NADZAR ; SYARAT DAN RUKUNNYA...
___________________
Assalamualaikum izin bertanya🙏
Deskripsi masalah.
Inayatul Husna merupakan salah satu santri dipondok yang ada dijawa dia pernah bernazar bahwa jika dia menang dalam lomba yang diikutinya dia akan membuat acara makan bersama satu kelas namun ketika dia menang dia lupa akan nazarnya itu dan ingat ketika dia dan teman2 nya sudah lulus dari pondok
Pertanyaannya
Apakah nazar Ina tersebut dianggap gugur atau tidak??..jika tidak gugur maka apa yang harus dilakukan ina agar dapat melunasi nazarnya tersebut
Apa saja syarat -syarat nazar agar bisa dianggap sah.
Waalaikumsalam
Sebelum menjawab dari pertanyaan sebagaimana deskripsi penting mujawwib jelaskan pengertian Nadzar secara bahasa adalah janji (melakukan hal) baik atau buruk.
Sedangkan nazar menurut istilah syara’ adalah kesanggupan melakukan ibadah (qurbah; mendekatkan diri kepada Allah) yang bukan merupakan hal wajib (fardhu ‘ain) bagi seseorang. “Mewajibkan suatu bentuk ketaatan yang asalnya tidaklah wajib berdasarkan syariat. Sebagian ulama mendefinisikan Nadzar secara istilah berarti janji melakukan kebaikan tertentu atau menetapkan (mewajibkan dirinya) melakukan perkara yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang perkara tersebut pada hukum asalnya tidak wajib’ Yang kedua: adanya nadzar tersebut tidak digantungkan pada sesuatu seperti ucapan: ‘Demi Allah, wajib bagiku puasa atau haji atau yang lainnya.
Dalam Fath Al-Qorib disebutkan, nadzar adalah:
فصلٌ): فِيْ أَحْكَامِ الُّنُذُوْرِ. جَمْعُ نَذْرٍ وَهُوَ بِذَالٍ مُعْجَمَةٍ سَاكِنَةٍ، وَحُكِيَ فَتْحُهَا وَمَعْنَاهُ لُغَةً الْوَعْدُ بِخَيْرٍ أَوْ شَرٍّ، وَشَرْعاً اِلْتِزَامُ قُرْبَةٍ غَيْرِ لَازِمَةٍ بِأَصْل الشَّرْعِ
Pasal : Menerangkan tentang hukum-hukum Nadzar. Kata : ‘Nudzur” adalah jamak dari kata : “Nadzrin”, yaitu dengan menggunakan huruf Dzal mati yang dititik, dan diceritakan yaitu (dengan memakai dzal, ) yang berharakat fat-hah.
Adapun maknanya Nadzar menurut etemologi ( bahasa ) ialah “janji”. Sedang menurut syara” Nadzar ialah Mewajibkan suatu bentuk ketaatan yang asalnya tidaklah wajib berdasarkan syariat.
Nazar Terbagi Dua
Nazar (Nadzar) ini terbagi dua bagian yaitu nazar Lajaj dan yang keduanya nazar mujazah, keterangan berikurt ini;
وَ النَّذُر ضَرْبَانِ أَحَدُهُمَا نَذْرُ اللَّجَاجِ بِفَتْحِ أَوَّلِهِ وَهُوَ التَّمَادِيْ فِيْ الْخُصُوْمَةِ، وَالْمُرَادُ بِهَذَا النَّذْرِ أَنْ يَخْرُجَ مُخْرَجَ الْيَمِيْنِ، بِأَنْ يَقْصِدَ النَّاذِرُ مَنْعَ نَفْسِهِ مِنْ شَيْءٍ، وَلَا يَقْصِدَ الْقُرْبَةَ وَفِيْهِ كَفَارَةُ يَمِيْنٍ أَوْ مَا الْتَزَمَهُ بِالنَّذْرِ
Nadzar itu ada dua macann, yaitu
Pertama : Nadzar Lajjaj (dengan dibaca harkat fat-hah hurup yang permulaan) yaitu memperpanjang perbantahan. Adapun yang yang yang dimaksud dengan nadzar ini yaitu suatu nadzar yang keluar karena adanya sumpah yang keluar di mana si Nadzir (orang yang bersumpah) mencegah dirinya dari (melakukan) sesuatu tidak bermaksud ibadah, dan dalam hal ini wajib membayar kafarat sumpah atau menetapkannya dengan nadzar.
