Sholat Fardlu diatas Kendaraan, dan Sholat diangkasa


📌Sholat fardlu itu tidak boleh dikerjakan diatas kendaraan pada saat perjalanan, meski itu sholat jenazah atau sholat yang di nadzarkan. Namun jika ia takut akan dirinya atau hartanya meskipun hartanya itu sedikit, atau takut tertinggal rombongan, jika ia turun dari kendaraan kemudian melaksanakan sholat, maka ia boleh sholat di kendaraan yang bergerak menuju tujuannya, ia melakukan isyarat pada rukun-rukun sholatnya, dan ketika sudah sampai tujuan ia mengulangi sholatnya. Namun ada pendapat lain yang menyatakan tidak wajib diulangi sholatnya, sebab disamakan seperti sholat syiddatul khouf (sholat dalam keadaan perang), sebagaimana dijelaskan oleh an-Nawawi dalam Al-majmu'nya. (Minhajul Qowim × Al-Majmu')

-Namun jika ia bisa menghadap kiblat, dan bisa menyempurnakan rukun-rukun sholatnya maka boleh sholat fardlu diatas kendaraan itu, Tanpa perlu mengulangi sholatnya. Gambarannya seperti misalkan seseorang sholat di kapal laut, kereta, tandu, atau apapun itu... yang sekiranya ia bisa menghadap kiblat dan menyempurnakan rukun-rukun sholatnya maka ia boleh melaksanakan sholat fardlu dan tak perlu diulang. (Minhajul Qowim)

📃 Ketika terkumpul syarat, rukun semuanya maka boleh sholat fardlu diatas kapal laut... Dan gak ush i'adah (gak usah mengulangi sholatnya).

Tetap wajib menghadap kiblat, sehingga apabila kapal laut yang ditumpangi berbelok dari arah kiblat, maka dia wajib segera berputar kearah kiblat. Ia juga wajib salat berdiri, kecuali apabila berdiri tidak memungkinkan, seperti kepalanya sedang pusing, maka ia boleh salat duduk dan tidak wajib mengulangi salatnya. (Hamisy Fathul Wahab × Al-Majmu')

أَمَّا الفَرْضُ وَلَوْ مُعَادًا أَوْصَلاَةَ صَبِي أَوْ مَنْدُوْرًا أَوْصَلَاةَ جَنَازَةٍ فَيَصْحُ فِي السَّفِينَةِ وَلَوْ سَائِرَةً وَفِي الهَوْدَجِ كَذَلِكَ بِشَرْطِهِ السَّابِقِ إِنِ اسْتَجْمَعَتْ الصَّلاةُ الشَّرُوطَ كُلَّهَا وَالأَرْكَانَ كُلَّهَا . نَعَمْ يَعْمَلُ بِمُقْتَضَى الْأَعْذارِ العَامَةِ بلا إِعَادَةٍ كَمَا إِذَا انْحَرَفَتِ السَّفِينَةُ عَنِ القِبْلَةِ فَإِنَّهُ يَعُودُ لِلْقِبْلَةِ فَوْرًا وَلَا إِعَادَةً وَيَسْجُدُ لِلسَّهْوِ وَكَذَا إِذَا دَارَتْ رَأْسُهُ لِدَوَرَانِ السَّفِينَةِ فَلَهُ الصَّلَاةُ مِنْ جُلُوسِ وَلَا إِعَادَةَ أَمَّا الأَعْدَارُ النَادِرَةُ كَزَحْمَةٍ مَنَعَتْهُ القِيَامَ فَيُصَلِّى مِنْ جُلُوسٍ وَيُعِيدُ اهـ

[زكري الأنصاري، شيخ الإسلام، هامش فتح الوهاب، ١٣٧/١].

أما الفرض ولو جنازة ومنذورة فلا يصلي على دابة سائرة مطلقًا لأن الاستقرار فيه شرط احتياطًا له، نعم إن خاف من النزول على نفسه أو ماله وإن قل أو فوت رفقته إذا استوحش به كان له أن يصلي الفرض عليها وهي سائرة إلى مقصده ويومئ ويعيد، ويجوز فعله على السائرة والواقفة إن كان لها من يلزم لجامها بحيث لا تتحول عن القبلة إن أتم الأركان،

[ابن حجر الهيتمي، المنهاج القويم شرح المقدمة الحضرمية، صفحة ١١٧]

