HUKUM TALAK KARENA MENTAATI ORANG TUA DAN HUKUMNYA ORANG TUA IKUT ANDIL URUSAN KELUARGA ( SUAMI ISTRI )
Assalamualaikum Kiai
Deskripsi masalah
Ada pasangan Suami istri yang pada awalnya hidup SAMAWA,Namun selang beberapa tahun terlintas dalam pikiran suami bahkan dalam hatinya merasa berdosa jika tidak mementingkan taat kepada Orang tuanya sehingga ia mentalak istrinya gara-gara lebih condong terhadap orang tuanya ( mementingkan taat kepada orang tuanya dari pada istrinya).
Pertanyaannya.
Bagaimana pandangan Fiqih terhadap Suami yang men talaq istrinya karena lebih memilih berbakti kepada ibu nya sebagaimana dalam deskripsi?
Apakah orang tua boleh mencampuri urusan rumah tangga anaknya dan sejauh mana batasannya?
Mohon jawabannya kiai ustadz 🙏🏻.
Waalaikum salam.
Jawaban.1️⃣
Orang yang arif dan bijaksana adalah orang yang mampu bertindak berdasarkan akal sehat dan logis sehingga dapat bersikap tepat dalam menghadapi setiap keadaan dan peristiwa, serta mampu menyesuaikan atau menempatkan diri dan segala sesuatunya terhadap keadaan yang sedang terjadi dengan adil, baik untuk dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.Dengan kata lain orang yang mampu melakasanakan kewajiban-kewajibannya baik kewajiban dirinya terhadap istrinya atau kewajiban-kewajiban dirinya terhadap orang tuanya dll. ( Memberikan hak-haknya, Adil dan berbuat ihsan ) [ 1 ] ini sangat dianjurkan oleh Agama sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an.
آت ذى القربى حقه يعنى أعط حقه من الصلة والبر وقال فى آية أخر إن الله يأمركم بالعدل والإحسان يعنى بالتوحيد وهو شهاد أن لاإله إلا الله ويأمر بالإحسان يعنى إلى الناس والعفو عنهم وإيتاء ذى القربى يعنى يأمر بصلة الرحم فأمر بثلاثة أشياء فقال عز وجل ( وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغى ) الفحشاء المعاصى والمنكر مالايعرف فى شريعة ولاسنة والبغى الإستطالة على الناس ( يعظكم ) يعنى يأمر كم بهذه الأشياء الثلاثة وينهاكم عن الثلاثة لعلكم تذكرون ) يعنى لكى تتعظوا .
تنبيه الغافلين:ص .٤٨
Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu agar berbuat adil dan berbuat ihsan.
Hal tersebut tentu dapat dilakukan bagi orang yang mampu.Jika tidak mampu menghadapi keduanya/ melaksanakan keduanya ( Hak suami terhadap istri dan hak anak terhadap orang tua ), maka bukanlah harus dengan cara mentalak istrinya, Demi untuk mentaati orang tua, ini bukanlah sebuah alasan. Oleh karena itu sebenarnya banyak alasan yang menjadi pertimbangan pasangan yang bisa memutuskan untuk bercerai hingga terucap kata talak.
Yang diantaranya adalah istri tidak mentaati suami/ durhaka kepada suami, istri selingkuh ini, adalah sebuah alasan, akan tetapi jika hanya lebih mementingkan taat kepada orang tua sehingga terjadi talak ini sebenarnya bukan sebuah masalah yang kemudian dijadikan alasan, mentaati kepada orang tua hukumnya wajib selama bukan kemaksiatan, tetapi jika untuk maksiat tidak boleh ta’at ( لا طاعة لمخلوق في معصيةالخالق), oleh karenanya banyak jalan untuk pengabdian kepada orang tua baik orang tua masih hidup ataupun sudah meninggal. Andaikan ini terjadi Perceraian maka hukumnya tidak boleh bahkan haram berdosa jika istrinya dalam keadaan haid, walaupun talak merupakan hal yang halal namun dibenci oleh Allah. Kecuali orang tuanya benci bahkan tidak menyetujui terhadap istrinya, maka hukumnya boleh. Sebagaimana keterangan berikut:
A .Dalil hadits Rasulullah SAW.
1. Matan Abu Daud [2]
حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ مُعَرِّفِ بْنِ وَاصِلٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ.
Artinya: Kami (Abu Daud) mendapatkan cerita dari Kasir bin Ubaid; Kasir bin Ubaid diceritakan oleh Muhammad bin Khalid dari Muhammad bin Khalid dari Mu’arraf in Washil dari Muharib bin Ditsar; dari Ibnu Umar dari Nabi SAW yang bersabda:”Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian.”
2. Matan Ibnu Majah[3]
حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحِمْصِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْوَلِيدِ الْوَصَّافِيِّ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ الطَّلَاقُ
B. Para Perawi
1. Kasir bin Ubaid (w. 250 H.)
Tingkatan perawi: tepercaya (tsiqah)
2. Muhammad bin Khalid
Tingkatan perawi: dipercaya (shaduq)
3. Mu’arraf bin Washil
Tingkatan perawi: tepercaya (tsiqah)
4. Muharib bin Ditsar (w. 116 H)
Tingkatan perawi: tepercaya (tsiqah)
5. Ibnu Umar (w. 73 H)
Tingkatan perawi: sahabat/tepercaya (tsiqah)
C. Tingkatan Hadis
1. Al-Hakim: sahih
2. Al-Baihaqi: sahih
3. Al-Khatthabi: masyhur
4. Al-Munziri: mursal
5. Al-Albani: dhai’f
6. Abu Hatim: mursal pada Muharib bin Ditsar karena ia tidak menyebutkan dari Ibnu Umar, langsung ke Nabi Muhammad.
D. Asbab al-Wurud
Menurut riwayat yang paling valid, hadis ini berkaitan dengan peristiwa Abdullah bin Umar yang menikahi seorang perempuan yang ia cintai. Namun, sang ayah, Umar bin Khattab tidak menyukai anaknya itu menikahi sang perempuan. Abdullah pun mengadukan hal tersebut kepada Nabi SAW. Nabi SAW lantas mendoakan Abdullah, kemudian bersabda, “Ya, Abdullah, ceraikan istrimu itu!” Akhirnya, Abdullah pun menceraikan sang istri.[4 ]
E. Syarah Hadis
Menurut al-Asqallani perceraian yang dibenci adalah perceraian yang terjadi karena tidak ada sebab yang jelas.[5] Menurut al-Khattabi, maksud dibencinya perceraian itu karena adanya sesuatu hal yang menyebabkan terjadi perceraian tersebut, seperti perlakuan yang buruk dan tidak adanya kecocokan. Jadi yang dibenci bukanlah perceraian itu sendiri, tapi hal lain yang menyebabkan terjadi perceraian. Allah sendiri membolehkan perceraian. Di samping itu, Nabi juga pernah menceraikan beberapa istri beliau, meski ada yang beliau rujuk kembali.[6]
Adapun perceraian, dalam syariat Islam juga terdapat sesuatu yang halal, tapi dibenci. Hal itu seperti seseorang melaksanakan shalat di rumah, padahal tidak ada alasan yang membuatnya tidak bisa shalat di masjid. Begitu pula seperti melaksanakan jual beli di saat berkumandang azan Jum’at. Di sisi lain, setan memang paling menyukai terjadinya perceraian antara suami istri padahal perceraian merupakan sesuatu yang paling dibenci oleh Allah.[7]
Menurut Imam Nawawi, perceraian ada empat macam, yaitu wajib, haram, makruh, dan mandub (sunah).[8]Sedangkan menurut Ibnu Qudamah ada 5
1️⃣Wajib jika pejabat berwenang telah mengutus dua orang juru damai (hakam) untuk mendamaikan, tapi setelah diupayakan ternyata menurut mereka berdua yang terbaik (maslahat) adalah bercerai, maka perceraian adalah wajib.
2️⃣Makruh jika tidak terjadi masalah dalam rumah tangga, tapi salah satu suami atau istri menuntut cerai tanpa ada sebab yang jelas. Inilah yang dimaksud dengan hadis di atas.
3️⃣Haram jika (1) istri dalam keadaan haid sedangkan ia tidak menuntut cerai dengan ganti rugi dan tidak ada permintaan untuk diceraikan; (2) istri dalam keadaan suci dan sudah “digauli” oleh suami namun belum jelas apakah istri hamil atau tidak; (3) jika suami memiliki beberapa orang istri yang telah diatur giliran masing-masing; lantas suami menceraikan salah satu istrinya sebelum ia menunaikan giliran untuk istri tersebut.
4️⃣Mandub jika sang istri tidak bisa menjaga kehormatan dirinya atau salah satu atau dua-duanya merasa tidak bisa menjalankan kewajiban yang telah diatur oleh syara’.
5️⃣.Mubah.Yaitu karena ada hajat yakni karena buruknya akhlak istrinya dan juga pergaulannya, sehingga memudloratkan suaminya tidak bisa mencapai terhadap tujuannya . Yang kelima ini ada pada rentetan ketiga dalam kitab Mughni.
Dalam Umdah al-Qari, diungkapkan perceraian ada dua macam , yaitu sunni dan bid’i.
Perceraian sunni adalah perceraian yang terjadi di saat istri dalam keadaan suci dan selama dalam keadaan suci tersebut, istri tidak pernah disetubuhi oleh suami; serta perceraian itu disaksikan oleh dua orang saksi. Perceraian bid’i adalah perceraian yang terjadi di saat istri dalam keadaan haid; atau dalam keadaan suci tapi sudah pernah disetubuhi; atau tidak disaksikan oleh dua orang saksi.[9]
المغنى ابن قدمة.ص٣٦٣-٣٦٧
[كِتَابُ الطَّلَاقِ] [فَصْلٌ الطَّلَاقُ عَلَى خَمْسَةِ أَضْرُبٍ]
ِ الطَّلَاقُ: حِلُّ قَيْدِ النِّكَاحِ. وَهُوَ مَشْرُوعٌ، وَالْأَصْلُ فِي مَشْرُوعِيَّتِهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ؛ أَمَّا الْكِتَابُ فَقَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى {الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ} [البقرة: ٢٢٩] . وَقَالَ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ} [الطلاق: ١] . وَأَمَّا السُّنَّةُ فَمَا رَوَى «ابْنُ عُمَرَ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَسَأَلَ عُمَرُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ لِيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ تَحِيضَ، ثُمَّ تَطْهُرَ، ثُمَّ إنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ، وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ يَطْلُقَ لَهَا النِّسَاءُ» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. فِي آيٍ وَأَخْبَارٍ سِوَى هَذَيْنِ كَثِيرٍ.