Nadzar yang kedua ( Al-Majazah)
Adapun yang dimaksud dengan Nazar Mujazah adalah sebagai bertikut;
وَثَانِيهَا نَذْرُ الْمُجَازَاةِ وَهُوَ نَوْعَانِ، أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يُعَلِّقَهُ النَّاذِرُ عَلَى شَيْءٍ كَقَوْلِهِ اِبْتِدَاءً لِلَّهِ عَلَيَّ صَوْمٌ أَوْ عِتْقٌ، وثَانِيْهِمَا أَنْ يُعَلِّقَهُ عَلَى شَيْءٍ وَأَشَارَ لَهُ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ (وَالنَّذْرُ يَلْزِمُ فِيْ الْمُجَازَاةِ عَلَى) نَذْرِ (مُبَاحٍ وَطَاعَةٍ كَقَوْلِهِ) أَيْ النَّاذِرِ (إِنْ شَفِىَ اللهُ مَرِيْضِيْ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ مَرَضِيْ أَوْ إِنْ كُفِيَتْ شَرَّ عَدُوِّيْ (فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أُصَلِّيَ أَوْ أَصُوْمَ أَوْ أَتَصَدَّقَ وَيَلْزِمُهُ) أَيْ النَّاذِرَ (مِنْ ذَلِكَ) أَيْ مِمَّا نَذَرَهُ مِنْ صَلَاةٍ أَوْ صَوْمٍ أَوْ صَدَقَةٍ (مَا يَقَعُ عَلَيْهِ الْاِسْمُ) مِنَ الصَّلَاةِ وَأَقَلُّهَا رَكْعَتَانِ أَوِ الصَّوْمِ وَأَقَلُّهُ يَوْمٌ أَوِ الصَّدَقَةِ، وَهِيَ أَقَلُّ شَيْءٍ مِمَّا يَتَمَوَّلُ وَكَذَا لَوْ نَذَرَ التَّصَدُقَ بِمَالٍ عَظِيْمٍ كَمَا قَالَ الْقَاضِي أَبُوْ الطَّيِّبِ
Kedua : Nadzar Mujazah, yaitu ada dua macam :
Si Nadzir (yang bernadzar) tidak menggantungkan nadzarnya atas sesuatu. Seperti ucapan Nadzir yang permulaan “Karena Allah wajib atas aku puasa atau memerdekakan (budak).
Si Nadzir menggantungkan nadzarnya atas sesuatu.
Mushannif memberikan petunjuk kepada nadzar macam kedua dengan melalui perkataannya bahwa nadzar itu tetap wajib dalam hal melaksanakan suatu nadzar yang digantungkan atas perkara yang mubah dan perbuatan taat. Seperti ucapan Nadzir : “Jika Allah menyehatkan (menghilangkan) penyakitku (menurut sebagian keterangan menggunakan kata “sakitku atau aku dicegah dari kejelekan musuhku”), maka dengan karena Allah wajib atas aku yaitu mengerjakan shalat atau puasa atau memberi shadaqah”.
Dan wajiblah bagi Nadzir dari nadzar itu tadi, artinya dari apa yang ia menadzarkannya berupa shalat, puasa atau shadaqah yaitu segala yang terjadi pada nama shalat, paling sedikitnya shalat yaitu dua rakaat, atau puasa, paling sedikitnya yaitu sehari, atau shadaqah, paling sedikit berupa sesuatu yang dapat menjadi uang (bernilai, pen.) Demikian pula jika seseorang bernadzar untuk shadaqah dengan harta yang besar (banyak, pen.) sebagaimana pendapat Qadli Abu Ath-Thayyib.