(فَرْعٌ)
قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَوْ حَضَرَتْ الصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَهُمْ سَائِرُونَ وَخَافَ لَوْ نَزَلَ لِيُصَلِّيَهَا عَلَى الْأَرْضِ إلَى الْقِبْلَةِ انْقِطَاعًا عَنْ رُفْقَتِهِ أَوْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ لَمْ يَجُزْ تَرْكُ الصَّلَاةِ وَإِخْرَاجُهَا عَنْ وَقْتِهَا بَلْ يُصَلِّيهَا عَلَى الدَّابَّةِ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَتَجِبُ الْإِعَادَةُ لِأَنَّهُ عُذْرٌ نَادِرٌ هَكَذَا ذَكَر الْمَسْأَلَةَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ صَاحِبُ التَّهْذِيبِ وَالرَّافِعِيُّ وَقَالَ الْقَاضِي حُسَيْنٌ يُصَلِّي عَلَى الدَّابَّةِ كَمَا ذَكَرْنَا قَالَ وَوُجُوبُ الْإِعَادَةِ يَحْتَمِلُ وَجْهَيْنِ أَحَدَهُمَا لَا تَجِبُ كَشِدَّةِ الْخَوْفِ وَالثَّانِي تَجِبُ لِأَنَّ هَذَا نَادِرٌ

[النووي، المجموع شرح المهذب، ٢٤٢/٣].

--------------------

(فَرْعٌ)
قَالَ أَصْحَابُنَا إذَا صَلَّى الْفَرِيضَةَ فِي السَّفِينَةِ لَمْ يَجُزْ لَهُ تَرْكُ الْقِيَامِ مَعَ الْقُدْرَةِ كَمَا لَوْ كَانَ فِي الْبَرِّ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَجُوزُ إذَا كَانَتْ سَائِرَةً قَالَ أَصْحَابُنَا فَإِنْ كَانَ لَهُ عُذْرٌ مِنْ دَوَرَانِ الرَّأْسِ وَنَحْوِهِ جَازَتْ الْفَرِيضَةُ قَاعِدًا لِأَنَّهُ عَاجِزٌ فَإِنْ هَبَّتْ الرِّيحُ وَحَوَّلَتْ السَّفِينَةَ فَتَحَوَّلَ وَجْهُهُ عَنْ الْقِبْلَةِ وَجَبَ رَدُّهُ إلى القبلة ويبى عَلَى صَلَاتِهِ بِخِلَافِ مَا لَوْ كَانَ فِي الْبَرِّ وَحَوَّلَ إنْسَانٌ وَجْهَهُ عَنْ الْقِبْلَةِ قَهْرًا فَإِنَّهُ تَبْطُلُ صَلَاتُهُ كَمَا سَبَقَ بَيَانُهُ قَرِيبًا قَالَ الْقَاضِي حُسَيْنٌ وَالْفَرْقُ أَنَّ هَذَا فِي الْبَرِّ نَادِرٌ وَفِي الْبَحْرِ غَالِبٌ وَرُبَّمَا تَحَوَّلَتْ فِي سَاعَةٍ وَاحِدَةٍ مِرَارًا

[النووي، المجموع شرح المهذب، ٢٤٣/٣].

*Cabang (Fasal)
Para ulama kami (madzhab syafi'i) berkata: "Jika seseorang melaksanakan shalat fardhu di atas kapal, maka tidak boleh baginya meninggalkan posisi berdiri (qiyam) jika dia mampu, sama seperti jika dia berada di darat." Hal ini juga dikatakan oleh Malik dan Ahmad. Sedangkan menurut Abu Hanifah, diperbolehkan jika kapal tersebut sedang bergerak. Para sahabat kami menambahkan, "Jika seseorang memiliki uzur, seperti pusing atau sejenisnya, maka dia boleh melaksanakan shalat fardhu dalam keadaan duduk, karena dia dianggap sebagai orang yang tidak mampu. Jika angin bertiup dan mengubah arah kapal, menyebabkan dia menghadap selain kiblat, maka wajib baginya untuk mengembalikan arah menghadapnya ke kiblat, namun shalatnya tetap sah. Ini berbeda dengan jika seseorang berada di darat dan menghadap selain kiblat secara paksa, yang akan membatalkan shalatnya, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Qadhi Hussein berkata, "Perbedaannya adalah, kejadian seperti ini di darat jarang terjadi, sementara di laut itu lebih sering terjadi, dan mungkin saja kapal bisa berputar beberapa kali dalam satu jam."

📌Adapun shalat fardhu -dalam pesawat- jika tiba waktunya pada saat perjalanan dan perjalanan tersebut panjang, misalnya jika seseorang tidak bisa shalat sebelum naik pesawat atau lepas landasnya pesawat tersebut, atau setelah mendaratnya pada waktunya sholat, baik dengan jama' taqdim atau ta'khir, maka dalam kondisi seperti ini dia harus shalat untuk hurmat waktu dan menghadap kiblat.