وَأَجْمَعَ النَّاسُ عَلَى جَوَازِ الطَّلَاقِ، وَالْعِبْرَةُ دَالَّةٌ عَلَى جَوَازِهِ، فَإِنَّهُ رُبَّمَا فَسَدَتْ الْحَالُ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ، فَيَصِيرُ بَقَاءُ النِّكَاحِ مَفْسَدَةً مَحْضَةً، وَضَرَرًا مُجَرَّدًا بِإِلْزَامِ الزَّوْجِ النَّفَقَةَ وَالسُّكْنَى، وَحَبْسِ الْمَرْأَةِ، مَعَ سُوءِ الْعِشْرَةِ، وَالْخُصُومَةِ الدَّائِمَةِ مِنْ غَيْرِ فَائِدَةٍ، فَاقْتَضَى ذَلِكَ شَرْعَ مَا يُزِيلُ النِّكَاحَ، لِتَزُولَ الْمَفْسَدَةُ الْحَاصِلَةُ مِنْهُ. (٥٨١٤) فَصْلٌ: وَالطَّلَاقُ عَلَى خَمْسَةِ أَضْرُبٍ؛ وَاجِبٌ، وَهُوَ طَلَاقُ الْمُولِي بَعْدَ التَّرَبُّصِ إذَا أَبَى الْفَيْئَةَ، وَطَلَاقُ الْحَكَمَيْنِ فِي الشِّقَاقِ، إذَا رَأَيَا ذَلِكَ. وَمَكْرُوهٌ، وَهُوَ الطَّلَاقُ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إلَيْهِ. وَقَالَ الْقَاضِي: فِيهِ رِوَايَتَانِ؛ إحْدَاهُمَا: أَنَّهُ مُحَرَّمٌ؛ لِأَنَّهُ ضَرَرٌ بِنَفْسِهِ وَزَوْجَتِهِ، وَإِعْدَامٌ لِلْمَصْلَحَةِ الْحَاصِلَةِ لَهُمَا مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إلَيْهِ، فَكَانَ حَرَامًا، كَإِتْلَافِ الْمَالِ، وَلِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ» . وَالثَّانِيَةُ، أَنَّهُ مُبَاحٌ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «أَبْغَضُ الْحَلَالِ إلَى اللَّهِ الطَّلَاقُ.» وَفِي لَفْظٍ: «مَا أَحَلَّ اللَّهُ شَيْئًا أَبْغَضَ إلَيْهِ مِنْالطَّلَاقِ.» رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَإِنَّمَا يَكُونُ مُبْغَضًا مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إلَيْهِ، وَقَدْ سَمَّاهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حَلَالًا، وَلِأَنَّهُ مُزِيلٌ لِلنِّكَاحِ الْمُشْتَمِلِ عَلَى الْمَصَالِحِ الْمَنْدُوبِ إلَيْهَا، فَيَكُونُ مَكْرُوهًا. وَالثَّالِثُ، مُبَاحٌ، وَهُوَ عِنْدَ الْحَاجَةِ إلَيْهِ لِسُوءِ خُلُقِ الْمَرْأَةِ، وَسُوءِ عِشْرَتِهَا، وَالتَّضَرُّرِ بِهَا مِنْ غَيْرِ حُصُولِ الْغَرَضِ بِهَا. وَالرَّابِعُ، مَنْدُوبٌ إلَيْهِ، وَهُوَ عِنْد تَفْرِيطِ الْمَرْأَةِ فِي حُقُوقِ اللَّهِ الْوَاجِبَةِ عَلَيْهَا، مِثْلُ الصَّلَاةِ وَنَحْوِهَا، وَلَا يُمْكِنُهُ إجْبَارُهَا عَلَيْهَا، أَوْ تَكُونُ لَهُ امْرَأَةٌ غَيْرُ عَفِيفَةٍ. قَالَ أَحْمَدُ: لَا يَنْبَغِي لَهُ إمْسَاكُهَا؛ وَذَلِكَ لِأَنَّ فِيهِ نَقْصًا لِدِينِهِ، وَلَا يَأْمَنُ إفْسَادَهَا لِفِرَاشِهِ، وَإِلْحَاقَهَا بِهِ وَلَدًا لَيْسَ هُوَ مِنْهُ، وَلَا بَأْسَ بِعَضْلِهَا فِي هَذِهِ الْحَالِ، وَالتَّضْيِيقِ عَلَيْهَا؛ لِتَفْتَدِيَ مِنْهُ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ} [النساء: ١٩] .
وَيَحْتَمِلُ أَنَّ الطَّلَاقَ فِي هَذَيْنِ الْمَوْضِعَيْنِ وَاجِبٌ. وَمِنْ الْمَنْدُوبِ إلَيْهِ الطَّلَاقُ فِي حَالِ الشِّقَاقِ، وَفِي الْحَالِ الَّتِي تُحْوِجُ الْمَرْأَةَ إلَى الْمُخَالَعَةِ لِتُزِيلَ عَنْهَا الضَّرَرَ. وَأَمَّا الْمَحْظُورُ، فَالطَّلَاقُ فِي الْحَيْضِ، أَوْ فِي طُهْرٍ جَامَعَهَا فِيهِ، أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ فِي جَمِيعِ الْأَمْصَارِ وَكُلِّ الْأَعْصَارِ عَلَى تَحْرِيمِهِ، وَيُسَمَّى طَلَاقَ الْبِدْعَةِ؛ لِأَنَّ الْمُطَلِّقَ خَالَفَ السُّنَّةَ، وَتَرَكَ أَمْرَ اللَّهِ تَعَالَى وَرَسُولِهِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ} [الطلاق: ١] . وَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «إنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ»
وَفِي لَفْظٍ رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ بِإِسْنَادِهِ عَنْ «ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ تَطْلِيقَةً وَهِيَ حَائِضٌ، ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يُتْبِعَهَا بِتَطْلِيقَتَيْنِ آخِرَتَيْنِ عِنْدَ الْقُرْأَيْنِ، فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَقَالَ: يَا ابْنَ عُمَرَ، مَا هَكَذَا أَمَرَك اللَّهُ؛ إنَّك أَخْطَأْت السُّنَّةَ، وَالسُّنَّةُ أَنْ تَسْتَقْبِلَ الطُّهْرَ، فَتُطَلِّقَ لِكُلِّ قُرْءٍ.» وَلِأَنَّهُ إذَا طَلَّقَ فِي الْحَيْضِ طَوَّلَ الْعِدَّةَ عَلَيْهَا؛ فَإِنَّ الْحَيْضَةَ الَّتِي طَلَّقَ فِيهَا لَا تُحْسَبُ مِنْ عِدَّتِهَا، وَلَا الطُّهْرَ الَّذِي بَعْدَهَا عِنْدَ مَنْ يَجْعَلُ الْأَقْرَاءَ الْحَيْضَ، وَإِذَا طَلَّقَ فِي طُهْرٍ أَصَابَهَا فِيهِ، لَمْ يَأْمَنْ أَنْ تَكُونَ حَامِلًا، فَيَنْدَمَ، وَتَكُونَ مُرْتَابَةً لَا تَدْرِي أَتَعْتَدُّ بِالْحَمْلِ أَوْ الْأَقْرَاءِ؟
[مَسْأَلَةٌ طَلَاقُ السُّنَّةِ]
(٥٨١٥) مَسْأَلَةٌ؛ قَالَ: (وَطَلَاقُ السُّنَّةِ أَنْ يُطَلِّقَهَا طَاهِرًا مِنْ غَيْرِ جِمَاعٍ وَاحِدَةً، ثُمَّ يَدَعَهَا حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا) مَعْنَى طَلَاقِ السُّنَّةِ الطَّلَاقُ الَّذِي وَافَقَ أَمْرَ اللَّهِ تَعَالَى وَأَمْرَ رَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي الْآيَةِ وَالْخَبَرَيْنِ الْمَذْكُورَيْنِ، وَهُوَ الطَّلَاقُ فِي طُهْرٍ لَمْ يُصِبْهَا فِيهِ، ثُمَّ يَتْرُكُهَا حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا وَلَا خِلَافَ فِي أَنَّهُ إذَا طَلَّقَهَا فِي طُهْرٍ لَمْ يُصِبْهَا فِيهِ، ثُمَّ تَرَكَهَا حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا، أَنَّهُ مُصِيبٌ لِلسُّنَّةِ، مُطَلِّقٌ لِلْعِدَّةِ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ بِهَا. قَالَهُ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: طَلَاقُ السُّنَّةِ أَنْ يُطَلِّقَهَا مِنْ غَيْرِ جِمَاعٍ. وَقَالَ فِي قَوْله تَعَالَى {فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ} [الطلاق: ١] . وَقَالَ: طَاهِرًا مِنْ غَيْرِ جِمَاعٍ. وَنَحْوُهُ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَفِي حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ الَّذِي رَوَيْنَاهُ: «لِيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ تَحِيضَ، ثُمَّ تَطْهُرَ، ثُمَّ إنْ شَاءَ أَمْسَكَ، وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ» . فَأَمَّا قَوْلُهُ: ثُمَّ يَدَعَهَا حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا. فَمَعْنَاهُ أَنَّهُ لَا يُتْبِعُهَا طَلَاقًا آخِرَ قَبْلَ قَضَاءِ عِدَّتِهَا، وَلَوْ طَلَّقَهَا ثَلَاثًا فِي ثَلَاثَةِ أَطْهَارٍ، كَانَ حُكْمُ ذَلِكَ حُكْمَ جَمْعِ الثَّلَاثِ فِي طُهْرٍ وَاحِدٍ. قَالَ أَحْمَدُ: طَلَاقُ السُّنَّةِ وَاحِدَةٌ، ثُمَّ يَتْرُكُهَا حَتَّى تَحِيضَ ثَلَاثَ حِيَضٍ. وَكَذَلِكَ قَالَ مَالِكٌ وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَالشَّافِعِيُّ وَأَبُو عُبَيْدٍ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَالثَّوْرِيُّ: السُّنَّةُ أَنْ يُطَلِّقَهَا ثَلَاثًا، فِي كُلِّ قُرْءٍ طَلْقَةٌ. وَهُوَ قَوْلُ سَائِرِ، الْكُوفِيِّينَ وَاحْتَجُّوا بِحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ، حِينَ قَالَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «رَاجِعْهَا، ثُمَّ أَمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ تَحِيضَ، ثُمَّ تَطْهُرَ.» قَالُوا: وَإِنَّمَا أَمَرَهُ بِإِمْسَاكِهَا فِي هَذَا الطُّهْرِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَفْصِلْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الطَّلَاقِ طُهْرٌ كَامِلٌ، فَإِذَا مَضَى وَمَضَتْ الْحَيْضَةُ الَّتِي بَعْدَهُ، أَمَرَهُ بِطَلَاقِهَا، وَقَوْلُهُ فِي حَدِيثِهِ الْآخَرِ: ” وَالسُّنَّةُ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الطُّهْرَ، فَيُطَلِّقَ لِكُلِّ قُرْءٍ “.