Nazar Bukan untuk maksiat
Tidak boleh bernazar untuk maksiat dan secara hukum nazar tersebut tidak sah. Dalam hal ini Mushanif menjelaskan sebagai berikut:
ثُمَّ صَرَحَ الْمُصَنِّفُ بِمَفْهُوْمِ قَوْلِهِ سَابِقاً عَلَى مُبَاحٍ فِيْ قَوْلِهِ (وَلَا نَذْرَ فِيْ مَعْصِيَةٍ) أَيْ لَا يَنْعَقِدُ نَذْرُهَا (كَقْوْلِهِ إِنْ قَتَلْتُ فُلَاناً) بِغَيْرِ حَقٍّ (فَلِلَّهِ عَلَيَّ كَذَا) وَخَرَجَ بِالْمَعْصِيَةِ نَذْرُ الْمَكْرُوْهِ كَنَذْرِ شَخْصٍ صَوْمَ الدَّهْرِ، فَيَنْعَقِدُ نَذْرُهُ وَيَلْزِمُهُ الْوَفَاءُ بِهِ، وَلَا يَصِحُّ أَيْضاً نَذْرُ وَاجِبٍ عَلَى الْعَيْنِ. كَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ أَمَّا الْوَاجِبُ عَلَى الْكِفَايَةِ فَيَلْزِمُهُ كَمَا يَقْتَضِيْهِ كَلَامُ الرَّوْضَةِ وَأَصْلِهَا
Kemudian Mushannif menjelaskan pemahaman pendapatnya terdahulu atas “kebolehan” dalam perkataannya, bahwa tidak ada nadzar dalam kaitannya dengan maksiyat, artinya bahwa nadzar maksiyat itu tidak boleh (tidak sah). Seperti ucapan Nadzir “Jika aku membunuh si Fulan dengan jalan tidak benar, maka karena Allah wajib melakukan sesuatu”. Kecuali nadzar maksiat, yaitu nadzar perkara yang makruh. Seperti nadzar seseorang untuk berpuasa selama satu tahun maka terjadilah nadzar makruh itu dan bagi Nadzir wajib melaksanakannya.
Demikian juga tidak sah nadzar wajib dalam arti wajib ‘Ain, seperti shalat lima waktu. Adapun wajib kifayah, maka bagi Nadzir melaksanakan nadzarnya, sebagaimana keterangan yang sesuai dengan perkataan kitab Raudhah dan aslinya.
Berdasarkan pengertian di atas, maka tidak sah bernazar akan melakukan hal yang mubah, makruh (menurut penda.pat yang rajih [kuat]), dan haram. Begitu juga tidak sah bernazar akan melakukan sesuatu yang wajib atau fardhu ‘ain baginya, seperti bernazar akan melakukan shalat lima waktu. Sebab shalat lima waktu, meskipun tidak dinazarkan, sudah menjadi kewajiban bagi seorang Muslim (Sayyid Ahmad bin ‘Umar As-Syatiri, al-Yaqut an-Nafis fi Madzhabi Ibni Idris, hal. 227).
Jawaban No.1
Nadzarnya Inayah tidak gugur, selama masih hidup, Kecuali mati, namun pengecualian mati ini ulama berbeda pendapat ada yang berpendapat gugur dan ada yang berpendapat tidak gugur.
Nadzar ada dua : Nadzar Maliyah dan Nadzar Gharu maliyah
Pandangan ulama tentang Nadzar yang bersifat harta.
Jika nadzarnya seseorang bersifat harta,
Menurut Madzahab Hanafi dan Maliki nadzarnya tidak gugur, jika ada wasiat.( walaupun mati)
Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah Nadzarnya tidak gugur karena sebab kematian baik ada wasiat atau tidak ada wasiat, maka harus diambil dari harta tirkatnya.
