهى الله أكبر الله أكبر الخ وهى كماقال القاضى عياض كلمات جامعة لعقيدة الإيمان مشتملة على نوعيه العقلية السمعية فأولها فيه إثبات ذاته تعالى وماتستحقه من الكمال بقوله الله أكبر أى أعظم من كل شيئ ثم الشهادة بالوحدانية له بقوله أشهد أن لاإله إلا الله وبالرسالة لسيدنامحمد صلى الله عليه وسلم بقوله وأشهد أن محمدا رسول الله ثم الدعاء إلى الصلاة بقوله حى على الصلاة أى أقبلوا عليها ولاتكسلوا عنها فحى إسم فعل أمر بمعنى أقبلوا ثم الدعاء إلى الفلاح بقوله حى على الفلاح أى أقبلوا على سبب الفلاح وهو الفوز والظفر بالمقصود وسببه هو الصلاة فهو تأكيد لما قبله بعد تأكيد وتكرير بعد تكرير وفيه إشعار بأمور الآخرة من البعث والجزاء لتضمن الفلاح لذلك ثم كرر التكبير لمافيه من التعظيم له تعالى وختم بكلمة التوحيد لأن مدار الأمر عليه جعلنا الله وأحييتنا عند الموت ناطقين بها عالمين بمعناها وقوله فيهما أى الآذان والإقامة 🔅واعلم أنه اختلف في الاذان هل شرع للاعلام بدخول الوقت؟ أو شرع للاعلام بالصلاة المكتوبة؟ على قولين للامام الشافعي رضي الله عنه، والراجح الثاني، وأما الأول فهو مرجوح، وينبني على القولين أنه لا يؤذن للفائتة على المرجوح لان وقتها قد فات، ويؤذن لها على الراجح لان الاذان حق للصلاة لا للوقت.(قوله: والأصل فيهما) أي الدليل على مشروعية الأذان والإقامة. وقوله: الاجماع إلخ هكذا في التحفة.
والذي في النهاية والمغنى والأسنى الأصل فيهما قبل الاجماع، قوله تعالى: (إذا نودي للصلاة من يوم الجمعة) وقوله تعالى: (وإذا ناديتم إلى الصلاة) وما صح من قوله (ص): إذاأقيمت الصلاة فليؤذن لكم أحدكم. اه. وقوله: المسبوق صفة للاجماع. وقوله: برؤية عبد الله إلخ فإن قيل: رؤية المنام لا يثبت بها حكم. أجيب بأنه ليس مستندا لاذان الرؤيا فقط، بل وافقها نزول الوحي. فالحكم ثبت به لا بها. ويؤيده رواية عبد الرازق وأبي داود في المراسيل، من طريق عبيد بن عمير الليثي، أحد كبار التابعين، أن عمر لما رأى الاذان جاء ليخبر النبي (ص فوجد الوحي قد ورد بذلك، فما راعه إلا أذان بلال، فقال له النبي (ص): سبقك بذلك الوحي. (قوله: ليلة تشاوروا) الظرف متعلق برؤية، وواو الجماعة عائد على النبي (ص) ومن معه من الصحابة. وقوله: فيما يجمع الناس أي في الامر الذي يكون سببا لجمع الناس للصلاة. (قوله: وهي) أي رؤية الاذان من حيث هي، بقطع النظر عن كونها صدرت من عبد الله، وإلا لحصل ركة بقوله بعد عن عبد الله. (قوله: لما أمر النبي (ص)) أي بعد اتفاقهم عليه. وكتب ع ش ما نصه: قوله: لما أمر النبي (ص) إلخ. عبارة حجر تفيد عدم أمره (ص)، ويوافقه ما في سيرة الشامي حيث قال: اهتم (ص) كيف يجمع الناس للصلاة، فاستشار الناس فقيل: انصب راية. ولم يعجبه ذلك، فذكر له القنع – وهو البوق – فقال: هو من أمر اليهود.