وَرَوَى النَّسَائِيّ بِإِسْنَادِهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: طَلَاقُ السُّنَّةِ أَنْ يُطَلِّقَهَا تَطْلِيقَةً، وَهِيَ طَاهِرٌ، فِي غَيْرِ جِمَاعٍ، فَإِذَا حَاضَتْ وَطَهُرَتْ، طَلَّقَهَا أُخْرَى، فَإِذَا حَاضَتْ وَطَهُرَتْ طَلَّقَهَا أُخْرَى، ثُمَّ تَعْتَدُّ بَعْدَ ذَلِكَ بِحَيْضَةِ. وَلَنَا، مَا رُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ قَالَ: لَا يُطَلِّقُ أَحَدٌ لِلسُّنَّةِ فَيَنْدَمُ. رَوَاهُ الْأَثْرَمُ. وَهَذَا إنَّمَا يَحْصُلُ فِي حَقِّ مَنْ لَمْ يُطَلِّقْ ثَلَاثًا. وَقَالَ ابْنُ سِيرِينَ: أَنَّ عَلِيًّا كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ قَالَ: لَوْ أَنَّ النَّاسَ أَخَذُوا بِمَا أَمَرَ اللَّهُ مِنْ الطَّلَاقِ، مَا يُتْبِعُ رَجُلٌ نَفْسَهُ امْرَأَةً أَبَدًا، يُطَلِّقُهَا تَطْلِيقَةً، ثُمَّ يَدَعُهَا مَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ أَنْ تَحِيضَ ثَلَاثَةً، فَمَتَى شَاءَ رَاجَعَهَا. رَوَاهُ النَّجَّادُ بِإِسْنَادِهِ.وَرَوَى ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ، بِإِسْنَادِهِ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ قَالَ: طَلَاقُ السُّنَّةِ أَنْ يُطَلِّقَهَا وَهِيَ طَاهِرٌ، ثُمَّ يَدَعَهَا حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا، أَوْ يُرَاجِعَهَا إنْ شَاءَ. فَأَمَّا حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ الْأَوَّلُ، فَلَا حُجَّةَ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهِ جَمْعُ الثَّلَاثِ، وَأَمَّا حَدِيثُهُ الْآخِرُ، فَيَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ بَعْد ارْتِجَاعِهَا، وَمَتَى ارْتَجَعَ بَعْدَ الطَّلْقَةِ ثُمَّ طَلَّقَهَا،
كَانَ لِلسُّنَّةِ عَلَى كُلِّ حَالٍ، حَتَّى قَدْ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَوْ أَمْسَكَهَا بِيَدِهِ لَشَهْوَةٍ، ثُمَّ وَالَى بَيْنَ الثَّلَاثِ، كَانَ مُصِيبًا لِلسُّنَّةِ؛ لِأَنَّهُ يَكُونُ مُرْتَجَعًا لَهَا.
وَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ إذَا ارْتَجَعَهَا، سَقَطَ حُكْمُ الطَّلْقَةِ الْأُولَى، فَصَارَتْ كَأَنَّهَا لَمْ تُوجَدْ، وَلَا غِنَى بِهِ عَنْ الطَّلْقَةِ الْأُخْرَى إذَا احْتَاجَ إلَى فِرَاقِ امْرَأَتِهِ، بِخِلَافِ مَا إذَا لَمْ يَرْتَجِعْهَا؛ فَإِنَّهُ مُسْتَغْنٍ عَنْهَا، لِإِفْضَائِهَا إلَى مَقْصُودِهِ مِنْ إبَانَتِهَا، فَافْتَرَقَا، وَلِأَنَّ مَا ذَكَرُوهُ إرْدَافُ طَلَاقٍ مِنْ غَيْرِ ارْتِجَاعٍ، فَلَمْ يَكُنْ لِلسُّنَّةِ، كَجَمْعِ الثَّلَاثِ فِي طُهْرٍ وَاحِدٍ، وَتَحْرِيمُ الْمَرْأَةِ لَا يَزُولُ إلَّا بِزَوْجٍ وَإِصَابَةٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ، فَلَمْ يَكُنْ لِلسُّنَّةِ، كَجَمْعِ الثَّلَاثِ.
[فَصْلٌ طَلَاق الْبِدْعَةِ]
(٥٨١٦) فَصْلٌ: فَإِنْ طَلَّقَ لِلْبِدْعَةِ، وَهُوَ أَنْ يُطَلِّقَهَا حَائِضًا، أَوْ فِي طُهْرٍ أَصَابَهَا فِيهِ، أَثِمَ، وَوَقَعَ طَلَاقُهُ. فِي قَوْلِ عَامَّةِ أَهْلِ الْعِلْمِ. قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ: لَمْ يُخَالِفْ فِي ذَلِكَ إلَّا أَهْلُ الْبِدَعِ وَالضَّلَالِ. وَحَكَاهُ أَبُو نَصْرٍ عَنْ ابْنِ عُلَيَّةَ، وَهِشَامِ بْنِ الْحَكَمِ، وَالشِّيعَةُ قَالُوا: لَا يَقَعُ طَلَاقُهُ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَمَرَ بِهِ فِي قُبُلِ الْعِدَّةِ، فَإِذَا طَلَّقَ فِي غَيْرِهِ لَمْ يَقَعَ، كَالْوَكِيلِ إذَا أَوْقَعَهُ فِي زَمَنٍ أَمَرَهُ مُوَكِّلُهُ بِإِيقَاعِهِ فِي غَيْرِهِ.
وَلَنَا حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنْ يُرَاجِعَهَا. وَفِي رِوَايَةِ الدَّارَقُطْنِيّ قَالَ: «فَقُلْت: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَرَأَيْت لَوْ أَنِّي طَلَّقْتهَا ثَلَاثًا، أَكَانَ يَحِلُّ لِي أَنْ أُرَاجِعَهَا؟ قَالَ: لَا، كَانَتْ تَبِينُ مِنْك، وَتَكُونُ مَعْصِيَةً.» وَقَالَ نَافِعٌ: وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ طَلَّقَهَا تَطْلِيقَةً، فَحُسِبَتْ مِنْ طَلَاقِهِ، وَرَاجَعَهَا كَمَا أَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. وَمِنْ رِوَايَةِ يُونُسَ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قُلْت لِابْنِ عُمَرَ: أَفَتُعْتَدُّ عَلَيْهِ، أَوْ تُحْتَسَبُ عَلَيْهِ؟ قَالَ: نَعَمْ أَرَأَيْت إنْ عَجَزَ وَاسْتَحْمَقَ، وَكُلُّهَا أَحَادِيثُ صِحَاحٌ. لِأَنَّهُ طَلَاقٌ مِنْ مُكَلَّفٍ فِي مَحَلِّ الطَّلَاقِ، فَوَقَعَ، كَطَلَاقِ الْحَامِلِ، وَلِأَنَّهُ لَيْسَ بِقُرْبِهِ، فَيَعْتَبِرُ لِوُقُوعِهِ مُوَافَقَةَ السُّنَّةِ، بَلْ هُوَ إزَالَةُ عِصْمَةٍ، وَقَطْعُ مِلْكٍ، فَإِيقَاعُهُ فِي زَمَنِ الْبِدْعَةِ أَوْلَى، تَغْلِيظًا عَلَيْهِ، وَعُقُوبَةً لَهُ، أَمَّا غَيْرُ الزَّوْجِ، فَلَا يَمْلِكُ الطَّلَاقَ، وَالزَّوْجُ يَمْلِكُهُ بِمِلْكِهِ مَحَلَّهُ.
[فَصْلٌ مُرَاجَعَة الْمُطَلَّقَة]
(٥٨١٧) فَصْلٌ: وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُرَاجِعَهَا، لَأَمْرِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِمُرَاجَعَتِهَا، وَأَقَلُّ أَحْوَالِ الْأَمْرِ الِاسْتِحْبَابُ، وَلِأَنَّهُ بِالرَّجْعَةِ يُزِيلُ الْمَعْنَى الَّذِي حَرَّمَ الطَّلَاقَ. وَلَا يَجِبُ ذَلِكَ فِي ظَاهِرِ الْمَذْهَبِ. وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ، وَالْأَوْزَاعِيِّ، وَالشَّافِعِيِّ، وَابْنِ أَبِي لَيْلَى، وَأَصْحَابِ الرَّأْيِ. وَحَكَى ابْنُ أَبِي مُوسَى، عَنْ أَحْمَدَ، رِوَايَةً أُخْرَى، أَنَّ الرَّجْعَةَ تَجِبُ. وَاخْتَارَهَا. وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ، وَدَاوُد؛ لِظَاهِرِ الْأَمْرِ فِي الْوُجُوبِ، وَلِأَنَّ الرَّجْعَةَ تَجْرِي مَجْرَى اسْتِبْقَاءِ النِّكَاحِ، وَاسْتِبْقَاؤُهُ هَاهُنَا وَاجِبٌ؛ بِدَلِيلِ تَحْرِيمِ الطَّلَاقِ، وَلِأَنَّ الرَّجْعَةَ إمْسَاكٌ لِلزَّوْجَةِ، بِدَلِيلِ قَوْله تَعَالَى {فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ} [البقرة: ٢٣١] فَوَجَبَ ذَلِكَ كَإِمْسَاكِهَا قَبْلَ الطَّلَاقِ.وَقَالَ مَالِكٌ، وَدَاوُد: يُجْبَرُ عَلَى رَجْعَتِهَا. قَالَ أَصْحَابُ مَالِكٍ: يُجْبَرُ عَلَى رَجْعَتِهَا مَا دَامَتْ فِي الْعِدَّةِ. إلَّا أَشْهَبَ، قَالَ: مَا لَمْ تَطْهُرْ، ثُمَّ تَحِيضُ، ثُمَّ تَطْهُرُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ إمْسَاكُهَا فِي تِلْكَ الْحَالِ، فَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ رَجْعَتُهَا فِيهِ. وَلَنَا، أَنَّهُ طَلَاقٌ لَا يَرْتَفِعُ بِالرَّجْعَةِ، فَلَمْ تَجِبُ عَلَيْهِ الرَّجْعَةُ فِيهِ، كَالطَّلَاقِ فِي طُهْرٍ مَسَّهَا فِيهِ، فَإِنَّهُمْ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الرَّجْعَةَ لَا تَجِبُ. حَكَاهُ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ عَنْ جَمِيعِ الْعُلَمَاءِ. وَمَا ذَكَرُوهُ مِنْ الْمَعْنَى يَنْتَقِضُ بِهَذِهِ الصُّورَةِ.وَأَمَّا الْأَمْرُ بِالرَّجْعَةِ فَمَحْمُولٌ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ؛ لِمَا ذَكَرْنَا. (٥٨١٨)
Sebagaima penjelasan diatas bahwa dalam hal tertentu agama Islam memperbolehkan talak atau cerai dengan alasan yang benar.