Jika Nadzarnya seseorang bukan bersifat harta, ulama beda pendapat.
Menurut mayoritas ulama fiqih dari kalangan Hanafi, Maliki Syafi’i dan Hanabilah gugur.,Namun jika orang bernadzar haji maka ada dua pendapat.
Menurut Hanafi, Malikiyah, sedangkan menurut Syafi’iyah gugur kecuali:
Ada kesempatan,melaksanakannya maka wajib diqodlo’ dengan diambilkan dari semua hartanya ( dengan cara badal haji) ( Ini menurut Syafiiyah dan Hanabilah)
Jika seseorang tidak mampu sehingga melanggar Nadzarnya maka ia wajib membayar kaffat diantaranya ia boleh memilih 1 diantara 3
Memerdekakan budak
Memberi makan 10 orang miskin dan juga memberi pakaian kepada mereka.
Berpuasa tiga hari berturut-turut
Jawaban .No 2
Syarat-syarat Nadzar
Islam.Karena adanya Nazar itu harus Qurbah ( mendekatkan diri kepada Allah), sedang pekerjaan orang kafir tidak diminati dengan qurbah ini Menurut Hanafi Maliki Syafi’iyah tetapi menurut Hambali boleh/sah nadzar walau bukan islam.
Baligh
Berakal
Merdeka
Ikhtiyar
Rukun-rukun nadzar ada tiga:
1-orang-rang yang nadzar
2-perkara yang dinadzari
3-sighat (ucapan yang menunjukkan nadzar)’
Dalam masalah sighat, adalah adanya lafal (ucapan) yang menunjukkan adanya penetapan dan dalam pengertian penetapan (mewajibkan) ini adalah keterangan bab dlaman (tanggungan). Yaitu seperti kata ‘Demi Allah wajib atasku perkara seperti ini atau wajib atasku perkara seperti ini. Maka sighat tidak sah hanya sekedar niat (tanpa diucapkan), sebagaimana juga tidak sah semua aqad hanya dengan niat. Juga tidak sah sighat yang tidak menunjukkan penetapan (mewajibkan) seperti ucapan: ‘Saya melakukan seperti ini’.
Kitab Tadzhib halaman 254
الموسوعة الفقهية -٣١٩٤٩
نذر
التعريف:
١- النذر لغة: هو النحب، وهو ما ينذره الإنسان فيجعله على نفسه نحبا واجبا، يقال: نذر على نفسه لله كذا، ينذر، وينذر، نذرا ونذورا، كما يقال: أنذر وأنذر نذرا، إذا أوجبت على نفسك شيئا تبرعا، من عبادة أو صدقة، أو غير ذلك (١) .
والنذر اصطلاحا: إلزام مكلف مختار نفسه لله تعالى بالقول شيئا غير لازم عليه بأصل الشرع (٢)
الألفاظ ذات الصلة:
أ – الفرض:
٢ – من معاني الفرض في اللغة: الإيجاب، يقال: فرض الأمر: أوجبه، وفرض عليه:
كتبه عليه (١) . وفي الاصطلاح: ما يثاب الشخص على فعله، ويعاقب على تركه (٢) .
والصلة بين النذر والفرض: أن النذر أوجبه الشخص على نفسه، والفرض وجب بإيجاب الشرع.
ب – التطوع:
٣ – التطوع في اللغة: التبرع، يقال تطوع بالشيء تبرع به (٣) .
وفي الاصطلاح: هو طاعة غير واجبة (٤) .
والصلة بين التطوع والنذر أن النذر فيه التزام بالفعل، بخلاف التطوع فلا التزام فيه.
ج – اليمين:
٤- من معاني اليمين في اللغة: الحلف. لأنهم كانوا إذا تحالفوا ضرب كل واحد منهم يمينه على يمين صاحبه (٥) .