فذكر له الناقوس فقال: هو من أمر النصارى. فقالوا: لو رفعنا نارا؟. فقال: ذاك للمجوس. فقال عمر: أو لا تبعثون رجلا ينادي بالصلاة؟ فقال (ص): يا بلال قم فناد بالصلاة. قال النووي: هذا النداء دعاء إلى الصلاة غيرالأذان، كأن شرع قبل الاذان. قال الحافظ ابن حجر: وكان الذي ينادي به بلال: الصلاة جامعة. اه. وهو كما ترى مشتمل على النهي عن الناقوس والامر بالذكر. اه. (قوله: بالناقوس) قال في المصباح: هو خشبة طويلة يضربها النصارى إعلاما للدخول في صلاتهم. (قوله: يعمل) أي يصنع. (قوله: ليضرب به للناس) عبارة غيره: ليضرب به الناس، بحذف لام الجر. وعليها يكون الناس فاعل يضرب، وعلى عبارة شارحنا يكون الفعل مبنيا للمجهول، وبه نائب فاعل، وللناس متعلق بالفعل. وقوله: لجمع الصلاة أي لاجتماع الناس لها. فالإضافة لأدنى ملابسة. والجار والمجرور إما بدل من الجار والمجرور قبله أو متعلق بالفعل، وتجعل اللام للتعليل، وبه يندفع ما يقال إنه يلزم عليه تعلق حرفي جر بمعنى واحد بعامل واحد. وهو لا يصح. وحاصل الدفع أن الحرفين ليسا بمعنى واحد، لان الثاني للتعليل والأول للتعدية.(قوله: طاف إلخ) جواب لما. وقوله: وأنا نائم الجملة حالية، وهي معترضة بين الفعل وفاعله وهو رجل. (قوله:فقال) أي الرجل لعبد الله. وقوله: وما تصنع به أي بالناقوس. (قوله: ثم استأخر) أي الرجل. (قوله: فقال) أي النبي (ص). وقوله: إنها أي رؤيتك يا عبد الله. وقوله: حق أي صادقة. وهو بالرفع صفة لرؤيا أو بالجر على أنه مضاف إليه ما قبله، وهي من إضافة الموصوف للصفة. (قوله: فألق عليه ما رأيت) أي لقنه ما رأيته منامك. (قوله فليؤذن به) أي فليؤذن بلال بما رأيت. وفي ع ش ما نصه: ذكر بعضهم في مناسبة اختصاصه – أي بلال – بالاذان دون غيره، كونه لما عذب ليرجع عن الاسلام فلم يرجع وجعل يقول: أحد أحد. جوزي بولاية الاذان المشتمل على التوحيد في ابتدائه وانتهائه. اه حواشي المواهب لشيخنا الشوبري. (قوله: فإنه) أي بلالا. وقوله: أندى صوتا منك أي أرفع وأعلى. وقيل: أحسن وأعذب. وقيل: أبعد. (قوله: فقمت مع بلال) أي فامتثلت أمر النبي (ص) إلخ، وقمت مع بلال.
وقوله: فجعلت ألقيه أي ما رأيته. وقوله: عليه أي على بلال. (قوله: فيؤذن) أي بلال.
Kitab I‘ânah Ath-Thâlibîn, Juz 1, Halaman 228
(Bab tentang Adzan dan Iqamah) – yaitu dalam penjelasan hukum, syarat, dan sunnah keduanya. (Perkataan: “keduanya secara bahasa berarti pemberitahuan”) — Di sini terdapat catatan bahwa secara bahasa, adzan saja yang berarti pemberitahuan. Allah Ta‘ala berfirman: “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji” (QS. Al-Hajj: 27), yakni beritahukanlah kepada mereka. Adapun iqamah, secara bahasa adalah bentuk mashdar dari aqaama yang berarti menegakkan atau mendirikan. Maka keduanya berbeda secara bahasa, sebagaimana disebutkan dalam kitab Tuhfah, Nihayah, dan Mughni. Oleh karena itu, lebih baik ditambahkan kata “dan mendirikan shalat” untuk membedakan keduanya. Kemudian, aku menemukan dalam kitab Fathul Jawad penjelasan yang sama dengan yang disampaikan oleh penulis. Barangkali, ia hanya mengikutinya dalam hal ini, tetapi kritik tersebut tetap ada.