Walapun begitu, mempertahankan hubungan baik selama pernikahan harus diperjuangkan oleh kedua belah pihak, jangan sampai terputus.
Sebagaimana yang kami jelaskan mentalak istri karena lebih mementingkan pengabdian dirinya ( suami ) kepada orang tuanya, hal seperti itu sebenarnya bukan sebuah alasan yang tepat, karena banyak jalan untuk mengabdi kepada orang tua. Oleh karena itu penting mengetahui dan memahami hak-hak suami terhadap istri dan juga mengetahui kewajiban-kewaban anak terhadap orang tua, yang diantaranya adalah memberi nafkah .Dengan demikian maka tidak mudah seseorang menjatuhkan talak gara-gara merasa punya beban atau tanggung jawab mengabdi/ mentaati kepada orang tua, pada hal ia juga punya tanggung jawab ( kewajiban-kewajiban) dirinya kepada keluarganya ( istri dan anak-anaknya ), maka disinilah yang kemudian dapat dijadikan bahan pertimbangan, mana yang sebenarnya harus didahulukan.Antara mendahulukan hak dirinya terhadap istrinya atau hak dirinya terhadap orang tuanya.
Maka jika seseorang dihadapkan pada dua kemaslahatan yang harus diutamakan menurut fiqih adalah hak istri dari pada orang tua .hal tersebut jika tidak mampu untuk dilakukan kedua-duanya.
Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah kaidah :
إذا تزاحمت مصلحتان قدم أعلاهما
Jika seseorang dihadapkan pada dua kemaslahan maka utamakanlah yang lebih tinggi nilai keutamaan keutamaannya ( mendahulukan istri) [ 10]
شرح رسالة مختصرة في أصول الفقه
قاعدة المصالح والمفاسد
وَإِذَا تَزَاحَمَتْ مَصْلَحَتَانِ؛ قُدِّمَ أَعْلاَهُمَا، أَوْ مَفْسَدَتَانِ لاَ بُدَّ مِنْ فِعْلِ إِحْدَاهُمَا؛ ارْتُكِبَتْ أَخَفُّهُمَا مَفْسَدَةً.
قال: (وإذا تزاحمت مصلحتان؛ قُدِّمَ أعلاهما أو مفسدتان لا بد من فعل إحداهما؛ ارْتُكِبَ أخفُّهما).
هذه القاعدة تسمى عند العلماء: قاعدة المصالح والمفاسد، وقاعدة المصالح والمفاسد لها ثلاث صور، ذكر الشيخ صورتين، وترك الصورة الثالثة.الصورة الأولى: أن تتزاحم مصلحتان، والتزاحم معناه التعارض بين أمرين لا يمكن الجمع بينهما، فعندنا مصلحتان ولا يمكن الجمع بينهما، ولا بد أن نفعل مصلحة واحدة؛ فما الحكم؟!قال الشيخ: إنه يختار أعلى المصلحتين؛ مثل شخص اجتمع عليه دين ونفقة مستحبة؛ كصدقة، فقضاء الدين مصلحة، والنفقة المستحبة على الفقراء والمساكين مصلحة، فأيهما يُقَدِّمُ؟ يقدم قضاء الدين؛ لأن قضاء الدين واجب، هذا الآن تعارض بين مصلحتين إحداهما واجبة والأخرى مستحبة.طيب.. لو تعارضت مصلحتان واجبتان؛ مثل صلاة نذر وصلاة فرض، يُقدم صلاة الفرض على صلاة النذر؛ لأن الفرض ثبت بأصل الشرع، والنذر أوجبه المكلف على نفسه، وفي النفقة اللازمة للزوجات والأقارب تُقَدَّمُ نفقة الزوجات ثم الأقارب، إذا تعارض عند الزوجة أمر أبويها وأمر زوجها؛ يُقَدَّمُ أمر زوجها؛ لأنه آكد.إذا اجتمعت مصلحتان مسنونتان؛ قُدِّمَ أفضلهما، ويقدم ما فيه نفع متعدٍّ، فلو تعارض عند إنسان طلب علم وصلاة نفل؛ يقدم طلب العلم. تعليم العلم مع صلاة نفل، تعليم العلم، المقصود من هذا: أن الأعلى في المصالح يختلف من مصلحة إلى أخرى.ومن الأدلة على اختيار أعلى المصلحتين: ما ورد في الحديث الصحيح قول النبي -صلى الله عليه وسلم- كما في حديث ابن الزبير(1) عن عائشة قَالَ: «يَا عَائِشَةُ! لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ» قال ابن الزبير: بِكُفْرٍ، « لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ، فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ: بَابٌ يَدْخُلُ مِنْهُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُونَ»(2).
فهنا عندنا مصلحتان: المصلحة الأول: نقض الكعبة وجعل لها بابين، وإذا كان لها بابان يكون أخفَّ وأسهل من كون الناس يدخلون ويخرجون مع باب واحد، والمصلحة الثانية: تأليف قلوب قريش؛ لأنهم لا يزالون حدثاء عهد بكفر، فماذا قدم الرسول -صلى الله عليه وسلم- من المصلحتين؟ قدم المصلحة الثانية، وهي تأليف القلوب.
الصورة الثانية: إذا اجتمعت مفسدتان؛ ارتكب أخفهما، ومن أدلة هذا وأمثلته: ما ورد في الحديث الصحيح حديث أنس -رضي الله عنه- قال: جاء أعرابي فبال في المسجد فزجره الناس، فنهاهم النبي -صلى الله عليه وسلم-، فلما قضى بوله أمر بذنوب من ماء فأريق عليه(3).
البول في المسجد مفسدة، والاستمرار على البول مفسدة، والصحابة -رضي الله عنهم- أرادوا أن يقطعوا على الرجل بوله، يعني أرادوا أن لا يستمر البول. والرسول -صلى الله عليه وسلم- أراد أن يستمر البول.
إذن: البول في المسجد مفسدة في حد ذاتها، واستمرار البول مفسدة، فأراد الرسول -صلى الله عليه وسلم- أن يقضوا على الاستمرار، فنَهوا هذا الرجل لأجل أن يقوم ويُكمل بوله خارجَ المسجد، لكن الرسول -صلى الله عليه وسلم- نهاهم. لماذا؟ لأن قطع البول مفسدته أعظم من مفسدة الاستمرار، والبول في المسجد، وكونه يستمر على بوله هذا أهون، وكونه يقوم ويخرج هذا أعظم، فارْتُكِبَتْ أدنى المفسدتين وأخف المفسدتين؛ لأنه إذا قام سيكون هناك ثلاث مفاسد:
المفسدة الأولى: حبس البول، والإنسان إذا أراد أن يبول وحَبَسَ البول هذا مُضِرّ.المفسدة الثانية: أنه سينجس أكبر بقعة من المسجد، وبوله كانت بقعة معينة ما يعني تزيد على بضعة من السنتيمترات، لكن إذا قاموا وطردوه سيكون هناك شيء من البول يخرج هذه مفسدة ثانية.المفسدة الثالثة: أن ثيابه ستتنجس، لكن إذا بقي البول بالمسجد حصل ستتلاشى المفاسد هذه.إذن: الرسول -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا نهاهم أراد ارتكاب أدنى المفسدتين في مقابل أعلاهما.
الصورة الثالثة: إذا تقابلت مصلحة ومفسدة وكانت المفسدة أعظم.. انظر الآن الصورة الأولى عندنا مصلحتان، والصورة الثانية عندنا مفسدتان، والصورة الثالثة عندنا مصلحة ومفسدة، ولكن المفسدة أعظم، فما الحكم؟ يُقدم دفع المفسدة ويُترك تحقيق المصلحة؛ لأن درء المفاسد مقدم على جلْب المصالح.ومن أدلة هذا قول الله -تعالى: ﴿ وَلاَ تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ﴾(4)، سبوا آلهة المشركين هذه مصلحة، وهي تحقير دينهم وعبادتهم، وسب الله -تعالى- هذه مفسدة، ولما كان سيترتب على هذه المصلحة التي هي سب آلهة المشركين سيترتب عليها مفسدة وهي سب الله -تعالى- تُركت هذه المصلحة، قال -تعالى: ﴿ وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ﴾.
ومن الأمثلة على هذا ما ورد من زَوَّارَات القبور(5)، فزيارة القبور للنساء فيها مصلحة، وهي الاتعاظ ولكن فيها مصلحة أعظم وهي مفسدة فتنة الأحياء من جهة، وإيذاء الأموات من جهة أخرى، فقُدِّمَ درء المفسدة على جلب المصلحة.