واليمين اصطلاحا: تحقيق أمر غير ثابت، ماضيا كان أو مستقبلا، نفيا أو إثباتا، ممكنا أوممتنعا، مع العلم بالحال أو الجهل به (١) .
مشروعية النذر:
٥ – لا خلاف بين الفقهاء في صحة النذر في الجملة، ووجوب الوفاء بما كان طاعة منه (٢) .
وقد استدلوا على ذلك بالكتاب والسنة والإجماع.
أما الكتاب الكريم فبآيات منها قوله تعالى: وليوفوا نذورهم (٣) ومنها ما قاله سبحانه في شأن الأبرار يوفون بالنذر ويخافون يوما كان شره مستطيرا (٤) .وما قاله جل شأنه: ومنهم من عاهد الله لئن آتانا من فضله لنصدقن ولنكونن من الصالحين فلما آتاهم من فضله بخلوا به وتولوا وهم معرضون فأعقبهم نفاقا في قلوبهم إلى يوم يلقونه بما أخلفوا الله ماوعدوه وبما كانوا يكذبون (١) وأما السنة النبوية المطهرة فبأحاديث منها ما ورد عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من نذر أن يطيع الله فليطعه، ومن نذر أن يعصيه فلا يعصه (٢) وما ورد عن ابن عمر أن عمر بن الخطاب رضي الله عنهما سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله إني نذرت في الجاهلية أن أعتكف يوما في المسجد الحرام فكيف ترى؟ قال: اذهب فاعتكف يوما وفي رواية أخرى أنه قال للنبي صلى الله عليه وسلم: يا رسول الله، إني نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام. فقال النبي صلى الله عليه وسلم: أوف بنذرك (٣) .وما روى عمران بن الحصين رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: خير أمتي قرني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم،ثم إن بعدكم بقوما يشهدون ولا يستشهدون، ويخونون ولا يؤتمنون، وينذرون ولا يفون، ويظهر فيهم السمن (١) .
وأما الإجماع فحكى ابن رشد (الحفيد) اتفاق الفقهاء على لزوم النذر المطلق في القرب، وقال ابن قدامة: أجمع المسلمون على صحة النذر في الجملة، ولزوم الوفاء به (٢) .
حكم النذر:
٦ – اختلف الفقهاء في فى صفة النذر
الشرعية على اتجاهين:
الاتجاه الأول: يرى أن النذر مندوب إليه، وإن كان لبعضهم تفصيل في نوع النذر الذي يوصف بذلك.
فقد ذهب الحنفية إلى أن النذر قربة مشروعة، ولا يصح إلا بقربة لله تعالى من جنسها واجب.
وذهب المالكية إلى أن النذر المطلق – وهو الذي يوجبه المرء على نفسه شكرا لله على ما كان ومضى – مستحب.
وذهب القاضي والغزالي والمتولي من الشافعية إلى أن النذر قربة.
وقال ابن الرفعة: الظاهر أنه قربة في
_Nadzar_
Jika orang yang memiliki kewajiban nadzar meninggal dunia sebelum melaksanakannya, apakah kewajibannya gugur karena kematian atau tidak?
Para ulama membedakan antara nadzar yang bersifat harta seperti sedekah, memerdekakan budak, dan sejenisnya, dengan nadzar yang bersifat non-harta seperti shalat, puasa, haji, dan i’tikaf.
___________________
Penjelasannya sebagai berikut:
A. Nadzar yang bersifat harta
Para ulama berbeda pendapat mengenai seseorang yang bernadzar terkait harta dalam keadaan sehat lalu meninggal sebelum memenuhi nadzarnya:
Pendapat pertama: Mazhab Hanafi dan Maliki menyatakan bahwa kewajiban nadzar tidak gugur karena kematian jika ia berwasiat agar nadzar tersebut dipenuhi dari hartanya. Nadzar itu diambil dari sepertiga hartanya seperti wasiat-wasiat lainnya. Namun, jika ia tidak berwasiat, maka kewajibannya gugur dalam hukum dunia, dan para ahli waris tidak wajib memenuhinya kecuali mereka melakukannya secara sukarela.