(Perkataan: “dan secara syara‘”) — Ini dihubungkan dengan “secara bahasa”. (Perkataan: “adalah lafaz-lafaz yang sudah masyhur”) — yaitu “Allahu Akbar, Allahu Akbar” dan seterusnya. Menurut Qadhi Iyadh, lafaz-lafaz ini mencakup pokok-pokok aqidah iman, baik yang bersifat rasional (aqliyah) maupun yang bersifat pendengaran (sam’iyyah). Awalnya terdapat penegasan akan keberadaan Allah Ta‘ala dan kesempurnaan-Nya dengan kalimat “Allahu Akbar”, yang berarti “Allah Maha Besar dari segala sesuatu”. Kemudian, terdapat kesaksian tentang keesaan Allah dengan kalimat “Asyhadu an laa ilaaha illallah”, dan kesaksian tentang kerasulan Nabi Muhammad ﷺ dengan kalimat “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”.
Kemudian, terdapat seruan untuk melaksanakan shalat dengan kalimat “Hayya ‘ala ash-shalaah”, yang berarti “Marilah melaksanakan shalat, jangan malas!”. Kata “Hayya” adalah fi’il amar yang berarti “datangilah atau hadirilah!”. Selanjutnya, ada seruan untuk meraih keberuntungan dengan kalimat “Hayya ‘ala al-falaah”, yang berarti “Datangilah sebab keberuntungan”, yakni kemenangan dalam mencapai tujuan yang puncaknya adalah shalat. Pengulangan takbir di akhir mengandung pengagungan terhadap Allah Ta‘ala, sedangkan penutupan dengan kalimat tauhid (Laa ilaaha illallah) karena seluruh amalan berpangkal padanya. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang yang mengucapkannya di akhir hayat dengan penuh kesadaran akan maknanya.
(Perkataan: “Dalam keduanya”) — yaitu adzan dan iqamah. Ketahuilah bahwa terdapat perbedaan pendapat tentang tujuan disyariatkannya adzan. Apakah untuk memberitahukan masuknya waktu shalat atau untuk memberitahukan adanya kewajiban shalat? Imam Syafi‘i memiliki dua pendapat dalam hal ini. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa adzan disyariatkan untuk memberitahukan adanya kewajiban shalat, bukan sekadar masuk waktu. Konsekuensinya, menurut pendapat yang lemah, adzan tidak disyariatkan untuk shalat yang terlewatkan waktunya (shalat qadha), sedangkan menurut pendapat yang kuat, adzan tetap disyariatkan karena adzan adalah hak shalat, bukan hak waktu.
(Perkataan: “Dan dasar dari keduanya”) — yaitu dalil yang menunjukkan disyariatkannya adzan dan iqamah. (Perkataan: “Ijma‘”) — seperti yang disebutkan dalam kitab Tuhfah. Sedangkan dalam kitab Nihayah, Mughni, dan Asna, dasar keduanya sebelum ijma‘ adalah firman Allah Ta‘ala: “Apabila diserukan adzan untuk shalat pada hari Jumat” (QS. Al-Jumu‘ah: 9) dan firman Allah Ta‘ala: “Dan apabila kalian menyeru untuk shalat” (QS. Al-Ma’idah: 58). Selain itu, terdapat hadits sahih yang menyatakan: “Apabila iqamah sudah dikumandangkan, maka hendaknya salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan”.
(Perkataan: “Mimpi Abdullah”) — Jika ada yang bertanya, bukankah hukum tidak dapat ditetapkan hanya berdasarkan mimpi? Maka jawabannya adalah bahwa hukum adzan tidak hanya berdasarkan mimpi tersebut, tetapi mimpi tersebut sesuai dengan wahyu yang turun. Hal ini diperkuat dengan riwayat dari ‘Abdurrazzaq dan Abu Dawud dalam kitab Marasil, dari ‘Ubaid bin Umair Al-Laitsi, salah seorang tabi’in senior, bahwa ketika Umar melihat adzan dalam mimpinya dan hendak memberitahukan Nabi ﷺ, ternyata wahyu sudah turun terlebih dahulu mengenai hal tersebut.