ومن الأمثلة أيضًا منْع الجار من أن يَتَصَرَّفَ في ملكه إذا أَدَّى إلى الإضرار بجاره، فكون الجار يتصرف في بيته هذه مصلحة، ولكن كونه يضر الجار هذه مفسدة.يعني لو أن إنسانا يبيع الغنم، وقال: الحوش بعيد عني، وسأجعل الغنم عندي بالبيت، فوضعهم في بيته، وبجانبه جدار جاره، كونه الآن قَرَّبَ الغنم له في بيته مصلحة له، ولكن جاره تأذى من رائحة الغنم هذه مفسدة أيهما الذي يُقَدِّمُ؟ يُقدم درء المفسدة، نكتفي بهذا القدر والله -سبحانه وتعالى- أعلم.
يسأل أحد الإخوة؛ يقول: كيف نجمع بين قاعدة “الوسائل لها أحكام المقاصد” وبين قاعدة “الغاية لا تبرر الوسيلة”؟
أولا: العلماء يفرقون بين الوسيلة وبين الذريعة، وقد ذكرني السؤالُ، فقالوا: الوسيلة هي ما توصل إلى المقصود قطعا أو ظنا، والذريعة قد لا تُوصل إلى المقصود.المثال الذي يوضح: مصاحبة شخص منحرف أو مصادقة ومحبة شخص منحرف، أيهما أبلغ في التأثر؟ المصادقة والمحبة أبلغ في التأثر؛ إذن: نقول: المصادقة هذه وسيلة، ومجرد مصاحبة بطريق مثلا هذه تعتبر ذريعة.فالقول هنا بأن الغاية تبرر الوسيلة هذا عكس للقاعدة التي ذكرها العلماء؛ لأن العلماء ما يقولون: المقاصد لها أحكام الوسائل. إذن لا يُنظر إلى الغاية بحيث تبرر الوسيلة أو ما تبررها؛ وإنما يُنظر إلى الوسيلة نفسها هل تُؤدي إلى هذا المقصود أو لا.ثم إن قضية الغاية تبرر الوسيلة قد يُستدل بهذا على التطرق إلى الأمور المحرمة، بينما قضية الوسائل لها أحكام المقاصد هذه تَمنع وُلوجَ هذا الباب، هذا الفرق بينهما.يقول
أيضًا: هل الوسائل لها أحكام المقاصد على إطلاقها؟ لأننا نرى أن الوفاء بنذر الطاعة واجب مع أن وسيلته -وهو النذر- مكروهة، فما توجيهكم؟
مسألة النذر هذه مسألة فيها خلاف بين العلماء، هو سأل عن النذر؟
أي نعم.هذه فيها خلاف بين العلماء هل الوفاء بالنذر واجب أو مستحب أو محرم؟
المسألة فيها خلاف بين أهل العلم، لكن على القول بأن ابتداء النذر، فالوفاء بالنذر واجب في الطاعة، لكن ابتداء النذر من أهل العلم من قال: “إنه مكروه”، ومن أهل العلم من قال: “إنه مستحب”، ومن أهل العلم من قال: “إنه محرم”.فالأقوال ثلاثة في ابتداء النذر وهذا يُشكل على هذه القاعدة فعلاً؛ لأنه على القول بأن ابتداء النذر مكروه، كيف يصير الوفاء بالنذر واجبا؟! هذا يعتبره العلماء مستثنى من القاعدة، والسبب في هذا أنه ورد أحاديث تنهى عن النذر؛ كما في حديث ابن عمر أن النبي -صلى الله عليه وسلم- نَهى عن النذر وقال: « إِنَّهُ لاَ يَأْتِي بِخَيْرٍ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ»(6)، وجاءت أدلة أخرى في المقابل توجب الوفاء بالنذر.فالحاصل من هذا أن القاعدة ليست على إطلاقها بالنسبة لمسألة النذر، ولهذا العلماء قالوا: “إن مسألة النذر تُشْكِلُ؛ كيف يُنهى عن الشيء، ثم يصير الوفاء به واجبا؟!
(1) عبد الله بن الزبير بن العوام بن خويلد بن أسد بن عبد العزي، القرشي، الأسدي. أبوه حواري رسول الله -صلى الله عليه وسلم-، وأمه بنت الصديق، وجدته صفية عمة رسول الله -صلى الله عليه وسلم-، وعمة أبيه خديجة بنت خويلد، وهو أول مولود ولد للمهاجرين بعد الهجرة. حنكه النبي -صلى الله عليه وسلم- وسماه باسم جده، وكناه بكنيته، وأحد من وَلِيَ الخلافة. قُتل -رضي الله عنه- في جمادى الأولى سنة ثلاث وسبعين من الهجرة. انظر: أسد الغابة (3/138 ترجمة 2947)، الإصابة (4/89 ترجمة 4685).
(2) متفق عليه: أخرجه البخاري: كتاب العلم، باب من ترك بعض الاختيار مخافة أن يقصر فهم بعض الناس عنه فيقعوا في أشد منه (126)، واللفظ له، مسلم: كتاب الحج ، باب نقض الكعبة وبنائها (1333).
(3) متفق عليه: أخرجه البخاري: كتاب الوضوء، باب ترك النبي والناس الأعرابي حتى فرغ من بوله في المسجد (219، 221، 6025)، ومسلم: كتاب الطهارة، باب: وجوب غسل البول وغيره من النجاسات إذا حصلت في المسجد وأن الأرض تطهر بالماء من غير حاجة إلى حفرها (284، 285) بنحوه من حديث أنس.
(4) الأنعام: 108.
(5) صحيح:أحمد في المسند (8449، 8452، 86
الفقه
Begitu juga halnya keterangan dalam sebuah kaidah.
مالايدرك كله لايترك كله
Sesuatu yang tidak bisa dicapai semuanya( tidak bisa dilakukan semuanya) maka jangan tinggalkan semuanya. Artinya jika seseorang tidak mampu melakukan semuanya ( kewajiban suami kepada istri dan kewajiban suami kepada orang tuanya ) maka jangan tinggal semuanya.Artinya lakukan salah satunya.dan tinggalkan sebagian yang lain.hal tersebut jika tidak mampu.
Contoh
Bila tidak bisa memenuhi untuk semuanya maka nafaqah isteri didahulukan.[11]
Ta’bir dari kitab Raudhah 9/93:
الفصل الرابع في ازدحام الآخذين فإذا اجتمع على الشخص الواحد محتاجون ممن تلزمه نفقتهم نظر إن وفى ماله أو كسبه بنفقتهم فعليه نفقة الجميع قريبهم وبعيدهم وإن لم يفضل عن كفاية نفسه إلا نفقة واحد قدم نفقة الزوجة على نفقة الأقارب هذا أطبق عليه الأصحاب لأن نفقتها آكد فإنها لا تسقط بمضي الزمان ولا بالإعسار
Juga dalam syarah Muslim, linnawawi 3/437: [12]
( بَاب الِابْتِدَاء فِي النَّفَقَة بِالنَّفْسِ ثُمَّ أَهْلِهِ ثُمَّ الْقَرَابَة ) فِيهِ حَدِيث جَابِر ( أَنَّ رَجُلًا أَعْتَقَ عَبْدًا لَهُ عَنْ دُبُرٍ فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَلَك مَال غَيْره ؟ فَقَالَ : لَا . فَقَالَ : مَنْ يَشْتَرِيهِ مِنِّي ؟ فَاشْتَرَاهُ نُعَيْم بْن عَبْد اللَّه الْعَدَوِيُّ بِثَمَانِمِائَةِ دِرْهَم ، فَجَاءَ بِهَا رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَفَعَهَا إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ : اِبْدَأْ بِنَفْسِك فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ؛ فَإِنْ فَضَلَ شَيْء فَلِأَهْلِك ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِك شَيْء فَلِذِي قَرَابَتك ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ قَرَابَتك شَيْء فَهَكَذَا وَهَكَذَا يَقُول فَبَيْن يَدَيْك ، وَعَنْ يَمِينك وَعَنْ شِمَالِك ) .فِي هَذَا الْحَدِيث فَوَائِد مِنْهَا : الِابْتِدَاء فِي النَّفَقَة بِالْمَذْكُورِ عَلَى هَذَا التَّرْتِيب
Tersebut dalam Hasyiyah Bujairimi ‘alal Iqna’ 11/343-345: [13 ]
نَفَقَةُ الْقَرِيبِ وَالْمُرَادُ بِهِ الْأَصْلُ وَالْفَرْعُ
وَلِأَنَّ نَفَقَةَ الزَّوْجَةِ أَهَمُّ مِنْ نَفَقَةِ الْقَرِيبِ مِنْ جِهَةِ أَنَّهَا تُقَدَّمُ عَلَيْهَا
إعانة الطالبين : أو له محتاجون من أصول وفروع ولم يقدر على كفايتهم قدم نفسه ثم زوجته وإن تعددت، ثم الاقرب فالاقرب.نعم، لو كان له أب وأم وابن قدم الابن الصغير ثم الام ثم الاب ثم الولد الكبير.(قوله: أو له) أي من أيسر.وقوله محتاجون من أصول وفروع: أي وغيرهما ممن تلزمه نفقته كزوج وخادمها بدليل قوله بعد ثم زوجته.وعبارة التحفة: ومن له محتاجون من أصوله وفروعه أو أحدهما مع زوجة وضاق موجوده عن الكل.اه (قوله: قدم نفسه) أي للحديث إبدأ بنفسك الخ.
وقوله ثم زوجته: أي لأن نفقتها آكد لانها لا تسقط بغناها ولا بمضي الزمان، ولانها وجبت عوضا والنفقة على القريب مواساة.قال في التحفة: ومر أن مثل الزوجة خادمها وأم ولده.اه.
وقوله وإن تعددت أي الزوجة فيقدم المتعدد من الزوجات على بقية الاقارب (قوله: ثم الاقرب فالاقرب) أي ثم قدم الأقرب فالأقرب من أصوله وفروعه فيقدم الاب على الجد والابن على ابن الابن (قوله: نعم لو كان الخ) هذا مفهوم قوله قدم الاقرب فالاقرب: أي فإن استووا في القرب فالحكم ما ذكره بقوله قدم الخ، فلو ذكره لا على وجه الاستدراك بل على وجه المفهوم لكان أولى.
وقوله: الابن الصغير، ويقدم بالرضيع والمريض على غيره (قوله: ثم الأب) قال في التحفة الاوجه ان الاب المجنون مستو مع الولد الصغير أو المجنون ويقدم من اختص من أحد مستويين قربا بمرض أو ضعف، كما تقدم، بنت ابن على ابن بنت لضعفها وإرثها وأبو أب على أبي أم لارثه وجد أو ابن ابن زمن على الأب أو ابن غير زمن، ولو استوى جمع من سائر الوجوه وزع ما يجده عليهم إن سد مسدا من كل وإلا أقرع.اه.