Pendapat kedua: Mazhab Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa nadzar tidak gugur dengan kematian. Nadzar tersebut harus dipenuhi dari seluruh harta warisan seperti halnya utang kepada Allah Ta’ala, baik almarhum berwasiat atau tidak.
B. Nadzar yang bersifat non-harta
Para ulama membedakan hukumnya berdasarkan jenis nadzar, apakah berupa haji, puasa, shalat, atau i’tikaf:
___________________
Jika nadzar berupa shalat:
Jika orang yang bernadzar meninggal sebelum melaksanakannya, mayoritas ulama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) berpendapat bahwa kewajiban shalatnya gugur dengan kematiannya. Tidak seorang pun dapat melaksanakan shalat untuk menggantikan orang yang meninggal karena shalat adalah ibadah fisik yang tidak dapat diwakilkan.
Jika nadzar berupa haji:
Jika orang yang bernadzar meninggal sebelum mampu melaksanakan haji karena adanya uzur syar’i, maka:
Pendapat pertama: Mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i menyatakan kewajibannya gugur, dan tidak ada kewajiban apa pun atasnya.
Pendapat kedua: Mazhab Hanbali berpendapat bahwa haji harus dilaksanakan dari seluruh hartanya, meskipun ia tidak berwasiat.
Jika orang yang bernadzar meninggal setelah mampu melaksanakan haji tetapi tidak melakukannya, maka:
Pendapat pertama: Mazhab Hanafi dan Maliki menyatakan kewajibannya gugur dengan kematian, dan ahli waris tidak diwajibkan untuk melaksanakannya kecuali almarhum telah berwasiat. Wasiat tersebut hanya dilaksanakan dari sepertiga harta.
Pendapat kedua: Mazhab Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa kemampuan melaksanakan haji menjadikan nadzar tersebut sebagai utang dalam tanggungan almarhum. Oleh karena itu, nadzar tersebut harus dipenuhi dari seluruh harta warisan, baik ia berwasiat maupun tidak.
Jika tidak ada harta yang ditinggalkan, maka nadzar tetap menjadi tanggungan almarhum, tetapi ahli waris tidak diwajibkan untuk melaksanakannya.
Jika nadzar berupa puasa:
Jika orang yang bernadzar meninggal sebelum melaksanakan puasanya, maka:
Pendapat pertama: Mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i (pendapat dalam mazhab) menyatakan bahwa kewajibannya gugur, dan tidak seorang pun dapat menggantikannya karena puasa wajib serupa dengan shalat. Sebagaimana shalat tidak dapat diwakilkan, puasa pun demikian.
Pendapat kedua: Mazhab Hanbali dan pendapat lama dalam Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa kewajiban puasa tidak gugur. Walinya dianjurkan untuk melaksanakan puasa tersebut sebagai pengganti, karena nadzar adalah tanggungan dalam diri yang menyerupai utang. Meskipun demikian, pelaksanaan puasa oleh wali hanya bersifat sunah sebagai bentuk kasih sayang dan kebajikan terhadap almarhum.
.
Membayar kaffar/ tebusan bagi yang tidak mampu ( melanggar nadzar )
فتح القريب باب النذر
وَلَا يَلْزِمُ النَّذْرُ) أَيْ لَا يَنْعَقِدُ (عَلَى تَرْكِ مُبَاحٍ) أَوْ فَعْلِهِ فَالْأَوَّلُ (كَقَوْلِهِ لَا آكُلُ لَحْماً وَلَا أَشْرَبُ لَبَناً وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ) مِنَ الْمُبَاحِ كَقَوْلِهِ لَا أَلْبِسُ كَذَا، وَالثَّانِيْ نَحْوُ آكُلُ كَذَا وَأَشْرَبُ كَذَا، وَأَلْبِسُ كَذَا، وَإِذَا خَالَفَ النَّذْرَ الْمُبَاحَ لَزِمَهُ كَفَارَةُ يَمِيْنٍ عَلَى الرَّاجِحِ عِنْدَ الْبَغَوِيِّ، وَتَبِعَهُ الْمُحَرَّرُ وَالْمِنْهَاجُ لَكِنْ قَضَيِةُ كَلَامِ الرَّوْضَةِ وَأَصْلِهَا عَدَمُ اللُّزُوْمِ
Artinya:” Dan tidak wajib suatu nadzar, artinya tidak bisa terjadi suatu nadzar untuk meninggalkan perkara yang dimubahkan atau melaksanakan perkara mubah, maka sebagai contoh pertama. seperti ucapan si nadzir (yang nadzarl) “Aku tidak akan memakan daging dan tidak akan memium susu serta barang mubah yang menyerupainya, seperti ucapan si nadzir : “Saya tidak akan memakai itu”.
___________________
Adapun yang kedua, yaitu seperti (ucapan nadzir, .) : “Aku akan memakan itu, meminum itu dan memakan itu”.
Jika si Nadzir menyalahi nadzar yang dimubahkan itu, maka baginya wajib membayar kafarat sumpah bagi pendapat yang unggul menurut Imam Baghawi, dan keterangan kitab Muharrar dan Minhaj mengikuti pendapat Imam Baghawi, tetapi menurut sebenarnya keterangan kitab Raudhah dan asalnya, yaitu tidak ada kewajiban membayar kafarat.
الموسوعة الفقهية – 3115/31949
ج – أثر الإعسار في سقوط النذر:
7 – ذهب الحنفية والشافعية إلى أنه إن نذر التصدق بشيء، وليس في ملكه إلا أقل منه، لا يلزمه غيره، لأن النذر بما لا يملك لا يصح. (3)
وذهب المالكية إلى أن من نذر ما لا يملك لزمه إن قدر عليه، فإن لم يقدر لزمه بدله أو بدل بدله، فلو نذر بدنة لزمته، فإن أعسر عنها فبقرة، فإن أعسر عنها فسبع شياه، فلو قدر على ما دون السبعة من الغنم فإنه لا يلزمه إخراج شيء من ذلك، وهو ظاهر كلام خليل والمواق، وفي كلام بعضهم أنه يلزمه إخراج ما دون السبعة من الغنم، ثم يكمل ما بقي متى أيسر، لأنه ليس عليه أن يأتي بها كلها في وقت واحد. (1)
وعند الحنابلة: من نذر طاعة لا يطيقها، أو كان قادرا عليها فعجز عنها فعليه كفارة يمين، لما روى عقبة بن عامر رضي الله عنه قال: نذرت أختي أن تمشي إلى بيت الله حافية، فأمرتني أن أستفتي لها رسول الله صلى الله عليه وسلم فاستفتيته فقال: لتمش ولتركب (2) .
وعن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لا نذر في معصية الله، وكفارته كفارة يمين.
قال: ومن نذر نذرا لا يطيقه فكفارته كفارة يمين (3)
د – أثر الإعسار في كفارة اليمين:
8 – إذا حنث الحالف في الأيمان فعليه الكفارة، لقوله تعالى {ولكن يؤاخذكم بما عقدتم الأيمان} (٤) إن شاء أعتق رقبة، وإن شاء أطعم عشرة مساكين أو كساهم، فإن لم يجد فصيام ثلاثة أيام متتابعات، لقوله تعالى: {فكفارته إطعام عشرة مساكين من أوسط ما تطعمون أهليكم أوكسوتهم أو تحرير رقبة} (١) على التخيير بينها {فمن لم يجد فصيام ثلاثة أيام} وقرأ ابن مسعود رضي الله عنه (ثلاثة أيام متتابعات) وقراءته مع شذوذها عند القراء هي كالخبر المشهور من حيث الرواية.
فمقتضى هذا أن الإعسار بالعتق أو الإطعام أو الكسوة ينتقل به المعسر إلى الصيام .والله أعلم بالصواب
_Pengaruh Ketidakmampuan dalam Gugurnya Nadzar
Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa jika seseorang bernadzar untuk bersedekah dengan sesuatu yang nilainya lebih besar dari apa yang dimilikinya, maka ia tidak diwajibkan memenuhi lebih dari apa yang dimilikinya.
Sebab, nadzar terhadap sesuatu yang tidak dimiliki tidak sah.
Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa jika seseorang bernadzar dengan sesuatu yang tidak ia miliki, maka nadzar tersebut tetap wajib dipenuhi jika ia mampu.
Jika ia tidak mampu, maka ia diwajibkan mengganti dengan sesuatu yang lain atau penggantinya.
Misalnya, jika ia bernadzar seekor unta, maka unta tersebut menjadi kewajiban baginya. Jika ia tidak mampu memenuhinya, maka ia mengganti dengan seekor sapi. Jika tidak mampu lagi, maka ia mengganti dengan tujuh ekor kambing. Namun, jika ia hanya mampu memberikan kurang dari tujuh ekor kambing, ia tidak diwajibkan mengeluarkan apa pun.
Pendapat ini sesuai dengan keterangan Khalil dan Al-Mawaq.
Namun, sebagian ulama menyatakan bahwa ia tetap wajib memberikan apa yang dimilikinya di bawah tujuh ekor kambing, lalu melengkapi sisanya jika ia mampu di kemudian hari. Sebab, ia tidak diwajibkan memberikan semua secara langsung dalam waktu bersamaan.
Mazhab Hanabilah menyatakan bahwa jika seseorang bernadzar untuk melakukan suatu ketaatan yang tidak mampu ia laksanakan, atau sebelumnya mampu tetapi kemudian tidak sanggup melaksanakannya, maka ia diwajibkan membayar kafarat sumpah. Hal ini berdasarkan hadis dari ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu yang berkata: “Saudari perempuanku bernadzar untuk berjalan ke Baitullah tanpa alas kaki.
Lalu ia memerintahkanku untuk meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka aku memintakan fatwa untuknya, lalu Rasulullah bersabda: ‘Hendaklah ia berjalan, tetapi juga boleh menaiki kendaraan.’”
Juga berdasarkan hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada nadzar dalam kemaksiatan kepada Allah, dan kafaratnya adalah kafarat sumpah.” Nabi bersabda: “Barang siapa bernadzar dengan sesuatu yang tidak mampu ia lakukan, maka kafaratnya adalah kafarat sumpah.”
___________________
_Pengaruh Ketidakmampuan dalam Kafarat Sumpah_
Jika seseorang melanggar sumpahnya, maka ia diwajibkan membayar kafarat, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Tetapi Allah akan menghukum kalian karena sumpah yang kalian teguhkan.” (QS. Al-Ma’idah: 89)
Ia boleh memilih salah satu dari tiga bentuk kafarat:
Memerdekakan seorang budak.
Memberi makan sepuluh orang miskin dengan makanan yang biasa ia berikan kepada keluarganya, atau memberikan pakaian kepada mereka.
Jika ia tidak mampu melakukan salah satu dari ketiganya, maka ia diwajibkan berpuasa selama tiga hari berturut-turut.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Maka kafaratnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak mampu melakukannya, maka ia harus berpuasa selama tiga hari.” (QS. Al-Ma’idah: 89)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu membaca ayat tersebut dengan tambahan “tiga hari berturut-turut.”
Meskipun bacaan ini dianggap tidak mutawatir, ia memiliki kedudukan seperti hadis masyhur dari sisi periwayatannya.
Dari sini, dapat disimpulkan bahwa ketidakmampuan dalam memerdekakan budak, memberi makan, atau memberi pakaian, menyebabkan orang yang bersangkutan berpindah kewajiban ke bentuk kafarat lainnya, yaitu puasa.
___________________
13 Febuari 2025