(Perkataan: “Malam ketika mereka bermusyawarah”) — keterangan waktu ini terkait dengan peristiwa mimpi tersebut. (Perkataan: “Mereka bermusyawarah tentang cara mengumpulkan manusia untuk shalat”) — Nabi ﷺ dan para sahabat bermusyawarah tentang cara memanggil orang untuk shalat. Mereka mengusulkan bendera, tetapi Nabi ﷺ tidak menyukainya. Kemudian mereka mengusulkan terompet seperti Yahudi, tetapi Nabi ﷺ menolaknya. Lalu diusulkan lonceng seperti Nasrani, Nabi ﷺ pun menolaknya. Setelah itu, Umar mengusulkan: “Mengapa tidak ada seseorang yang memanggil manusia untuk shalat?” Maka Nabi ﷺ bersabda kepada Bilal: “Wahai Bilal, bangkitlah dan serulah shalat!”
Menurut Imam Nawawi, seruan pertama tersebut bukanlah adzan yang kita kenal sekarang, tetapi seruan umum untuk shalat. Ibnu Hajar menambahkan bahwa seruan tersebut adalah dengan kalimat “As-Shalaatu Jaami‘ah” (“Shalat akan dilaksanakan secara berjamaah”).
(Perkataan: “Lonceng”) — Menurut kitab Al-Mishbah, lonceng adalah kayu panjang yang dipukul oleh orang Nasrani untuk memberi tahu waktu shalat mereka.
(Perkataan: “Kemudian seseorang datang dalam mimpi”) — Abdullah bin Zaid melihat seorang laki-laki dalam mimpinya, yang mengajarkannya lafaz adzan. Nabi ﷺ kemudian bersabda: “Mimpi itu benar.” Dan beliau memerintahkan agar Bilal yang mengumandangkan adzan karena suaranya lebih nyaring dan merdu.
Inilah ringkasan dari penjelasan terkait adzan dan iqamah dalam kitab I‘ânah Ath-Thâlibîn.
تقريب
الصلاة المفروضة خمس الظهر وأول وقتها زوال وقتها زوال الشمس وآخره إذا صار ظل كل شيء مثله بعد الزوال والعصر وأول وقتها الزيادة على ظل المثل وآخره في الاختيار إلى ظل المثلين وفي الجواز إلى غروب الشمس والمغرب ووقتها واحد وهو غروب الشمس وبمقدار ما يؤذن ويتوضأ ويستر العورة ويقيم الصلاة ويصلي خمس ركعات والعشاء أول وقتها إذا غاب الشفق الأحمر وآخره في الاختيار إلى ثلث الليل وفي الجواز إلى طلوع الفجر الثاني والصبح وأول وقتها طلوع الفجر الثاني وآخره في الاختيار إلى الأسفار وفي الجواز إلى طلوع الشمس
.
Artinya: Shalat fardhu (wajib) ada 5 (lima) yaitu:
(a) Shalat Dhuhur. Awal waktunya adalah condongnya matahari sedang akhir waktu dzuhur adalah apabila bayangan benda sama dengan ukuran bendanya.
(b) Shalat Ashar. Awal waktunya adalah apabila bayangan sama dengan benda lebih sedikit.
Akhir waktu Ashar dalam waktu ikhtiyar adalah apabila bayangan benda 2 (dua) kali panjang benda; akhir waktu jawaz adalah sampai terbenamnya matahari.
(c) Shalat maghrib. Awal waktunya adalah terbenamnya matahari (sedang akhir waktunya) adalah setelah selesainya adzan, berwudhu, menutup aurat, mendirikan shalat dan shalat 5 (lima) raka’at.
(d) Shalat Isya’. Awal waktunya adalah apabila terbenamnya sinar merah sedangkan akhirnya untuk waktu ikthiyar adalam sampai 1/3 (sepertiga) malam; untuk waktu jawaz adalah sampai terbitnya fajar yang kedua (shadiq).
(e) Shalat Subuh. Awal waktunya adalah terbitnya fajar kedua (fajar shadiq) sedang akhirnya waktu ikhtiyar adalah sampai isfar (terangnya fajar); akhir waktu jawaz adalah sampai terbitnya matahari.
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa keduanya antara Matahari ( terbenamnya matahari ) dan adzan dapat dijadikan patokan masuknya waktu ifthor waktu shalat maghrib Namun tidak setiap adzan menjadi tanda masuknya waktu, karena adzan adalah hak bagi shalat dan bukan hak bagi waktu, sebagaimana keterangan dalam kitab Iaanatuttholibin tersebut. .
Wallahu A’lam bisshowab.
___________________
26 Febuari 2025