بتصرف (قوله: ثم الولد الكبير) أي العاقل
Referensi:Tuhfatul muhtaj (14)
تحفة المحتاج :
( أو )
له ( محتاجون ) من أصوله وفروعه ، أو أحدهما مع زوجة وضاق موجوده عن الكل ( يقدم ) نفسه ، ثم ( زوجته ) ، وإن تعددت ؛ لأن نفقتها آكد لالتحاقها بالديون ، ومر ما يؤخذ منه إن مثلها خادمها وأم ولده ( ثم ) بعد الزوجة يقدم ( الأقرب ) فالأقرب
Dengan demikian tidak berdosa jika anak yang telah berkeluarga (ber istri) mengutamakan isrtrinya dalam memberikan nafkah atau yang lainnya dari pada orang tuanya ( ibunya ). Akan tetapi yang lebih utama bagaimana seorang anak selalu dapat memberikan kekegembiraan terhadap hati ibunya ( dengan mengutamakannya ), walaupun yang seharunya istri yang harus ditarjih (diunggulkan) maka sepantasnya seorang anak tidak menapakkan dalam hal mengutamakan istrinya. Dengan kata lain utamakan dzahirnya dalam pandangan ibunya dari pada istrinya, karena itu dapat mengembirakan terhadap hati ibunya.[ 15 ]
Referensi :
فتوى النواوى المسمى المسائل المنثورة ص: ١٥٠
لايأثم بذلك إذا قام بكفاية الأم إن كانت ممن يلزمه بكفايتها، لكن الأفضل أن يستطيب قلب الأم وأن يفضلها، وإن كان لابد من ترجيح الزوجة فينبغى أن يخفيه عن الأم.
Akan tetapi jika seorang anak menampakan diri dalam hal mengutamakan terhadap istrinya dalam pandangan ibunya sehingga dapat mengakibatkan sedih bahkan murka ibunya, maka dalam hal ini tidak boleh bahkan Allah dan para malaikat dan sekalian manusia akan melaknatnya. Sebagaiman Al-Qishah shahabat “Al-Qomah”.
Referensi :
إرشاد العباد ص: ٩٦
روي أن علقمة كان كثير الاجتهاد في طاعة الله ، في الصلاة والصوم والصدقة ، فمرض واشتد مرضه ، فأرسلت امرأته إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن زوجي علقمة في النزاع فأردت أن أعلمك يارسول الله بحاله . فأرسل النبي صلى الله عليه وسلم : عماراً وصهيباً وبلالاً وقال امضوا إليه ولقنوه الشهادة ، فمضوا إليه ودخلوا عليه فوجدوه في النزع الأخير، فجعلوا يلقنونه لا إله إلا الله ، ولسانه لاينطق بها ، فأرسلوا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم يخبرونه أنه لا ينطق لسانه بالشهادة فقال النبي صلى الله عليه وسلم : هل من أبويه من أحد حيّ ؟ قيل : يارسول الله أم كبيرة السن فأرسل إليها رسول الله صلى الله عليه وسلم وقال للرسول : قل لها إن قدرت على المسير إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وإلاّ فقري في المنزل حتى يأتيك . قال : فجاء إليها الرسول فأخبرها بقول رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت : نفسي لنفسه فداء أنا أحق بإتيانه . فتوكأت ، وقامت على عصا ، وأتت رسول الله صلى الله عليه وسلم، فسلَّمت فردَّ عليها السلام وقال: يا أم علقمة أصدقيني وإن كذبتيني جاء الوحي من الله تعالى : كيف كان حال ولدك علقمة ؟ قالت : يارسول الله كثير الصلاة كثير الصيام كثير الصدقة . قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: فما حالك ؟ قالت : يارسول الله أنا عليه ساخطة ، قال ولما ؟ قالت : يارسول الله كان يؤثر علىَّ زوجته ، ويعصيني ، فقال: رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن سخط أم علقمة حجب لسان علقمة عن الشهادة ثم قال: يابلال إنطلق واجمع لي حطباً كثيراً ، قالت: يارسول الله وماتصنع؟ قال : أحرقه بالنار بين يديك . قالت : يارسول الله ولدى لايحتمل قلبي أن تحرقه بالنار بين يدي . قال ياأم علقمة عذاب الله أشد وأبقى ، فإن سرك أن يغفر الله له فارضي عنه ، فوالذي نفسي بيده لا ينتفع علقمة بصلا ته ولا بصيامه ولا بصدقته ماد مت عليه ساخطة ، فقالت : يارسول الله إني أشهد الله تعالى وملا ئكته ومن حضرني من المسلمين أني قد رضيت عن ولدي علقمة . فقال : رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنطلق يابلال إليه انظر هل يستطيع أن يقول لا إله إلا الله أم لا ؟ فلعل أم علقمة تكلمت بما ليس في قلبها حياءاً مني ، فانطلق بلا ل فسمع علقمة من داخل الدار يقول لا إله إلا الله . فدخل بلال وقال : ياهؤلاء إن سخط أم علقمة حجب لسانه عن الشهادة وإن رضاها أطلق لسانه ، ثم مات علقمة من يومه ، فحضره رسول الله صلى الله عليه وسلم فأمر بغسله وكفنه ثم صلى عليه ، وحضر دفنه . ثم قال (ص) : على شفير قبره فقال: (يا معشر المهاجرين والأنصار من فضل زوجته على أمه فعليه لعنة الله وملائكته والناس أجمعين، لا يقبل الله منه صرفاً ولا عدلاً إلا أن يتوب إلى الله عز وجل، ويحسن إليها، ويطلب رضاها فرضى الله فى رضاها وسخط الله فى سخطها.
هاكذا ياأخى جعل الله لنا من الذي فضل أمه عن زوجته. آمين
Konon dikisahkan bahwa pada zaman Rasulullah ada seorang pemuda yang bernama Alqamah. Dia seorang pemuda yang giat beribadah, rajin shalat, banyak puasa dan suka bersedekah. Suatu ketika dia sakit keras, maka istrinya mengirim utusan kepada Rasulullah untuk memberitahukan kepada beliau akan keadaan Alqamah. Maka, Rasulullahpun mengutus Ammar bin Yasir, Shuhaib ar-Rumi dan Bilal bin Rabah untuk melihat keadaannnya. Beliau bersabda, “Pergilah ke rumah Alqamah dan talqin-lah untuk mengucapkan La Ilaha Illallah ”Akhirnya mereka berangkat kerumahnya, ternyata saat itu Alqamah sudah dalam keadaan naza’, maka segeralah mereka men-talqin-nya, namun ternyata lisan Alqamah tidak bisa mengucapkan La ilaha illallah.Langsung saja mereka laporkan kejadian ini pada Rasulullah.Maka Rasulullah pun bertanya, “Apakah dia masih mempunyai kedua orang tua?”Ada yang menjawab, “Ada wahai Rasulullah, dia masih mempunyai seorang ibu yang sudah sangat tua renta.”Maka Rasulullah mengirim utusan untuk menemuinya, dan beliau berkata kepada utusan tersebut, “Katakan kepada ibunya Alqamah, ‘Jika dia masih mampu untuk berjalan menemui Rasulullah maka datanglah, namun kalau tidak, maka biarlah Rasulullah yang datang menemuimu.’”
Tatkala utusan itu telah sampai pada ibunya Alqamah dan pesan beliau itu disampaikan, maka dia berkata, “Sayalah yang lebih berhak untuk mendatangi Rasulullah.”Maka, dia pun memakai tongkat dan berjalan mendatangi Rasulullah. Sesampainya di rumah Rasulullah, dia mengucapkan salam dan Rasulullah pun menjawab salamnya.Lalu Rasulullah bersabda kepadanya, “Wahai ibu Alqamah, jawablah pertanyaanku dengan jujur, sebab jika engkau berbohong, maka akan datang wahyu dari Allah yang akan memberitahukan kepadaku, bagaimana sebenarnya keadaan putramu Alqamah?”Sang ibu menjawab, “Wahai Rasulullah, dia rajin mengerjakan shalat, banyak puasa dan senang bersedekah.”Lalu Rasulullah bertanya lagi, “Lalu apa perasaanmu padanya?”Dia menjawab, “Saya marah kepadanya Wahai Rasulullah.”Rasulullah bertanya lagi, “Kenapa?”Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, dia lebih mengutamakan istrinya dibandingkan saya dan diapun durhaka kepadaku.” Maka, Rasulullah bersabda, “Sesungguhny,a kemarahan sang ibu telah menghalangi lisan Alqamah, sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat.”Kemudian beliau bersabda, “Wahai Bilal, pergilah dan kumpulkan kayu bakar yang banyak.”Si ibu berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang akan engkau perbuat?” Beliau menjawab, “Saya akan membakarnya dihadapanmu.”Dia menjawab, “Wahai Rasulullah , saya tidak tahan kalau engkau membakar anakku dihadapanku.”Maka, Rasulullah menjawab, “Wahai Ibu Alqamah, sesungguhnya adzab Allah lebih pedih dan lebih langgeng, kalau engkau ingin agar Allah mengampuninya, maka relakanlah anakmu Alqamah, demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, shalat, puasa dan sedekahnya tidak akan memberinya manfaat sedikitpun selagi engkau masih marah kepadanya,” Maka dia berkata, “Wahai Rasulullah, Allah sebagai saksi, juga para malaikat dan semua kaum muslimin yang hadir saat ini, bahwa saya telah ridha pada anakku Alqamah”.Rasulullah pun berkata kepada Bilal, “Wahai Bilal, pergilah kepadanya dan lihatlah apakah Alqamah sudah bisa mengucapkan syahadat ataukah belum, barangkali ibu Alqamah mengucapkan sesuatu yang bukan berasal dari dalam hatinya, barangkali dia hanya malu kepadaku.” Maka, Bilal pun berangkat, ternyata dia mendengar Alqamah dari dalam rumah mengucapkan La Ilaha Illallah. Maka, Bilal pun masuk dan berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kemarahan ibu Alqamah telah menghalangi lisannya sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat, dan ridhanya telah menjadikanya mampu mengucapkan syahadat.”
Kemudian, Alqamah pun meninggal dunia saat itu juga. Maka, Rasulullah melihatnya dan memerintahkan untuk dimandikan lalu dikafani, kemudian beliau menshalatkannya dan menguburkannya, Lalu, di dekat kuburan itu beliau bersabda, “Wahai sekalian kaum Muhajirin dan Anshar, barangsiapa yang melebihkan istrinya daripada ibunya, dia akan mendapatkan laknat dari Allah, para malaikat dan sekalian manusia. Allah tidak akan menerima amalannya sedikitpun kecuali kalau dia mau bertobat dan berbuat baik pada ibunya serta meminta ridhanya, karena ridha Allah tergantung pada ridhanya dan kemarahan Allaoh tergantung pada kemarahannya.” [ 16 ] Itulah sekilas al-Qisah Al-Qomah semuga menjadi suatu dorangan untuk selalu berbuat baik dan mengutamakan orang tua. Aamiin..
Jawaban.no.2️⃣
Boleh hukumnya orang tua ikut andil atau ikut campur urusan keluarga manaka terdapat masalah /perselisihan antara suami istri, sebatas suami istri tidak mampu untuk memecahkan suatu masalah . Akan tetapi keikut sertaan orang tua tersebut dalam rangka untuk tujuan kemaslahatan atau meperbaiki ( menjadikan solusi terbaik ) untuk kemaslahatan anaknya dengan cara mengutus perwakilan /orang yang sholeh yang terpercaya .Hal ini berdasarkan firman Allah. [ 17 ]
تفسير القرطبى سورة النساء : ٣٥
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا (35)
قوله تعالى : وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلاحا يوفق الله بينهما إن الله كان عليما خبيرا
فيه خمس مسائل :
الأولى : قوله تعالى وإن خفتم شقاق بينهما قد تقدم معنى الشقاق في ” البقرة ” . فكأن كل واحد من الزوجين يأخذ شقا غير شق صاحبه ، أي ناحية غير ناحية صاحبه . والمراد إن خفتم شقاقا بينهما ؛ فأضيف المصدر إلى الظرف كقولك : يعجبني سير الليلة المقمرة ، وصوم يوم عرفة . وفي التنزيل : بل مكر الليل والنهار . وقيل : إن ” بين ” أجري مجرى الأسماء وأزيل عنه الظرفية ؛ إذ هو بمعنى حالهما وعشرتهما ، أي وإن خفتم تباعد عشرتهما وصحبتهما فابعثوا . وخفتم على الخلاف المتقدم . قال سعيد بن جبير : الحكم أن يعظها أولا ، فإن قبلت وإلا هجرها ، فإن هي قبلت وإلا ضربها ، فإن هي قبلت وإلا بعث الحاكم حكما من أهله وحكما من أهلها ، فينظران ممن الضرر ، وعند ذلك يكون الخلع . وقد قيل : له أن يضرب قبل الوعظ . والأول أصح لترتيب ذلك في الآية .
الثانية : والجمهور من العلماء على أن المخاطب بقوله : ” وإن خفتم ” الحكام والأمراء . وأن قوله : إن يريدا إصلاحا يوفق الله بينهما يعني الحكمين ؛ في قول ابن عباس ومجاهد وغيرهما . أي إن يرد الحكمان إصلاحا يوفق الله بين الزوجين . وقيل : المراد الزوجان ؛ أي إن يرد الزوجان إصلاحا وصدقا فيما أخبرا به الحكمين يوفق الله بينهما . وقيل : الخطاب للأولياء .
يقول : إن خفتم أي علمتم خلافا بين الزوجين فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها والحكمان لا يكونان إلا من أهل الرجل والمرأة ؛ إذ هما أقعد بأحوال الزوجين ، ويكونان من أهل العدالة وحسن النظر والبصر بالفقه . فإن لم يوجد من أهلهما من يصلح لذلك فيرسل من غيرهما عدلين عالمين ؛ وذلك إذا أشكل أمرهما ولم يدر ممن الإساءة منهما . فأما إن عرف الظالم فإنه يؤخذ منه الحق لصاحبه ويجبر على إزالة الضرر . ويقال : إن الحكم من أهل الزوج يخلو به ويقول له : أخبرني بما في نفسك أتهواها أم لا حتى أعلم مرادك ؟ فإن قال : لا حاجة لي فيها خذ لي منها ما استطعت وفرق بيني وبينها ، فيعرف أن من قبله النشوز . وإن قال : إني أهواها فأرضها من مالي بما شئت ولا تفرق بيني وبينها ، فيعلم أنه ليس بناشز . ويخلو الحكم من جهتها بالمرأة ويقول لها : أتهوين زوجك أم لا ؛ فإن قالت : فرق بيني وبينه وأعطه من مالي ما أراد ؛ فيعلم أن النشوز من قبلها . وإن قالت : لا تفرق بيننا ولكن حثه على أن يزيد في نفقتي ويحسن إلي ، علم أن النشوز ليس من قبلها . فإذا ظهر لهما الذي كان النشوز من قبله يقبلان عليه بالعظة والزجر والنهي ؛ فذلك قوله تعالى : فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها .بن سيرين عن عبيدة في هذه الآية وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها قال : جاء رجل وامرأة إلى علي مع كل واحد منهما فئام من الناس فأمرهم فبعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها ، وقال للحكمين : هل تدريان ما عليكما ؟ عليكما إن رأيتما أن تفرقا فرقتما . فقالت المرأة : رضيت بكتاب الله بما علي فيه ولي . وقال الزوج : أما الفرقة فلا . فقال علي : كذبت ، والله لا تبرح حتى تقر بمثل الذي أقرت به . وهذا إسناد صحيح ثابت روي عن علي من وجوه ثابتة عن ابن سيرين عن عبيدة ؛ قاله أبو عمر . فلو كانا وكيلين أو شاهدين لم يقل لهما : أتدريان ما عليكما ؟ إنما كان يقول : أتدريان بما وكلتما ؟ وهذا بين . احتج أبو حنيفة بقول علي رضي الله عنه للزوج : لا تبرح حتى ترضى بما رضيت به . فدل على أن مذهبه أنهما لا يفرقان إلا برضا الزوج ، وبأن الأصل المجتمع عليه أن الطلاق بيد الزوج أو بيد من جعل ذلك إليه . وجعله مالك ومن تابعه من باب طلاق السلطان على المولى والعنين .
ندبت إلى ذلك فما أجابني إلى بعث الحكمين عند الشقاق إلا قاض واحد ، ولا بالقضاء باليمين مع الشاهد إلا آخر ، فلما ملكني الله الأمر أجريت السنة كما ينبغي . ولا تعجب لأهل بلدنا لما غمرهم من الجهالة ، ولكن اعجب لأبي حنيفة ليس للحكمين عنده خبر ، بل اعجب مرتين للشافعي فإنه قال : الذي يشبه ظاهر الآية أنه فيما عم الزوجين معا حتى يشتبه فيه حالاهما . قال : وذلك أني وجدت الله عز وجل أذن في نشوز الزوج بأن يصطلحا وأذن في خوفهما ألا يقيما حدود الله بالخلع وذلك يشبه أن يكون برضا المرأة . وحظر أن يأخذ الزوج مما أعطى شيئا إذا أراد استبدال زوج مكان زوج ؛ فلما أمر فيمن خفنا الشقاق بينهما بالحكمين دل على أن حكمهما غير حكم الأزواج ، فإذا كان كذلك بعث حكما من أهله وحكما من أهلها ، ولا يبعث الحكمين إلا مأمونين برضا الزوجين وتوكيلهما بأن يجمعا أو يفرقا إذا رأيا ذلك . وذلك يدل على أن الحكمين وكيلان للزوجين . قال ابن العربي : هذا منتهى كلام الشافعي ، وأصحابه يفرحون به وليس فيه ما يلتفت إليه ولا يشبه نصابه في العلم ، وقد تولى الرد عليه القاضي أبو إسحاق ولم ينصفه في الأكثر . أما قوله : ” الذي يشبه ظاهر الآية أنه فيما عم الزوجين ” فليس بصحيح بل هو نصه ، وهي من أبين آيات القرآن وأوضحها جلاء ؛ فإن الله تعالى قال : الرجال قوامون على النساء – ومن خاف من امرأته نشوزا وعظها ، فإن أنابت وإلا هجرها في المضجع ، فإن ارعوت وإلا ضربها ، فإن استمرت في غلوائها مشى الحكمان إليهما . وهذا إن لم يكن نصا فليس في القرآن بيان . ودعه لا يكون نصا ، يكون ظاهرا ؛ فأما أن يقول الشافعي : يشبه الظاهر فلا ندري ما الذي أشبه الظاهر ؟ . ثم قال : ” وأذن في خوفهما ألا يقيما حدود الله بالخلع وذلك يشبه أن يكون برضا المرأة ، بل يجب أن يكون كذلك وهو نصه ” . ثم قال : ” فلما أمر بالحكمين علمنا أن حكمهما غير حكم الأزواج ، ويجب أن يكون غيره بأن ينفذ عليهما من غير اختيارهما فتتحقق الغيرية . فأما إذا أنفذا عليهما ما وكلاهما به فلم يحكما بخلاف أمرهما فلم تتحقق الغيرية ” . وأما قوله ” برضى الزوجين وتوكيلهما ” فخطأ صراح ؛ فإن الله سبحانه خاطب غير الزوجين إذا خاف الشقاق بين الزوجين بإرسال الحكمين ، وإذا كان المخاطب غيرهما كيف يكون ذلك بتوكيلهما ، ولا يصح لهما حكم إلا بما اجتمعا عليه . هذا وجه الإنصاف والتحقيق في الرد عليه . وفي هذه الآية دليل على إثبات التحكيم ، وليس كما تقول الخوارج إنه ليس التحكيم لأحد سوى الله تعالى . وهذه كلمة حق ولكن يريدون بها الباطل
Tafsir Ibnu Katsir Tafsir Surat An-Nisa, ayat 35
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا (35)
Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dalam pembahasan pertama disebutkan bilamana nusyuz dan membangkang timbul dari pihak istri, kemudian dalam pembahasan ini disebutkan bilamana nusyuz timbul dari kedua belah pihak. Untuk itu Allah SWT. berfirman:
{وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا}
Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. (An-Nisa: 35)
Ulama fiqih mengatakan, apabila terjadi persengketaan di antara sepasang suami istri, maka hakimlah yang melerai keduanya sebagai pihak penengah yang mempertimbangkan perkara keduanya dan mencegah orang yang aniaya dari keduanya melakukan perbuatan aniayanya.
Jika perkara keduanya bertentangan juga dan persengketaan bertambah panjang, maka pihak hakim memanggil seorang yang dipercaya dari keluarga si perempuan dan seorang yang dipercaya dari kaum laki-laki, lalu keduanya berkumpul untuk mempertimbangkan perkara kedua pasangan yang sedang bersengketa itu. Kemudian keduanya melakukan hal yang lebih maslahat baginya menurut pandangan keduanya, antara berpisah atau tetap bersatu sebagai suami istri. Akan tetapi, imbauan syariat menganjurkan untuk tetap utuh sebagai suami istri. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya:
{إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا}
Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. (An-Nisa: 35)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah memerintahkan agar mereka mengundang seorang lelaki yang saleh dari kalangan keluarga laki-laki, dan seorang lelaki lain yang semisal dari kalangan keluarga si perempuan. Lalu keduanya melakukan penyelidikan untuk mencari fakta, siapa di antara keduanya yang berbuat buruk. Apabila ternyata pihak yang berbuat buruk adalah pihak laki-laki, maka pihak suami mereka halang-halangi dari istrinya, dan mereka mengenakan sanksi kepada pihak suami untuk tetap memberi nafkah. Jika yang berbuat buruk adalah pihak perempuan. maka mereka para hakam mengenakan sanksi terhadapnya untuk tetap di bawah naungan suaminya, tetapi mereka mencegahnya untuk mendapat nafkah. Jika kedua hakam sepakat memisahkan atau mengumpulkannya kembali dalam naungan suatu rumah tangga sebagai suami istri, hal tersebut boleh dilakukan keduanya. Tetapi jika kedua hakam berpendapat sebaiknya pasangan tersebut dikumpulkan kembali, sedangkan salah seorang dari suami istri yang bersangkutan rela dan yang lainnya tidak; kemudian salah seorangnya meninggal dunia, maka pihak yang rela dapat mewarisi pihak yang tidak rela, dan pihak yang tidak rela tidak dapat mewarisi pihak yang rela.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Ibnu Tawus, dari Ikrimah ibnu Khalid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “Aku dan Mu’awiyah pernah diutus sebagai hakam.” Ma’mar melanjutkan kisahnya, bahwa yang mengutus kedua-ya adalah Khalifah Usman. Khalifah Usman berkata kepada keduanya, “Jika kamu berdua berpendapat sebaiknya pasangan suami istri itu dikumpulkan kembali, kamu berdua boleh menghimpunnya kembali. Jika kamu berdua berpendapat sebaiknya keduanya dipisahkan, maka kamu berdua boleh memisahkan keduanya.”
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Mulaikah, bahwa Aqil ibnu Abu Talib kawin dengan Fatimah binti Atabah ibnu Rabi’ah. Maka Fatimah binti Atabah berkata, “Kamu ikut denganku dan aku bersedia menafkahimu.” Tersebutlah apabila Aqil masuk menemui istrinya, istrinya berkata, “Di manakah Atabah ibnu Rabi’ah dan Syaibah ibnu Rabi’ah?” Lalu Aqil menjawabnya, “Di sebelah kirimu di neraka jika kamu memasukinya.” Mendengar jawaban itu Fatimah binti Atabah merapikan bajunya, lalu datang kepada Khalifah Usman dan menceritakan kepadanya perihal suaminya itu. Maka Khalifah Usman tertawa, lalu mengutus Ibnu Abbas dan Mu’awiyah untuk melerai keduanya.
Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya aku benar-benar akan memisahkan keduanya.” Lain halnya dengan Mu’awiyah, ia mengatakan.”Aku tidak akan memisahkan di antara dua orang dari kalangan Bani Abdu Manaf.” Ketika Ibnu Abbas dan Mu’awiyah datang kepada keduanya, ternyata mereka berdua menjumpai pintu rumahnya tertutup bagi mereka. Akhirnya Ibnu Abbas dan Mu’awiyah kembali.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Ayyub, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ubaidah yang menceritakan bahwa ia pernah menyaksikan sahabat Ali kedatangan seorang wanita dan seorang lelaki (suami istri). Masing-masing dari keduanya diiringi oleh sejumlah orang. Akhirnya Khalifah Ali mengangkat salah seorang dari suatu rombongan sebagai hakam, dan dari rombongan yang lain seorang hakam lagi. Kemudian ia berkata kepada kedua hakam itu, “Tahukah kalian, apakah yang harus kalian kerjakan? Sesungguhnya kewajibanmu adalah jika kamu berdua meiihat bahwa kedua pasangan itu sebaiknya dikumpulkan, maka kamu harus menyatukannya kembali.” Pihak wanita berkata, “Aku rela dengan keputusan apa pun berdasarkan Kitabullah.” Pihak laki-laki berkata, “Aku tidak mau berpisah.” Khalifah Ali berkata, “Kamu dusta, demi Allah, kamu tidak boleh meninggalkan tempat ini sebelum kamu rela dengan keputusan apa pun berdasarkan Kitabullah.”‘ Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui Ya’qub, dari Ibnu Ulayyah. dari Ayyub, dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah, dari Ali dengan lafaz yang semisal. Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur lain, dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah, dari Ali dengan lafaz yang sama.
Para ulama sepakat bahwa dua orang hakam diperbolehkan menyatukan dan memisahkan, hingga Ibrahim An-Nakha’i mengatakan.”Jika dua orang hakam menghendaki perpisahan di antara pasangan yang bersangkutan, keduanya boleh menjatuhkan sekali talak, atau dua kali talak, atau tiga kali talak secara langsung.” Pendapat ini menurut riwayat yang bersumber dari Imam Malik.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa dua orang hakam mempunyai hak sepenuhnya untuk mempersatukan pasangan yang bersangkutan, tetapi tidak untuk memisahkannya.
Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah dan Zaid ibnu Aslam. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Abu Saur, dan Imam Daud.
Dalil mereka ialah firman Allah Swt. yang mengatakan: Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. (An-Nisa: 35) Ternyata dalam ayat ini tidak disebutkan masalah memisahkan suami istri yang bersangkutan.
Jika kedua orang tersebut sebagai wakil dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka hukum yang ditetapkan keduanya dapat dilaksanakan, baik yang menyimpulkan menyatukan kembali ataupun memisahkan keduanya, tanpa ada seorang ulama pun yang memperselisihkannya.
Para Imam berselisih pendapat sehubungan dengan kedua hakam ini, apakah keduanya diangkat oleh hakim, karenanya mereka berdua berhak memutuskan perkara, sekalipun pasangan suami istri yang bersangkutan tidak puas? Ataukah keduanya berkedudukan sebagai wakil dari masing-masing pihak yang bersangkutan? Sebagai jawabannya ada dua pendapat.
Jumhur ulama cenderung kepada pendapat yang pertama tadi, karena berdasarkan kepada firman-Nya yang mengatakan: maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. (An-Nisa: 35)
Dalam ayat ini keduanya dinamakan hakam, dan sudah sepantasnya bagi hakam menetapkan keputusannya, sekalipun yang dikenai keputusannya tidak puas. Pendapat ini merupakan makna lahiriah ayat.
Sedangkan menurut qaul jadid dari mazhab Syafii —juga menurut pendapat Imam Abu Hanifah serta semua murid-muridnya— cenderung kepada pendapat yang kedua, karena berdasarkan kepada perkataan Khalifah Ali r.a. kepada seorang suami yang mengatakan, “Aku tidak menginginkan perpisahan,” lalu Ali r.a. berkata, “Kamu dusta, sebelum kamu mengakui seperti pengakuan yang dilakukan oleh istrimu.” Mereka mengatakan, “Seandainya kedua orang tersebut benar-benar hakam. niscaya tidak diperlukan adanya ikrar dari pihak suami.”
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa para ulama sepakat dua orang hakam itu apabila pendapat keduanya berbeda, maka pendapat pihak lain tidak dianggap. Tetapi mereka sepakat bahwa pendapat keduanya dapat dilaksanakan bila menyangkut penyatuan kembali, sekalipun pihak suami istri yang bersangkutan tidak mengangkat keduanya sebagai wakil dari masing-masing pihak.
Mereka berselisih pendapat, apakah pendapat keduanya dapat dilaksanakan bila menyangkut masalah perpisahan? Kemudian diriwayatkan dari jumhur ulama bahwa pendapat keduanya dapat dilaksanakan sehubungan dengan masalah perpisahan ini, sekalipun tanpa perwakilan (dari suami istri yang bersangkutan).[ 18]
“SUAMI YANG PERHATIAN SAMA IBUNYA, HATINYA PUN AKAN PERHATIAN SAMA ISTRINYA. KEHIDUPANNYA BAROKAH, BERKAT DO’A SANG IBU”
KITAB-KITAB RUJUKAN /REFERENSI:
[ 1 ] Tanbihul Ghafilin : 48
[2 ] Sunan Abi Daud, juz 6, hal. 227.
[3 ] Sunan Ibnu Majah, juz 1, hal. 650.
[4 ] Fath al-Bari, juz 10, hal. 447 dan ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, juz 6, hal. 226.
[5 ] Fath al-Bari, ibid.
[6 ] Aun al-Ma’bud., loc. cit.
[7 ] Mirqah al-Mafatih, juz 6, hal. 420.
[8 ] Syarh an-Nawawi li Sahih Muslim, juz 10, hal. 5
[9 ] Umdah al-Qari bi Syarh Sahih al-Bukhari, juz 20, hal. 225 dan Mughni Ibnu Qudamah.bab.talak :hal.363-367
[ 10 ] Syarah mukhtasho fiusulul Fiqih :
[ 11 ] Raudhah 9/93:
[ 12 ]Syarah Muslim, linnawawi 3/437:
[ 13 ] Hasyiyah Bujairimi ‘alal Iqna’ 11/343-345
[ 14 ]Tuhfatul muhtaj
[ 15] Fatwa An-Nawai al-Musamma al-Masailul mantsuroh: 150
[ 16 ]Irsyadul Ibad; 97
[17] Tafsir al-Qurthubi
[ 18 ] Tafsir Ibnubkatsir.
Wallahu A’lam bisshowab.
__________________
11 Febuari 2025