1. Jika dia shalat dengan menyempurnakan rukuk dan sujud, maka ada perbedaan pendapat tentang kewajiban meng-qadha' (mengulang) shalatnya, karena pesawat tidak istiqror (tetap) berada di bumi -melainkan terbang-. Pendapat yang dijadikan pedoman (mu'tamad) adalah bahwa dia wajib meng-qadha' shalatnya.

2. Jika dia shalat tanpa menyempurnakan rukuk dan sujud, atau tanpa menghadap kiblat meskipun menyempurnakan rukuk dan sujud, maka dia wajib meng-qadha' shalatnya tanpa ada perbedaan pendapat. (Taqrirotussadidah)

وإذا كان يصلي في سفينة أو قطار ومثله الهودج والمرقد ونحو ذلك فيجب عليه أن يتم ركوعه وسجوده إن سهل، ويجب عليه استقبال القبلة في جميع الصلاة إن سهل عليه كذلك، وإلا فلا يجب ومثل ذلك : الصلاة في الطائرة، فتجوز مع الصحة صلاة النفل، وأما صلاة الفرض إن تعينت عليه أثناء الرحلة، وكانت الرحلة طويلة ، بأن لم يستطع الصلاة قبل صعودها أو انطلاقها أو بعد هبوطها في الوقت، ولو تقديماً أو تأخيراً، ففي هذه الحالة يجب عليه أن يصلي لحرمة الوقت مع استقبال القبلة.

١ - إن صلى بإتمام الركوع والسجود ففي وجوب القضاء عليه خلاف، لعدم استقرار الطائرة في الأرض، والمعتمد أن عليه القضاء .

٢ - وإن صلى بدون إتمام الركوع والسجود، أو بدون استقبال القبلة مع الإتمام : فيجب عليه القضاء بلا خلاف .

[السيد حسن الكاف، هامش التقريرات السديدة في المسائل المفيدة، صفحة ٢٠١]

(Faedah tambahan)


Maulana Syaikh 'Ali jum'ah -mantan mufti mesir- ditanya mengenai "Menentukan arah Kiblat Di Angkasa", oleh seorang mahasiswa.

•Berikut pertanyaannya :

Saya mahasiswa fakultas arsitektur di Universitas Kairo, dan saya menulis skripsi yang berjudul :

Ekspedisi Ke Planet Mars. Saya ingin mengetahui cara menentukan arah kiblat di angkasa dan di planet selain Bumi, terutama di Mars.

Jawaban Maulana Syaikh Ali Jum'ah:

Astronot yang melakukan perjalanan ke angkasa sudah tidak lagi diharuskan menghadap kiblat dalam salat, karena syarat menghadap kiblat adalah orang yang menghadapnya harus berada di planet Bumi, sesuai firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :

ومن حيث خرجت فول وجهك شطر المسجد الحرام

"Kemanapun kamu keluar maka hadapkanlah wajahmu kepada ka'bah". (Al-Baqarah 149)

Pastinya, kata 'keluar' di sini tidak menunjukkan pada 'naik ke atas menuju langit'.

Maka, orang yang berada di planet selain Bumi dibolehkan menghadap ke arah mana pun, sesuai firman Allah:

ولله المشرق والمغرب فأينما تولوا فثم وجه الله إن واسع عليم

"Timur dan barat adalah milik Allah, maka ke mana pun kamu pergi maka di sana lah kamu menghadap Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Luas dan Mengetahui". Al-Baqarah: 115). Ini berarti bahwa ia tetap wajib salat.

Namun karena ia sudah tidak lagi bisa melihat gerakan matahari pada bumi, maka ia harus memperkirakan waktu masuk dan keluarnya salat waktu Mekah, sesuai jam di bumi, karena Mekah adalah pusat Bumi. Dalil dari hal ini adalah hadis yang dikenal dengan hadis Dajjal.

(Al-Fatawa al-Islamiyah, jilid 33/hal: 14-

144).

📚 *Marji' (rujukan referensi)* :

-Al Minhajul Qowim, Imam Ibnu Hajar.

-Al Majmu' Syarh Al-Muhadzab, Imam An-Nawawi.

-Hamisy Fathul Wahab, Syaikh Zakariyya al-Anshariy.

-Taqrirotussadidah Fii Masailil Mufidah, Sayyid Hasan Al-Kaff.

-Fatawa Islamiyah.

(*_Muhdor Ibn Ahmad Al-Habsyie_*)

> Majelis Ilmu

Posting Komentar

Harap berkomentar yang bisa mendidik dan menambah ilmu kepada kami

Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler